Thursday 27 April 2017

OBYEK WISATA RELIGI ZIARAH WALISONGO - [ZW 6]


  

A.  APA  DAN  SIAPA  “WALISONGO”


Pengertian. 
Menurut pemahaman yang berkembang dalam ‘urf (kebiasaan) di Jawa, istilah “Walisongo” diartikan sebagai sembilan orang penyebar terpenting agama Islam di Jawa. Mereka dipandang sebagai orang yang dikasihi dan sangat dekat hubungannya dengan Allah, serta diyakini memperoleh karunia karomah berupa tenaga-tenaga ghaib, kekuatan batin yang sangat hebat, berilmu sangat tinggi, dan sakti berjaya kawijayan.

Menurut pendapat yang lain, Walisongo bukan berarti berjumlah sembilan orang, tetapi bisa jadi lebih dari sembilan orang, atau kurang dari itu. Karena kata “songo”, menurut komentar Prof. K.H.R. Mohammad Adnan, merupakan perubahan atau kerancuan dari kata “sana” , berasal dari bahasa arab “ثناء  “ (Tsana’) yang berarti “mulia, terpuji”. Karenanya, istilah yang tepat adalah Walisana, yang berarti “Wali-wali yang terpuji dan mulia”. Dengan demikian, jumlah mereka tentu lebih dari sembilan orang.

Pendapat di atas diperkuat oleh R.Tanoyo. Hanya saja menurutnya, Sana bukan berasal dari bahasa arab (tsana’), tetapi dari bahasa jawa kuno yang berarti tempat, daerah atau wilayah. Dengan demikian, Walisana berarti Wali bagi suatu tempat / wilayah. Dalam kaitannya dengan ini, para wali juga disebut “Sunan”, kependekan dari kata Susuhunan atau Sinuhun, yang berarti orang yang dijunjung, dimuliakan atau dihormati. Misalnya Sunan Ampel, seorang wali yang dijunjung dan dihormati di Ampel Surabaya.

R. Tanoyo mengatakan lagi, istilah Walisana  dipopulerkan oleh Sunan Giri II sebagai judul bukunya, Kitab Walisana. Didalam kitab ini dijelaskan, bahwa Waliyullah  penyebar utama Islam di Jawa berjumlah 8 orang, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Majagung, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Selain ke-8 orang ini, masih ada lagi Wali yang berstatus sebagai wakil yang disebut Wali Nukba atau Wali Nawbah, yang jumlahnya sangat banyak. Di antaranya Sunan Ngudung, Sunan Muria, Raden Santri (Sunan Gresik), Reden Patah (Sunan Bintara), Sunan Tembayat, Sunan Geseng, Sunan Perapen dan lain-lain.

Sementara menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Wali Songo, yang dinukil dari kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, yang kemudian disempurnakan dan diteruskan oleh Syekh Maulana Al-Maghrabi dijelaskan bahwa istilah Walisongo adalah nama dari lembaga Dewan Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan orang  pengurus. Dijelaskan, Lembaga ini melakukan tiga kali periode sidang penggantian Pengurus, yaitu pada tahun 1404 M, 1436 M dan 1463 M . Ditambahkan oleh KH Dachlan Abdul Qahhar, Lembaga ini mengadakan sidang yang keempat, pada tahun 1466 M dan kelima  sewaktu menangani kasus Seh Siti Jenar..

Periodesasi Walisongo

Walisongo Periode Pertama. Timbulnya Lembaga Muballigh ini berawal dari kepedulian Sultan Muhammad I dari dinasti Turki Usmani terhadap perkembangan Islam di Jawa. Sang Sultan mengirim surat kepada para ulama di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya meminta kepada  mereka yang berilmu tinggi dan memiliki karamah agar bersedia menjadi Muballigh di Tanah Jawa. Maka terkumpullah sembilan orang ulama, lantas mengadakan sidang pertama untuk menentukan langkah-langkah strategi dakwah, pembagian tugas sesuai dengan bidang keahliannya, dan pembagian wilayahnya. Kesembilan ulama tersebut adalah : 1) Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M di Gresik); 2) Maulana Ishaq;  3) Maulana Ahmad Jumadil Kubra (makamnya di Trowulan Mojokerto);  4) Maulana Muhammad al-Maghrabi (w. 1465 M di Jatinom Klaten);  5) Maulana Malik Israil (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  6) Maulana Muhammad Ali Akbar (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  7) Maulana Hasanuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  8) Maulana Aliyuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  9) Syekh Subakir (w. 1462 di Persia).

Walisongo periode kedua, mengadakan sidang kedua pada tahun  1436 M, dengan keputusan melengkapi komposisi kepengurusan : 1) Sunan Ampel, menggantikan posisi  Maulana Malik Ibrahim yang wafat;  2) Sunan Kudus (Ja’far Shadiq) menggantikan Maulana Malik Israil yang wafat;  3) Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati), menggantikan  Ali Akbar yang wafat.

Walisongo periode ketiga : mengadakan sidang ketiga tahun 1463, hasilnya melengkapi kepengurusan dengan memasukkan 1) Sunan Giri, menggantikan Maulana Ishaq yang pindah ke Pasai;  2) Sunan Bonang, menggantikan Maulana Hasanuddin yang wafat;  3) Sunan Kalijaga, menggantikan posisi Syekh Subakir yang kembali ke Persia;  4) Sunan Drajat, menggantikan Maulana Aliyuddin yang wafat. 

Walisongo perode keempat : memasukkan 1) Raden Patah, menggantikan Maulana Ahmad Jumadil Kubra yang wafat; dan 2) Fathullah Khan yang menggantikan Maulana Muhammad al-Maghrabi yang wafat. 

Walisongo periode kelima : masuk nama Sunan Muria. Tidak dijelaskan menggantikan siapa, tetapi besar kemungkinan ia menggantikan Raden Patah yang naik tahta menjadi Sultan Demak. Walisongo periode ini juga memutuskan sikap (menjatuhkan hukuman) terhadap kasus Sekh Siti Jenar.


B.  OBYEK WISATA RELIGI “ZIARAH WALISONGO”

 Lepas dari benar-tidaknya pendapat di atas, Walisongo yang disepakati para ahli sejarah dan nama mereka sudah terkenal luas di masyarakat, serta makam mereka saat ini ramai dijadikan kaum muslimin sebagai obyek Wisata Ziarah Walisongo, berjumlah sembilan orang  : 1) Maulana Malik Ibrahim;  2) Sunan Ampel;  3) Sunan Giri;  4) Sunan Bonang;  5) Sunan Drajat;  6) Sunan Kalijaga;  7) Sunan Muria;  8) Sunan Kudus; dan 9) Sunan Gunungjati.

Selain kesembilan Wali tersebut, masih banyak Auliya’ Allah yang tidak kecil jasa-perannya dalam menyebarkan dan mengharumkan agama Islam di Tanah Jawa. Baik mereka yang hidup sejaman dengan Walisongo, atau bahkan yang lebih tua lagi yang hidup puluhan ataupun ratusan tahun sebelumnya, atau yang hidup jauh sesudahnya sampai saat ini.  Tentu saja, makam mereka juga perlu diziarahi, agar kita dapat mensuriteladani perjuangan mereka dan memperoleh keberkahan. Diantara mereka  adalah :

1). Maulana Ishaq (menurut suatu riwayat, makam petilasannya di Gapuro Gresik: + 15 meter sebelah utara makam Maulana Malik Ibrahim);  2) Maulana Ahmad Jumadil Kubra (makamnya di Trowulan Mojokerto);  3) Maulana Muhammad al-Maghrabi (w. 1465 M di Jatinom Klaten);  4) Maulana Malik Israil (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  5) Maulana Muhammad Ali Akbar (w. 1435 M di Gunung Santri Cilegon);  6) Maulana Hasanuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  7) Maulana Aliyuddin (w. 1462 M di samping masjid Banten lama);  8) Raden Patah (komplek makam Masjid Agung Demak);  9). Sunan Majagung;  10)  Sunan Ngudung; 11) Sayyid Ali Murtadho atau Raden Santri (+ 100 meter sebelah utara alun-alun Gresik); 12) Sunan Tembayat atau Sunan Pandanaran (di Jabalkat Tembayat Klaten); 13) Sunan Geseng; 14) Sunan Perapen (+ 200 meter barat komplek makam Sunan Giri Gresik); 15). Maulana Ibrahim Asmoro / Assamarqandi (di Gesik Tuban);  16) Sultan Agung (komplek Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogya); 17) mBah Syamsuddin (Batu Ampar – Madura);  18)  mBah Kiai Kholil (Bangkalan Madura); 19)  mBah Sayid Abdur Rachman atau mBah Sambu (di Lasem);  20) mBah Achmad Mutamakkin (Kajen Bulumanis Tayu, Pati); 21). mBah Kramat (Luar Batang – Jakarta);  22)  Nyai Ageng Pinatih (Kebungson Gresik); 23) Sayyid Abdurrahman (Gunung Petukangan Giri Gresik);  24) Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya); 25) Fathimah binti Maimun (komplek makam “Kubur Panjang” di Leran Manyar Gresik); 26) mBah KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng Jombang);  27) mBah KH M. Munawwir dan KH Ali Makshum (Dongkelan Yogya);  28) mBah KH Abdul Hamid (Masjid Agung Pasuruan); 29) mBah KH Dalhar (Muntilan Magelang); dan lain-lain; 30) Makam GUS DUR (Tebuireng Jombang);  31) Makam KH Ahmad Shiddiq dan GUS MIEK (Kediri); dll. 

No comments:

Post a Comment