Wednesday 20 December 2017

Keping-2 Kenangan Yang Tersimpan - [Indahnya Wafat di Tanah Suci 5]


Mengenang 40 Hari Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.
[*Lahir di Surabaya: 01-09-1970           * Wafat di Makkah: 13-10-2014]



Oleh: Sadad Ibnu Hambari


“Sometimes, you will never know the value of what you have till you lose it”
Terkadang, kamu tak akan pernah tahu nilai dari apa yang kamu miliki, hingga kamu kehilangan dia

Begitu berita itu tiba, sekejap semua sendi-sendi tubuh saya seakan lemas. Jutaan penyesalan menyerang bertubi tanpa ampun. Saat itu saya merasa bahwa Neng seperti sebuah taman yang tak sempat saya kunjungi dalam durasi lebih lama. Saya menyesal tidak mengisi lebih banyak detik untuk bergurau, tidak menghabiskan lebih banyak malam untuk curhat, tidak meluangkan lebih banyak waktu untuk berdekatan dengannya. Begitulah kematian, ia adalah sebuah nyanyian sunyi. Sebuah kesepian. Sebuah kesendirian. Sebuah rahasia dari Sang Maha Rahasia. Karenanya saya tak pernah tahu bahwa Neng akan pergi selekas ini. Andai ia bukan sebuah rahasia, saya akan lebih lama mengecup pipinya, mencium tangannya dan menemani hari-harinya.


Penerus perjuangan Abah


Bersama sang Abah dan adik Sadad (1996)
Saat Abah wafat 2004 silam, saya sempat khawatir kami selaku anak-anaknya tidak bisa melanjutkan estafeta perjuangan beliau. Bagaimanapun, Abah sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya di tengah masyarakat, memberikan apa yang ia punya, mengajarkan apa yang ia ketahui. Tapi lambat-laun kekhawatiran saya pupus dengan sendirinya. Roudloh tetap hidup, bahkan Neng memberikan gebrakan “pengabdian” baru untuk masyarakat: menjual obat.

Abah memang selalu bahagia jika melihat anaknya berani tampil dan berjuang di masyarakat. Dulu saat saya kecil, Ibu sering bilang bahwa Abah sangat bahagia jika anaknya bisa berpidato, sebagai bekal untuk terjun di masyarakat. Barangkali alasan itulah yang membuat ibu kemudian pernah berujar pada Neng Tik, koen kok gak ket biyen dodol obat koyok ngene. Abahmu ngerti ngono lak seneng (Tik, kamu kok gak jualan obat dari dulu. Andai abahmu tahu dia pasti senang)  Tapi Abah pasti tahu, sebab yang mati lebih tahu kondisi mereka yang hidup dari pada yang hidup. Di alam sana Abah sudah melihat kiprah Neng dalam mengobati masyarakat. Bahkan mungkin sekarang Abah lebih senang, sebab ia sudah bersua dengan anak yang paling ia cintai.


Pengabdian inilah yang membuat Neng begitu lama menunda kepindahannya secara total di rumah Jl. Jaksa Agung Suprapto 5c/7 Sidokumpul Gresik. Saya masih ingat, saat masih sekolah di SMPN 4 Gresik, Neng berkata bahwa ia akan pindah ke rumah itu saat saya kelas VIII SMP dan membawa serta saya, sehingga saya tak perlu jalan kaki jauh untuk sampai ke sekolah. Tapi sayang, hal itu tak pernah terwujud sampai beliau wafat.

Impian untuk menempati rumah Jaksa Agung Gresik semakin ia tanggalkan saat rumah Sememi (Jl. Tb. Osowilangun 70 Sby) semakin sering dihujani pengunjung yang akan berobat. Neng melayani mereka dengan baik, ia hanya meminta izin satu hari untuk “tak mengabdi” yaitu pada malam Jum’at sampai malam Sabtu. Setiap kali rencana untuk pindah rumah muncul ke permukaan, Neng selalu bilang “Terus ke-epo iki obat-obate, wong-wong wes kadung cocok” (terus bagaimana ini obat-obatannya? Orang-orang sudah terlanjur cocok). Neng seolah terjebak pada lingkaran pahala yang sengaja diatur olehNya. Ia ngaboti orang-orang hingga mengorbankan keinginannya sendiri. Ia seperti “dipaksa” Allah untuk memetik buah dari bibit ganjaran yang ia tanam.

Ibaratnya, meskipun kondisi ekonomi keluarga kami di mata masyarakat tergolong serba kecukupan, Neng masih bersedia hidup alakadarnya: tidak bermobil, tidur tanpa AC, tak segan ngangkot, bahkan rela hidup bersama Ibu dalam jangka waktu yang lama. Lalu alasan apalagi yang membuat kami sebagai keluarganya enak-enakkan hidup mewah? Neng sudah terbiasa hidup susah sejak kecil, sehingga saat dewasapun ia tak segan untuk hidup sederhana. Ia teladan utama buat saya. Ia tak pernah menuntut hidup mewah hanya karena dulu ia banyak membantu ibu menghidupi keluarga. Neng adalah teladan ideal tentang kesederhanaan. Sebuah sikap yang ia pilih hanya karena keinginannya untuk tidak berhenti mengabdi pada masyarakat.


Kedalaman Cinta pada Ibu


Ngantar emak periksa ke dokter
Lalu apalagi yang mesti saya ragukan dari kemuliaan seorang anak yang rela menemani ibunya ketika ia mampu hidup mandiri? Lalu apalagi yang akan saya sangsikan dari kebaikan seorang putri yang menunda diri hidup di rumah pribadi hanya karena ingin merawat ibunya sendiri? Usia Neng sudah 44 tahun dan dia masih saja “bersedia”, “menerima”, “ikhlas”, “tak mengeluh”, “rela”, “dengan lapang dada”, dan sebagainya untuk tinggal di Tambak Osowilangun menemani ibu. Persetan dengan garasi  bermobil, rumah megah, atau ruang keluarga mempesona. Neng tetap memilih tinggal di Tambak Osowilangun, karena alasan obat, juga ibu yang sudah tua renta.

Saya rasa, ibu menemukan sandaran paling menyejukkan dalam diri Neng. Bukan yang lain. Barangkali seperti ketenangan yang dirasakan sahabat Abu Bakar saat bersama Nabi Muhammad, atau kenyamanan Soekarno saat berjumpa Hatta. Keeratan mereka tidak hanya sebatas antara Ibu dan anak, tapi seperti sepasang sahabat. 

Di antara anak yang lain, hanya Neng yang paling sering diminta mengobati ibu. Maklum, Neng punya latar belakang pendidikan kesehatan, “Apoteker”. Entah berapa kali nama Neng disebut oleh ibu. –semoga langkah beliau setiap menghampiri ibu saat dipanggil, bernilai pahala. Beliau menjadi pendamping setia ibu saat sakit atau pergi menuju rumah sakit. Dan layaknya sahabat, saat ibu ditimpa masalah karena ulah beberapa orang yang meresahkan, Neng-lah orang yang berada di garda terdepan dalam mendampingi ibu.

Puncak dari pengabdian Neng pada ibu adalah ketika haji. Neng-lah yang mendorong kursi roda ibu, merawat ibu, menyiapkan peralatan mandi, menyediakan obat-obatan yang harus diminum, menemani saat thawaf-sa’i, dan membantu ibu untuk melakukan berbagai aktifitas ibadahnya. Akan hal ini, ibu sempat berkata pada anak-anak setiba dari haji: “Mutik iku olehe ngeman aku sek nemene. Dieman-eman seru. Tapi awake dewe gak dieman-eman” (Sikap Mutik ngeman aku itu luar biasa. Tapi kenapa kok dirinya sendiri gak dieman).

Saya menganggap bahwa Neng pergi meninggal dunia dalam indeks tertinggi pengabdiannya kepada ibu. Ia wafat dalam hari-hari ketika ia curahkan kasih sayangnya paling utuh pada ibu. Sehingga dalam bayang imajiner saya, saat ruhnya lepas dari jasad, Neng telah disambut oleh Abah dengan kata-kata “Suwun Nak, wes ngerawat emakmu. Suwun. Baktimu gede” (Terimakasih, anakku. Sudah merawat ibumu. Terimakasih. Baktimu begitu besar)

Berdzikir Tenda Arofah

Dan ibu pada akhirnya ridho, ia sangat ridho dengan Neng atas kebaikannya selama ini, terkhusus pengabdian di masa-masa terakhirnya kepada ibu. Sehingga barangkali Allah terkesima, terpukau, terpesona lalu meminta Neng beristirahat dari pengabdiannya yang begitu total selama ini kepada ibu.



Rasa Sayang pada Putri Tunggalnya

Mata saya perih tak terbantahkan pagi itu. Kehilangan Neng sudah cukup menyesakkan dada, rasa sesak semakin menekan saat ingat putri semata wayangnya, Thebba Elvana. Bahkan pelan-pelan saya menyadari bahwa air mata saya lebih banyak tumpah untuk menangisi kesendirian Thebba tanpa ibunya, bukan kepergian Neng. Karena saya mengerti sekali kedekatan hubungan antara Thebba dan ibunya.

Saya masih ingat bagaimana setiap pagi Neng membangunkan Thebba, bahkan terkadang terjadi perbincangan singkat lucu antara keduanya, semisal “Tangi, Nak. Loh, lambene sangare rek” (Bangun, Nak. Tuh, bibirnya serem banget). Thebba terkadang tersenyum manja dengan mata setengah terpejam: “Opo se buuuk!” (Apa sih buuuk!). Thebba memang sangat manja pada ibunya. Sikap dia saat dibangunkan oleh ibunya berbeda jauh dengan ketika ayahnya atau orang lain membangunkan. Ia akan langsung bangun jika dibangunkan oleh selain ibunya. Selama ibunya hajipun, konon Thebba sangat mudah dibangunkan. Saya mengira ini karena Thebba tak menemukan tempat bermanja. Ia tentu tidak nyaman bermanja pada bibinya (Mbak Mila dan Mbak I’ah) dsb.



Dulu, saat Thebba masih kecil dan sakit-sakitan, saya pernah sedikit meluapkan rasa iba saya pada Neng: “Neng, anak semata wayang, tapi loro-loroan”. Jawaban Neng begitu agamis: “Lah gusti Allah nitipi seng loro-loroan. Ya tetep kudu diramut” (Lah, Allah menitipi anak yang sakit-sakitan, Dad. Ya tetep harus dirawat). Saya trenyuh dan tak bisa berpikir lagi. Hanya menyadari bahwa yang kita punya semuanya cuma titipan.

Saya terkadang menangis terkenang bagaimana saat penyakit Thebba kambuh, lalu Neng berlari kesana kemari mencari pinjaman mobil untuk anaknya. Terkadang meminta saya ke terminal untuk mencari taksi, karena suaminya sedang sibuk menenangkan Thebba. Neng benar-benar ikhlas mengajarkan bagaimana merawat titipan.

Banyak sekali interaksi yang menunjukkan kedekatan Thebba dengan Ibunya. Bahkan saya menganggap Neng adalah tongkat tempat Thebba bertumpu dan menjalani kehidupan. Saya tahu bahwa keponakan saya ini untuk selanjutnya harus melangkah tanpa didampingi ibunya lagi. Tak ada lagi yang membantu Thebba menyiapkan pelajaran sekolah. Tidak ada lagi yang mengajari Thebba di malam hari. Tak ada lagi sosok yang dijadikan Thebba tempat curhat tentang apa saja yang terjadi di sekolah pagi sebelumnya, juga tak ada lagi yang menemani Thebba tidur dengan canda tawa renyah seperti dulu.


Sowan ke Pakde Mus di Rembang (2009)

Saat Ramadhan tiba nanti, juga tak ada lagi seorang ibu yang menggandeng tangan Thebba untuk tarawih di pondok Roudloh. Tak ada lagi seorang ibu yang menyiapkan buka puasa untuk Thebba. Tak ada lagi seorang ibu yang mempersiapkan mukena untuk sholat Thebba. Tak ada lagi seorang ibu yang menemani Thebba menonton TV seusai tarawih. Thebba di mata saya tidak hanya kehilangan ibunya, ia seperti kehilangan kehidupannya. Ia kehilangan seorang wanita yang paling ia cintai di dunia.

Dan saat kabar kematian Neng tiba pada saya, kenangan-kenangan Neng dengan Thebba bermain begitu hebat dalam pikiran saya. Kenangan-kenangan tadi, semuanya seperti hujan yang mengguyur deras jiwa, lalu merembes ke pulupuk mata dan membuat air mata saya mengalir tak sudah-sudah. Saat itulah kemudian saya begitu rindu dan kangen dengan Thebba. Saya menelfonnya dengan menahan sekuat tenaga nada sedih dari suara saya. Saya tanya kabarnya, sekolahnya, kegiatannya, lalu berujung pada pertanyaan “Thebb, gak kangen emak ta?” (Thebb, gak kangen nenek?) Dengan suara polos dan lugu dia menjawab “Yo kangen Mas, tapi aku kangen seru karo ibu Mas” (Ya kangen Mas. Tapi aku lebih kangen Ibu). Nafas saya tersedak. Ingin rasanya tersungkur menangis. Tak tega melihat keponakan saya tak bisa menumpahkan kerinduannya pada sang Ibu. Sampai nanti. Sampai kita bersama-sama mati.


Air mata saya semakin membanjir saat seorang saudara bercerita “Thebba wingi itu udah ngitung-ngitung hari tekoe ibunya. Dia bilang ke orang-orang ‘ibuku telung dino engkas moleh’” (Theba kemaren sudah menunggu kedatangan ibunya. Dia berkata ke orang-orang ‘ibu tiga hari lagi pulang). Saya hanya terdiam sedih. Saya ingin membelai rambut anak ini dan berkata bahwa tidak hanya tiga hari, Thebb, tapi selamanya. Sungguh ibumu tak akan pulang, Nak. Ia sudah dijemput Allah ke alam yang berbeda. Ke alam yang tak mampu kau jamah, kau raba dan kau pandang. Semoga Allah memberikan kekuatan untukmu, Nak. Tabahkan hatimu, kami tak akan membiarkanmu mengarungi kerasnya hidup seorang diri.

Meski terlalu cepat, saya tidak pernah membayangkan bahwa Ning akan meninggal dalam keadaan seindah ini. Meninggal setelah haji akbarnya tuntas. Meninggal setelah menghabiskan malam dengan tahajud di Masjidil Haram bersama suami. Meninggal dalam puncak pengabdiannya kepada seorang Ibu. Meninggal dalam rasa puasnya karena telah mewakafkan tubuhnya untuk beribadah sepanjang hari.
Meski terlalu dini, saya selalu iri dengan akhir menawan dari kematian Neng ini. Wafat di tanah yang paling dicintai Allah. Jenazahnya digiring dan direbahkan dekat Ka’bah, tempat milyaran manusia berkiblat dalam sembahyang. Disholatkan oleh jutaan jamaah di Masjidil Haram. Dimakamkan di tanah haram, tanah yang menjadi saksi perjuangan seorang Muhammad dalam mengibarkan bendera Islam.





Selamat jalan, kakakku. Banyak orang merindukan kematian seperti yang kau alami. Selamat berkumpul bersama Abah. Allah telah mencukupkan tugasmu di muka bumi. Allah telah mengistirahatkanmu dari pengabdian tak tertandingi yang kau persembahkan untuk Ibu. Kau pergi sebelum thawaf wada’, sebab kau tak akan pernah mengucap “wada’an” (pamitan) pada tanah Makkah. Kau akan tetap bersemayam di sana. Di belahan bumi tempat Islam diperjuangkan mula-mula. Di bagian bumi tempat Allah menampakkan sinar tauhid. Kami begitu mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu.


(Kairo. 31 Oktober 2014)

1 comment:

  1. In this manner my associate Wesley Virgin's story starts in this SHOCKING and controversial VIDEO.

    You see, Wesley was in the army-and shortly after leaving-he found hidden, "SELF MIND CONTROL" tactics that the CIA and others used to get anything they want.

    As it turns out, these are the same methods tons of famous people (especially those who "come out of nowhere") and the greatest business people used to become wealthy and famous.

    You probably know that you utilize only 10% of your brain.

    That's because the majority of your brainpower is UNCONSCIOUS.

    Perhaps this expression has even taken place INSIDE OF YOUR very own brain... as it did in my good friend Wesley Virgin's brain seven years back, while riding an unregistered, garbage bucket of a car with a suspended license and with $3 on his banking card.

    "I'm very frustrated with living check to check! When will I become successful?"

    You took part in those questions, isn't it so?

    Your success story is going to start. You just need to take a leap of faith in YOURSELF.

    CLICK HERE To Find Out How To Become A MILLIONAIRE

    ReplyDelete