A. DASAR HUKUM BERDOA TAWASSUL
Kata “Tawassul” merupakan bentuk mashdar dari fi’il : Tawassala
(madhi) - Yatawassalu (mudhori’)
– Tawassal (amar), yang berarti berperantara. Maksudnya mengerjakan
sesuatu amal (apa kebaikan saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah.
Hakekat Tawassul
Sebagian besar orang salah faham terhadap pengertian
Tawassul. DR Sayyid Muhammad Alawi Abbas Al-Maliki dalam
bukunya, Mafahim Yajibu
an Tushahhaha, menjelaskan pemahaman yang
benar tentang hakekat dan pengertian Tawassul
sebagai berikut :
Pertama : Tawassul adalah salah satu cara dan metode dalam berdoa. Tawassul merupakan salah satu pintu dari beberapa pintu bertawajjuh (menghadap) kehadirat Allah swt. Tujuan yang paling pokok dan hakiki adalah Allah swt, sedangkan “Mutawassal” atau semua amal shaleh dan apa saja yang dijadikan sebagai sarana tawassul, adalah semata-mata sebagai Wasithah atau Wasilah (Perantara, Pengantar atau Mediator) dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt. Jika ada orang yang berkeyakinan sebaliknya, yakni menjadikan “Mutawassal” sebagai “Tujuan pokok”, dan bukan dipandang sebagai “Wasilah” atau Perantara, berarti ia benar-benar melakukan kesyirikan.
Kedua : Orang bertawassul melalui Wasithah atau “Perantara” tersebut semata-mata lebih disebabkan oleh kecintaannya atau “mahabbah”-nya kepadanya, disertai keyakinan bahwa Allah swt mencintai “Perantara” tersebut. Kalau tidak demikian, berarti ia adalah orang yang paling jauh dan sangat dibenci Allah swt.
Ketiga : Sekiranya orang yang bertawassul tersebut berkeyakinan bahwa “perantara” atau “wasithah” itulah sebenarnya yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat, bukannya Allah swt yang melakukannya, berarti ia melakukan kesyirikan.
Keempat : Tawassul bukanlah suatu keharusan. Terkabulnya suatu doa tidak tergantung kepada Tawassul tersebut. Tetapi tawassul sekedar sebagai suatu doa secara mutlak kepada Allah swt
B. CONTOH KONGRIT
BERDOA TAWASSUL :
1. Berdoa Tawassul Melalui Amal Sholeh,
Sebagaimana yang disinggung oleh Hadis shahih mengenai ketiga orang dijaman dahulu yang terkurung didalam gua. Mereka bertiga masing-masing berdoa melalui amal shalihnya sendiri-sendiri. Orang pertama bertawassul dengan perantaraan amal shaleh andalannya, yakni berbakti kepada kedua orang tuanya. Orang kedua bertawassul dengan amal shaleh yang berupa usaha menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan tercela pada saat ia mampu melakukannya. Orang ketiga bertawassul dengan amal shalehnya, yakni kejujurannya dalam menjaga dan memelihara harta benda “gaji” pegawainya. Allah lalu mengabulkan doanya. Seketika itu batu besar yang menutupi gua terbuka, sehingga mereka dapat keluar dari gua dengan selamat. Model tawassul inilah yang disepakati oleh mayoritas ulama.
2. Berdoa tawassul
melalui perantaraan orang-orang yang menjadi kekasih Allah, yakni para Nabi,
Rasul, Auliya’ dan lainnya. Sebagaimana permintaan para putra Nabi Ya’qub
kepada beliau agar sudi memohonkan mereka ampunan kepada Allah, sebagaimana
yang disinggung oleh QS Yusuf : 97 :
قَالُوْا يَا أَبَانَا
اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِيْنَ
“Mereka berkata, “Wahai ayah kami,
mohonkanlah ampunan bagi kami terhadap dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami orang
yang telah berbuat salah”. (QS Yusuf : 97)
Mereka berbuat demikian
karena memandang Ya’qub sebagai kekasih Allah yang memiliki kedudukan sangat
dekat kepada Allah yang tentu saja doanya lebih mustajabah daripada doa mereka.
Allah berfirman dalam QS An-Nisa’ : 64
وَ لَوْ اَنَّهُمْ إِذْ
ظَلَمُوْا اَنْفُسَهُمْ جَائُوْكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللهَ وَ استَغْفَرَ لَهُمُ
الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوْا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا
“Sungguh jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Penerima taubat lagi Maha penyayang.” (QS An-Nisa’ : 64)
Kedua ayat diatas
secara jelas mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia, baik yang
masih hidup maupun yang sudah wafat, dimana mereka mempunyai derajat yang
tinggi dihadapan Allah disebabkan kesalihannya. Karenanya mereka menjadi
kekasih-kekasih Allah yang mendapatkan kemuliaan dan doanya terkabul. Untuk itu
agama menganjurkan kita agar ta’zhim, hormat dan mahabbah (cinta) kepada
mereka.
3. Bertawassul Dengan
Diri Rasulullah Saw Dimasa Hidupnya Dan Setelah Wafatnya
Rasulullah saw mengajarkan kepada salah seorang sahabatnya yang buta karena penyakit mata untuk berdoa tawassul dengan dirinya :
أللهمّ
إنّي أسألك و أتوجّه إليك بنبيّك محمّد صلّى الله عليه و سلّم نبيّ الرّحمة. يا
محمّد, إنّي أتوجّه بك إلى ربّك فيجلي لي بصري. أللهمّ شفّعه فيّ و شفّعني في نفسي
“Ya Allah, aku memohon dan bertawajjuh (menghadap) kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, Nabi Muhammad saw, seorang Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad ! Aku bertawajjuh melalui perantaraanmu kepada Tuhanmu, agar Dia menjadikan penglihatanku bisa melihat kembali. Ya Allah, terimalah permohonan syafaatnya untukku dan terimalah permohonan syafaatku untuk diriku”.
Usman bin Hunaif ra menceritakan, “Demi Allah. Tidak lama kemudian, lelaki tersebut mendatangi Rasulullah saw dalam keadaan seakan-akan tidak buta”.(HR Al-Hakim)
At-Tirmidzi pun
meriwayatkan hadis, bahwa Usman bin Hunaif pernah didatangi temannya yang
kesulitan bertemu dengan khalifah Usman bin Affan. Kemudian ia mengajarkan doa
tawassul yang pernah diajarkan Rasulullah kepada sahabat yang buta diatas.
Katanya : “Bacalah doa
أللهم إنّي أسألك و أتوجّه إليك بـنبيّنا
محمّد صلّى الله عليه و سلّم نبيّ الرحمة. يا محمّد ! إنّي أتوجّه إلى ربّك فيقضي حاجتي
…
“Ya Allah, aku memohon dan bertawajjuh kepada-Mu dengan
perantaraan Nabi kami, Nabi Muhammad saw, Nabi pembawa rahmat. Hai Muhammad !
Sesungguhnya aku bertawajjuh kepada
Tuhanmu melalui perantaraanmu, kiranya Dia mengabulkan hajat keperluanku …”
Kemudian sebutkan apa yang menjadi hajat keperluanmu”.
Demikianlah kata Usman bin Hunaif menyarankan kepada lelaki tersebut.
Lelaki tersebut lalu menemui khalifah. Sesampainya di
istana, ia diantarkan penjaga menemui khalifah Usman bin Affan dan diterima
dengan penuh penghormatan. Khalifah mempersilahkannya untuk mengemukakan
hajatnya.
4. Rasulullah Saw Berdoa Tawassul Dengan
Hak-Nya Orang Yang Memohon
Hadis dari Abu Sa’id al-Hudhry menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat, lalu ia berdoa:
أللهمّ
إنّي أسألك بحقّ السّائلين عليك, و بحقّ ممشاي هذا, فإنّي لم أخرج أشرّا و لا بطرا
و لا رياء و لا سمعة, خرجت اتّقاء سخطك و ابتغاء مرضاتك, فأسألك أن تعيذني من
النار و أن تغفر لي ذنوبي, إنّه لا يغفر الذّنوب إلاّ أنت
“Ya Allah,
aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan hak-nya orang-orang yang
meminta (berdoa) kepada-Mu, dan dengan perantaraan hak-nya perjalananku
ini. Aku keluar tidak karena untuk kesombongan, pembangkangan, pamer dan
mencari ketenaran (popularitas). Aku keluar dari rumah adalah karena takut
terhadap kebencian-Mu dan karena mencari ridha-Mu. Karena itu, aku memohon
kepada-Mu, kiranya Engkau berkenan melindungiku dari siksa api neraka dan
mengampuni dosa-dosaku. Karena tiada yang dapat mengampuni dosa-dosa tersebut
selain Engkau”.
Dengan bacaan doa
tersebut, maka Allah swt sendiri yang akan menerima doanya dan 70000 (tujuh
puluh ribu) malaikat akan memohonkan ampunan untuknya” (HR Ahmad, Ibnu Majah
dan Ibnu Khuzaimah)
5. Berdoa Tawassul Dengan Selain Nabi
Hadis dari Utbah bin
Ghazwan menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “Apabila salah
seorang diantara kalian kehilangan sesuatu atau membutuhkan bantuan, sementara
ia berada di suatu daerah sunyi yang tidak ada seorang pun di sana, hendaklah
ia berkata:
عباد الله, أعينواني
“Wahai hamba Allah ! Tolonglah aku”
Karena Allah swt memiliki makhluk selain manusia yang
tidak mampu kita lihat”. Hal
ini sering dilakukan orang, dan cukup mujarab. (HR At-Thabrany).
Uraian di atas merupakan contoh tawassul dalam bentuk Panggilan atau Seruan kepada seseorang atau sesuatu selain Rasulullah saw.
Imam Bukhari meriwayatkan hadis, bahwa Amirul mukminin Umar bin Khatthab pernah berdoa tawassul dengan perantara kemuliaan posisi paman Nabi, Abbas bin Abdul Mutthalib, pada saat negara tengah dilanda kemarau panjang. Setelah melakukan shalat istisqa’, Umar berdoa:
أَللَّهُمَّ إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا, وَ إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا,
فَاسْقِنَا
“Ya Alloh! Kami (dulu) berdoa tawassul
kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan. (Sekarang)
kami berdoa tawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka
turunkanlah hujan kepada kami”.
Setelah itu hujan turun dengan sangat derasnya.
Dari
uraian dan contoh-contoh tawassul diatas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa
berdoa denan cara tawassul adalah diperbolehkan. Berdoa tawassul bukanlah suatu
perbuatan kufur atau syirik. Pada saat bertawassul, kita tidak berdoa atau
memohon kepada sesuatu yang kita jadikan sebagai wasilah (perantara),
tetapi semata-mata berdoa kepada Allah.
6. Bertawassul Dengan
Yang Sudah Wafat
Bertawassul tidak terbatas pada yang hidup. Bertawassul dengan yang sudah wafat pun, seperti Walisongo dan auliya’ atau ulama lainnya, juga diperbolehkan. Menurut pandangan madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, orang-orang yang sudah wafat tersebut pada hekekatnya masih hidup, yakni hidup di alam barzah. Badan mereka memang sudah mati atau hancur, tetapi rohnyanya tetap masih hidup, masih bisa melihat, mendengar dan merasakan kenikmatan kubur atau siksa kubur. Nikmat dan siksa hanya dapat dirasakan oleh orang yang hidup, bukan oleh orang yang mati. Jika badan dan roh mereka benar-benar mati, tentu mereka tidak akan merasakan adanya nikmat dan siksa kubur, yang berarti nikmat dan siksa kubur itu tidak ada. Padahal nikmat dan siksa kubur pasti adanya.
Kepastian hidupnya roh di alam barzah ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Diantaranya :
Firman
Allah :
وَلَا تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَا
ءَاتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا
بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
(170)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di
belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Ali Imran,[3] : 169-172)
Imam Bukhary dan
Muslim didalam kitab Ash-Shahihain mengetengahkan Hadis Nabi yang
menjelaskan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kepada para sahabatnya agar
kedua puluh empat mayat tentara kafir Quraisy yang tewas di tengah pertempuran
Badar dilemparkan saja kedalam salah satu sumur tua di situ. Selanjutnya beliau
saw memanggil nama mereka satu persatu : “Hai Umayyah bin Khalaf…! Hai Utbah
bin Rabi’ah…! Hai Syaibah bin Rabi’ah…! Hai Fulan bin Fulan…! …(dan
seterusnya) …Apakah kalian sudah menemukan apa yang telah dijanjikan
“tuhan-tuhan” yang kalian sembah?
Sementara aku benar-benar sudah menemukan apa-apa yang dijanjikan Tuhanku
(Allah swt ) kepadaku !”. Menyaksikan prilaku “aneh” Rasulullah saw
tersebut, Umar bin Khatthab ra bertanya: “Apakah engkau berbicara dengan
jasad-jasad yang sudah tidak bernyawa lagi ?”. Beliau saw menjawab : “Demi
Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya! Sesungguhnya kalian tidak lebih
mampu mendengar terhadap apa yang telah aku ucapkan kepada mereka tadi. Hanya
saja mereka tidak mampu menjawabnya”.
C. DOA TAWASSUL
BI-AULIYA-ILLAH
Diperbolehkan ber-doa tawassul
kepada Allah melalui perantaraan Wali yang diziarahi. Maksudnya, kita berharap
kepada Wali tersebut agar sudi mengamini doa yang kita panjatkan kepada Allah,
atau berharap agar Wali tersebut sugi mendoakan kita kepada Allah.
1. Caranya:
Selesai membaca doa diatas dan tetap masih dalam keadaan duduk, kita hendaknya diam sebentar, kemudian mengungkapkan doa tawassul seperti di bawah ini, sebagaimana yang pernah diajarkan oleh KH Bisri Musthofa Rembang dalam bukunya yang berjudul “Cara-caranipun Ziarah ….”. (Doanya cukup dibaca didalam hati, seraya mengkondisikan diri atau membayangkan dalam hati bahwa mBah Sunan … … / Wali yang dizaiarahi seolah-olah hadir dihadapan kita):
2. Teks Doa Tawassul
Berbahasa Jawa :
“Kanjeng Sunan ……….. (atau : Embah Waliyyulloh ……). Kawulo ziyarah, sowan
ngadep pasareyan panjenengan meniko :
1. Saperlu nyekapi printahipun Rasululloh saw.
1. Saperlu nyekapi printahipun Rasululloh saw.
2. Kepingin pikantuk berkah panjenengan. Mugi-mugi sarono ziyarah sowan kawulo meniko, Gusti Alloh Ta’ala kepareng paring gampil dateng sedoyo urusan kulo donya-akhirat, paring hasil maksud-maksud kulo ingkang sahe-sahe donya-akhirat, langkung-langkung supados anak putu kulo dados manungso ingkang sahe-sahe menggahing Gusti Alloh..
Semanten atur kawulo. Mugi-mugi Gusti Allah paring qobul. Kawulo nyuwun
pamit”.”
3. Teks
Doa Tawassul Berbahasa Indonesia :
“Kanjeng Sunan (atau mBah Waliyulloh) ……………. (sebutkan namanya). Kami
berziarah dan datang menghadap makam engkau ini adalah dalam rangka:
1. Memenuhi perintah dan anjuran Rosulullah saw sebagaimana dalam hadisnya bahwa berziarah itu disunnahkan.
2. Ingin mendapatkan keberkahan lantaran engkau. Melalui perantaraan ziarah kami kepada engkau ini, semoga Allah SWT sudi melancarkan dan memudahkan semua urusan kami, baik urusan dunia maupun akhirat. Semoga hasil maksud semua hajat dan citra-cita kami (- jika perlu, sebutkan apa hajatnya-), terutama anak-anak keturunan kami semoga menjadi orang yang shalih….
Demikian harapan kami, Semoga Alloh mengabulkan. Matur Nuwun.
Sekarang kami mohon pamit.”
Selanjutnya
berdiri sambil mengucapkan salam:
السّلام عليكم و رحْمة الله
و بركاته
Terus pulang, meninggalkan
komplek makam.
4. Peringatan :
Sewaktu menziarahi makam Walisongo, auliya’ dan kaum sholihin pada umumnya, jangan sekali-kali meminta apa saja kepada mereka (penghuni kubur).
Apapun maksud-tujuan anda berziarah, misalnya ingin agar segera mendapat anak keturunan, sukses usahanya, naik pangkatnya, lulus ujian, dapat melunasi hutangnya, bebas dari problem hidup, dan sejenisnya, kesemuanya hendaknya dimohonkan langsung kepada Allah SWT, atau dengan cara tawassul seperti diatas. Jangan memohon semuanya itu secara langsung kepada penghuni kubur. Perbuatan semacam ini termasuk perbuatan Syirik yang sangat besar dosanya.
Berbeda dengan doa-doa permohonan kepada Allah (termasuk doa tawassul) yang anda baca di depan makam auliya’ tersebut adalah dengan harapan agar mereka (penghuni kubur) ikut mengamini seluruh permohonan anda tersebut. Inilah yang dinamakan dengan doa tawassul melalui para Wali.
Jadi, sekalipun secara lahiriah anda berdoa sambil menghadap ke makam auliya’, akan tetapi pada hakekatnya yang anda mohon dan anda tangisi hanyalah Allah SWT, bukan para Wali.
No comments:
Post a Comment