Wednesday, 20 December 2017

Keping-2 Kenangan Yang Tersimpan - [Indahnya Wafat di Tanah Suci 5]


Mengenang 40 Hari Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.
[*Lahir di Surabaya: 01-09-1970           * Wafat di Makkah: 13-10-2014]



Oleh: Sadad Ibnu Hambari


“Sometimes, you will never know the value of what you have till you lose it”
Terkadang, kamu tak akan pernah tahu nilai dari apa yang kamu miliki, hingga kamu kehilangan dia

Begitu berita itu tiba, sekejap semua sendi-sendi tubuh saya seakan lemas. Jutaan penyesalan menyerang bertubi tanpa ampun. Saat itu saya merasa bahwa Neng seperti sebuah taman yang tak sempat saya kunjungi dalam durasi lebih lama. Saya menyesal tidak mengisi lebih banyak detik untuk bergurau, tidak menghabiskan lebih banyak malam untuk curhat, tidak meluangkan lebih banyak waktu untuk berdekatan dengannya. Begitulah kematian, ia adalah sebuah nyanyian sunyi. Sebuah kesepian. Sebuah kesendirian. Sebuah rahasia dari Sang Maha Rahasia. Karenanya saya tak pernah tahu bahwa Neng akan pergi selekas ini. Andai ia bukan sebuah rahasia, saya akan lebih lama mengecup pipinya, mencium tangannya dan menemani hari-harinya.


Penerus perjuangan Abah


Bersama sang Abah dan adik Sadad (1996)
Saat Abah wafat 2004 silam, saya sempat khawatir kami selaku anak-anaknya tidak bisa melanjutkan estafeta perjuangan beliau. Bagaimanapun, Abah sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya di tengah masyarakat, memberikan apa yang ia punya, mengajarkan apa yang ia ketahui. Tapi lambat-laun kekhawatiran saya pupus dengan sendirinya. Roudloh tetap hidup, bahkan Neng memberikan gebrakan “pengabdian” baru untuk masyarakat: menjual obat.

Abah memang selalu bahagia jika melihat anaknya berani tampil dan berjuang di masyarakat. Dulu saat saya kecil, Ibu sering bilang bahwa Abah sangat bahagia jika anaknya bisa berpidato, sebagai bekal untuk terjun di masyarakat. Barangkali alasan itulah yang membuat ibu kemudian pernah berujar pada Neng Tik, koen kok gak ket biyen dodol obat koyok ngene. Abahmu ngerti ngono lak seneng (Tik, kamu kok gak jualan obat dari dulu. Andai abahmu tahu dia pasti senang)  Tapi Abah pasti tahu, sebab yang mati lebih tahu kondisi mereka yang hidup dari pada yang hidup. Di alam sana Abah sudah melihat kiprah Neng dalam mengobati masyarakat. Bahkan mungkin sekarang Abah lebih senang, sebab ia sudah bersua dengan anak yang paling ia cintai.


Pengabdian inilah yang membuat Neng begitu lama menunda kepindahannya secara total di rumah Jl. Jaksa Agung Suprapto 5c/7 Sidokumpul Gresik. Saya masih ingat, saat masih sekolah di SMPN 4 Gresik, Neng berkata bahwa ia akan pindah ke rumah itu saat saya kelas VIII SMP dan membawa serta saya, sehingga saya tak perlu jalan kaki jauh untuk sampai ke sekolah. Tapi sayang, hal itu tak pernah terwujud sampai beliau wafat.

Impian untuk menempati rumah Jaksa Agung Gresik semakin ia tanggalkan saat rumah Sememi (Jl. Tb. Osowilangun 70 Sby) semakin sering dihujani pengunjung yang akan berobat. Neng melayani mereka dengan baik, ia hanya meminta izin satu hari untuk “tak mengabdi” yaitu pada malam Jum’at sampai malam Sabtu. Setiap kali rencana untuk pindah rumah muncul ke permukaan, Neng selalu bilang “Terus ke-epo iki obat-obate, wong-wong wes kadung cocok” (terus bagaimana ini obat-obatannya? Orang-orang sudah terlanjur cocok). Neng seolah terjebak pada lingkaran pahala yang sengaja diatur olehNya. Ia ngaboti orang-orang hingga mengorbankan keinginannya sendiri. Ia seperti “dipaksa” Allah untuk memetik buah dari bibit ganjaran yang ia tanam.

Ibaratnya, meskipun kondisi ekonomi keluarga kami di mata masyarakat tergolong serba kecukupan, Neng masih bersedia hidup alakadarnya: tidak bermobil, tidur tanpa AC, tak segan ngangkot, bahkan rela hidup bersama Ibu dalam jangka waktu yang lama. Lalu alasan apalagi yang membuat kami sebagai keluarganya enak-enakkan hidup mewah? Neng sudah terbiasa hidup susah sejak kecil, sehingga saat dewasapun ia tak segan untuk hidup sederhana. Ia teladan utama buat saya. Ia tak pernah menuntut hidup mewah hanya karena dulu ia banyak membantu ibu menghidupi keluarga. Neng adalah teladan ideal tentang kesederhanaan. Sebuah sikap yang ia pilih hanya karena keinginannya untuk tidak berhenti mengabdi pada masyarakat.


Kedalaman Cinta pada Ibu


Ngantar emak periksa ke dokter
Lalu apalagi yang mesti saya ragukan dari kemuliaan seorang anak yang rela menemani ibunya ketika ia mampu hidup mandiri? Lalu apalagi yang akan saya sangsikan dari kebaikan seorang putri yang menunda diri hidup di rumah pribadi hanya karena ingin merawat ibunya sendiri? Usia Neng sudah 44 tahun dan dia masih saja “bersedia”, “menerima”, “ikhlas”, “tak mengeluh”, “rela”, “dengan lapang dada”, dan sebagainya untuk tinggal di Tambak Osowilangun menemani ibu. Persetan dengan garasi  bermobil, rumah megah, atau ruang keluarga mempesona. Neng tetap memilih tinggal di Tambak Osowilangun, karena alasan obat, juga ibu yang sudah tua renta.

Saya rasa, ibu menemukan sandaran paling menyejukkan dalam diri Neng. Bukan yang lain. Barangkali seperti ketenangan yang dirasakan sahabat Abu Bakar saat bersama Nabi Muhammad, atau kenyamanan Soekarno saat berjumpa Hatta. Keeratan mereka tidak hanya sebatas antara Ibu dan anak, tapi seperti sepasang sahabat. 

Di antara anak yang lain, hanya Neng yang paling sering diminta mengobati ibu. Maklum, Neng punya latar belakang pendidikan kesehatan, “Apoteker”. Entah berapa kali nama Neng disebut oleh ibu. –semoga langkah beliau setiap menghampiri ibu saat dipanggil, bernilai pahala. Beliau menjadi pendamping setia ibu saat sakit atau pergi menuju rumah sakit. Dan layaknya sahabat, saat ibu ditimpa masalah karena ulah beberapa orang yang meresahkan, Neng-lah orang yang berada di garda terdepan dalam mendampingi ibu.

Puncak dari pengabdian Neng pada ibu adalah ketika haji. Neng-lah yang mendorong kursi roda ibu, merawat ibu, menyiapkan peralatan mandi, menyediakan obat-obatan yang harus diminum, menemani saat thawaf-sa’i, dan membantu ibu untuk melakukan berbagai aktifitas ibadahnya. Akan hal ini, ibu sempat berkata pada anak-anak setiba dari haji: “Mutik iku olehe ngeman aku sek nemene. Dieman-eman seru. Tapi awake dewe gak dieman-eman” (Sikap Mutik ngeman aku itu luar biasa. Tapi kenapa kok dirinya sendiri gak dieman).

Saya menganggap bahwa Neng pergi meninggal dunia dalam indeks tertinggi pengabdiannya kepada ibu. Ia wafat dalam hari-hari ketika ia curahkan kasih sayangnya paling utuh pada ibu. Sehingga dalam bayang imajiner saya, saat ruhnya lepas dari jasad, Neng telah disambut oleh Abah dengan kata-kata “Suwun Nak, wes ngerawat emakmu. Suwun. Baktimu gede” (Terimakasih, anakku. Sudah merawat ibumu. Terimakasih. Baktimu begitu besar)

Berdzikir Tenda Arofah

Dan ibu pada akhirnya ridho, ia sangat ridho dengan Neng atas kebaikannya selama ini, terkhusus pengabdian di masa-masa terakhirnya kepada ibu. Sehingga barangkali Allah terkesima, terpukau, terpesona lalu meminta Neng beristirahat dari pengabdiannya yang begitu total selama ini kepada ibu.



Rasa Sayang pada Putri Tunggalnya

Mata saya perih tak terbantahkan pagi itu. Kehilangan Neng sudah cukup menyesakkan dada, rasa sesak semakin menekan saat ingat putri semata wayangnya, Thebba Elvana. Bahkan pelan-pelan saya menyadari bahwa air mata saya lebih banyak tumpah untuk menangisi kesendirian Thebba tanpa ibunya, bukan kepergian Neng. Karena saya mengerti sekali kedekatan hubungan antara Thebba dan ibunya.

Saya masih ingat bagaimana setiap pagi Neng membangunkan Thebba, bahkan terkadang terjadi perbincangan singkat lucu antara keduanya, semisal “Tangi, Nak. Loh, lambene sangare rek” (Bangun, Nak. Tuh, bibirnya serem banget). Thebba terkadang tersenyum manja dengan mata setengah terpejam: “Opo se buuuk!” (Apa sih buuuk!). Thebba memang sangat manja pada ibunya. Sikap dia saat dibangunkan oleh ibunya berbeda jauh dengan ketika ayahnya atau orang lain membangunkan. Ia akan langsung bangun jika dibangunkan oleh selain ibunya. Selama ibunya hajipun, konon Thebba sangat mudah dibangunkan. Saya mengira ini karena Thebba tak menemukan tempat bermanja. Ia tentu tidak nyaman bermanja pada bibinya (Mbak Mila dan Mbak I’ah) dsb.



Dulu, saat Thebba masih kecil dan sakit-sakitan, saya pernah sedikit meluapkan rasa iba saya pada Neng: “Neng, anak semata wayang, tapi loro-loroan”. Jawaban Neng begitu agamis: “Lah gusti Allah nitipi seng loro-loroan. Ya tetep kudu diramut” (Lah, Allah menitipi anak yang sakit-sakitan, Dad. Ya tetep harus dirawat). Saya trenyuh dan tak bisa berpikir lagi. Hanya menyadari bahwa yang kita punya semuanya cuma titipan.

Saya terkadang menangis terkenang bagaimana saat penyakit Thebba kambuh, lalu Neng berlari kesana kemari mencari pinjaman mobil untuk anaknya. Terkadang meminta saya ke terminal untuk mencari taksi, karena suaminya sedang sibuk menenangkan Thebba. Neng benar-benar ikhlas mengajarkan bagaimana merawat titipan.

Banyak sekali interaksi yang menunjukkan kedekatan Thebba dengan Ibunya. Bahkan saya menganggap Neng adalah tongkat tempat Thebba bertumpu dan menjalani kehidupan. Saya tahu bahwa keponakan saya ini untuk selanjutnya harus melangkah tanpa didampingi ibunya lagi. Tak ada lagi yang membantu Thebba menyiapkan pelajaran sekolah. Tidak ada lagi yang mengajari Thebba di malam hari. Tak ada lagi sosok yang dijadikan Thebba tempat curhat tentang apa saja yang terjadi di sekolah pagi sebelumnya, juga tak ada lagi yang menemani Thebba tidur dengan canda tawa renyah seperti dulu.


Sowan ke Pakde Mus di Rembang (2009)

Saat Ramadhan tiba nanti, juga tak ada lagi seorang ibu yang menggandeng tangan Thebba untuk tarawih di pondok Roudloh. Tak ada lagi seorang ibu yang menyiapkan buka puasa untuk Thebba. Tak ada lagi seorang ibu yang mempersiapkan mukena untuk sholat Thebba. Tak ada lagi seorang ibu yang menemani Thebba menonton TV seusai tarawih. Thebba di mata saya tidak hanya kehilangan ibunya, ia seperti kehilangan kehidupannya. Ia kehilangan seorang wanita yang paling ia cintai di dunia.

Dan saat kabar kematian Neng tiba pada saya, kenangan-kenangan Neng dengan Thebba bermain begitu hebat dalam pikiran saya. Kenangan-kenangan tadi, semuanya seperti hujan yang mengguyur deras jiwa, lalu merembes ke pulupuk mata dan membuat air mata saya mengalir tak sudah-sudah. Saat itulah kemudian saya begitu rindu dan kangen dengan Thebba. Saya menelfonnya dengan menahan sekuat tenaga nada sedih dari suara saya. Saya tanya kabarnya, sekolahnya, kegiatannya, lalu berujung pada pertanyaan “Thebb, gak kangen emak ta?” (Thebb, gak kangen nenek?) Dengan suara polos dan lugu dia menjawab “Yo kangen Mas, tapi aku kangen seru karo ibu Mas” (Ya kangen Mas. Tapi aku lebih kangen Ibu). Nafas saya tersedak. Ingin rasanya tersungkur menangis. Tak tega melihat keponakan saya tak bisa menumpahkan kerinduannya pada sang Ibu. Sampai nanti. Sampai kita bersama-sama mati.


Air mata saya semakin membanjir saat seorang saudara bercerita “Thebba wingi itu udah ngitung-ngitung hari tekoe ibunya. Dia bilang ke orang-orang ‘ibuku telung dino engkas moleh’” (Theba kemaren sudah menunggu kedatangan ibunya. Dia berkata ke orang-orang ‘ibu tiga hari lagi pulang). Saya hanya terdiam sedih. Saya ingin membelai rambut anak ini dan berkata bahwa tidak hanya tiga hari, Thebb, tapi selamanya. Sungguh ibumu tak akan pulang, Nak. Ia sudah dijemput Allah ke alam yang berbeda. Ke alam yang tak mampu kau jamah, kau raba dan kau pandang. Semoga Allah memberikan kekuatan untukmu, Nak. Tabahkan hatimu, kami tak akan membiarkanmu mengarungi kerasnya hidup seorang diri.

Meski terlalu cepat, saya tidak pernah membayangkan bahwa Ning akan meninggal dalam keadaan seindah ini. Meninggal setelah haji akbarnya tuntas. Meninggal setelah menghabiskan malam dengan tahajud di Masjidil Haram bersama suami. Meninggal dalam puncak pengabdiannya kepada seorang Ibu. Meninggal dalam rasa puasnya karena telah mewakafkan tubuhnya untuk beribadah sepanjang hari.
Meski terlalu dini, saya selalu iri dengan akhir menawan dari kematian Neng ini. Wafat di tanah yang paling dicintai Allah. Jenazahnya digiring dan direbahkan dekat Ka’bah, tempat milyaran manusia berkiblat dalam sembahyang. Disholatkan oleh jutaan jamaah di Masjidil Haram. Dimakamkan di tanah haram, tanah yang menjadi saksi perjuangan seorang Muhammad dalam mengibarkan bendera Islam.





Selamat jalan, kakakku. Banyak orang merindukan kematian seperti yang kau alami. Selamat berkumpul bersama Abah. Allah telah mencukupkan tugasmu di muka bumi. Allah telah mengistirahatkanmu dari pengabdian tak tertandingi yang kau persembahkan untuk Ibu. Kau pergi sebelum thawaf wada’, sebab kau tak akan pernah mengucap “wada’an” (pamitan) pada tanah Makkah. Kau akan tetap bersemayam di sana. Di belahan bumi tempat Islam diperjuangkan mula-mula. Di bagian bumi tempat Allah menampakkan sinar tauhid. Kami begitu mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu.


(Kairo. 31 Oktober 2014)

Bersama Neng Muti'ah - [Indahnya Wafat di Tanah Suci 4)



Oleh H. Chotib Hambari



Berita Duka.

Ku mulai hariku saat itu,  Senin 13 Oktober 2014, dengan rutinitas seperti biasa, berjama’ah sholat Subuh di musholla dekat rumah, lalu usai sholat kulakukan kegiatan-kegiatan ringan, karena hari itu aku harus persiapkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan penyambutan kedatangan Emak, Neng, Cak Emi dan Ibu Mertuaku dari tanah suci. Sebulan lebih aku berpisah dari mereka. Rasa kangen dan rindu begitu menggelora dalam jiwaku hingga merasuki setiap nadi pembulu darahku. Tak kujumpai sama sekali peristiwa-peristiwa yang aneh di hari itu. Semua berjalan sesuai dengan apa yang telah ku rencanakan. Sejenak wajah-wajah mereka yang letih berbaur dengan suka cita terbayang dalam mata hatiku. Tanpa terasa jarum jam dinding terus berputar pelan tapi pasti, jarum pendek mendekati angka 2 sedang yang panjang berada di antara angka 10 dan 11. Ku dengar bunyi pesan BBM dari HP yang dari  tadi ada dalam genggamanku. Dari pojok layar tertulis bahwa pesan itu dikirim oleh Om ku Jimmy yang juga berada di tanah suci. Teks BBMnya tertulis : Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Om Jimmy
Akupun tak mengindahkan pesan BBM itu, karena aku masih sibuk membantu mekanis antena tv untuk memasang saluran tv cable di rumah emakku. Ku anggap pesan itu adalah pesan yang kadaluarsa, karena berita kematian famili emakku yang kukirim ke Om ku minggu lalu, baru terbalas hari itu. Namun sebagai manusia yang selalu ingin tahu, ku buka pesan tersebut. Saat hendak ku buka, baru lah terbersit pikiran-pikiran Tanya: “ojok-ojok emak” (jangan2 emak), karena kondisi emak yang sakit dan seringkali drop akibat diabetesnya. Maka ketika ku buka pesan itu dan ku baca kata demi kata, akupun diam sesaat. Ku baca lagi dan ku baca lagi, tapi tulisan itu tidak berubah sama sekali, malah mendorong linangan air mata di pipi bahkan mengganjal jalan pernafasanku. Bergegas aku berlari ke kamar, ku peluk adikku, Badi’ah sambil berucap dengan lirih kalimat: “Neng dik, Neng dik, Neng dik!!!”.

Neng opo’o Mas?Neng opo’o?” (Neng kenapa mas? Neng kenapa?). Mulutku saat itu serasa terkunci dan sama sekali tak mampu tuk menuturkan berita itu, hanya suara tangisan lirih dan linangan air mata tiada henti membasahi pipi ini. Ku tunjukkan HP ku agar I’ah bisa baca sendiri berita itu. Di saat yang bersamaan, HP tiada henti berbunyi, pesan demi pesan saling berebutan masuk ke dalam HP ku, utamanya dari adikku yang jauh di Kairo sana: “Ada berita apa mas, kok Om Sam ngirim pesan yang di awali dengan kalimat  ‘innaa lillaah.....’ aku gak mau buka pesan itu mas”. Begitulah ucap adikku dalam pesan BBM-nya, maka ku balas pesan tersebut dengan singkat “Neng dik...!!!” Berita kematian Neng begitu cepat menyebar seiring dengan hembusan angin siang dalam cuaca kemarau panas yang tak tertahankan, berita duka itu menggegerkan seluruh santri dan walinya.

Hujan air mata dari para santri yang sedang belajar mengeja huruf hijaiyyah dan belajar membaca Al Qur’an, diikuti dengan tangisan air mata para wali santri yang mengiringi anak-anak mereka di kemarau siang itu, membanjiri kelas-kelas yang ada di pondok Roudloh. Bahkan sebagian dari para Ustadzah pingsan tak sadarkan diri karenanya. Sebuah berita duka yang begitu mengejutkan dan tak pernah terbayangkan. Otakku pun dijejali dengan berbagai macam pikiran-pikiran yang begitu menggelisahkan, baik dari kiprah Neng di keluarga, di pondok dan di masyarakat sekitar, utamanya berkenaan dengan putri semata wayang Neng, Thebba Elvana yang begitu polos dan interaksinya begitu dekat dengan Neng. Memori otakku pun bekerja dengan begitu cepatnya untuk merewind kenangan suka dan duka bersama Neng-ku yang begitu polos, penyabar dan ringan tangan dalam memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkannya.

Majlis Tahlilan

Neng Muti’ah Hambari yang lahir pada tanggal 1 september 1970 adalah anak tertua dari pasangan Abahku, Muhammad Bashori dan emakku, Mushollachah yang dikarunia 6 orang anak: 3 perempuan dan 3 lelaki. Sedang aku adalah anak yang ke-2, adik dari Neng Muti’ah. Kami berenam hidup dalam aturan disiplin ketat yang diterapkan oleh abah dan emak dalam keluarganya. Di masa SD-nya, Neng selalu berpacu prestasi intra kurikuler denganku, meski Neng berada 2 tingkat di atasku, tapi saat itu prestasi Neng selalu di bawahku. Meski begitu, istiqomahnya begitu menakjubkan, hingga prestasiku pun jauh tertinggal saat duduk di bangku SMP. Neng yang alumnus SMP Khadijah Surabaya melanjutkan jenjang SMA-nya di MAN 2 Jogjakarta, sambil mondok di pesantren Al-Munawwir, asuhan (alm) KH Ali Ma’shum.


Di sana Abah sempat menitipkan Neng kepada salah seorang murid Abah yang saat itu sudah menjadi senior di lingkup pesantren untuk dibimbing dan dibina sebaik mungkin. Lelaki itu tak lain adalah lelaki yang menikahinya pada tahun 1995 yang lalu. Meski kala itu tak terbersit sedikitpun dalam benak kami semua. Bahwa kelak lelaki itu akan menjadi suami Neng, menantu Abah dan Emak, serta kakak ipar kami.

Subhaanallah... tamat dari MAN 2 Jogjakarta, Neng melanjutkan studinya di perguruan tinggi swasta UBAYA Surabaya.  Farmasi adalah fakultas yang diambil, sebuah jurusan yang tak diduga telah mengantarkan Neng menjadi sosok yang berdaya guna tinggi di tengah-tengah masyarakat dalam bidang kesehatan. Meski saat memilih jurusan itu, ada komentar-komentar “miring” berkenaan dengan kegunaan jurusan tersebut untuk da’wah islamiyah. Sang komentator mengira bahwa jurusan Farmasi tersebut kurang begitu manfaat. Tapi Alhamdulillah tidak demikian adanya, karena  kita bisa berdakwah sesuai dengan bidang kita masing-masing.
Lulus dari Farmasi, Neng melanjutkan pendidikan profesinya dan berhasil menyandang gelar Apoteker. Dari situlah kiprah Neng dalam bidang obat-obatan mulai terlihat.

***********

Cak Emi, lelaki yang menikahi Neng, demikian dia biasa disapa oleh para koleganya, begitu juga dengan cara Neng menyapanya. Bahkan panggilan Cak Emi begitu familiar bagi Neng, hingga panggilan itu terbawa sampai Cak Emi menjadi suaminya, tak ubahnya seperti emak yang selalu menyapa abah dengan Cak Mat, sama sekali tak terbersit di benak Neng tuk merubah panggilan atas suaminya dengan Mas Emi, Ayang Emi, apalagi Papa Emi. Berbeda dengan 2 adik perempuannya yang sudah menyapa suaminya dengan awalan “Mas”.  Mungkin Neng gak mau rasa sayang kepada suaminya fluktuatif seperti harga “mas” di pasar international. Dia mau sayangnya istiomah seperti Emak kepada Abah.

Kolaborasi antara Neng dan Cak Emi dalam membina rumah tangga begitu sejuk dan menenangkan, bak angin dingin yang berhembus halus di alam pegunungan tropis.  Jarang sekali ku jumpai erupsi-erupsi panas sepanas erupsi gunung Sinabung yang tiada henti mengeluarkan awan panas. Cak Emi begiti sabar dan mengerti dengan kondisi Neng yang begitu polos dalam bidang apapun. Di bidang fashion, Neng begitu polos. sederhana dan apa adanya. Konsep polos apa adanya itupun diterapkan baik kepada Cak Emi maupun Thebba Elvana, anaknya. Seperti adanya peristiwa baju dinas yang batal dicuci meski sudah masuk ke dalam bak pencucian, karena seragam itu harus digunakan pada hari itu, maka dengan santainya pula Cak Emi memakai baju tersebut sambil berjalan turun dari lantai 2 dengan bibir yang menggapit rokok SIN kegemarannya. “Aliran” polos apa adanya Neng berimbas pula pada anak semata wayangnya, Thebba. Neng memanfaatkan sarung-sarung dari kondangan yang memang menumpuk di rumah. Neng menyulap kain-kain sarung tersebut menjadi celana serba guna: guna tuk celana bermain, guna tuk celana tidur, bahkan guna tuk celana wisata. Dengan kesederhanaan Neng yang begitu menakjubkan, disertai dengan sumber penghasilan, baik dari Cak Emi maupun dirinya sendiri, tanah kavling mampu mereka beli.

Usai Resepsi pernikahan Neng dan Cak Emi yang berlangsung dengan sederhana tapi hikmat, Neng diboyong oleh suaminya yang saat itu bertugas sebagai guru PNS di kota Gudeg. Di sana mereka berdua mengontrak rumah mungil sederhana beralaskan semen  tanpa keramik. Beberapa tahun kemudian Cak Emi bermutasi dari Jogja menuju ke Gresik. Keakraban dan kedekatan kami pun semakin terbangun dengan baik.  Dari situlah aku baru tahu  bahwa Cak Emi adalah seorang suami yang ruaar biasa kesibukannya, tak kenal letih ataupun lelah. Jika diibaratkan mesin mobil, mk Cak Emi laksana mesin diesel heavy duty yang dibekali dengan 200 tenaga kuda.

5 tahun kemudian Neng dikaruniai seorang anak perempuan yang saat lahir dibutuhkan perawatan khusus bagi sang anak, karena adanya sedikit problema medis yang ada pada anak tersebut. Sejak itulah babak baru dalam kehidupan Neng dimulai. Sepulang dari rumah sakit, Neng dan Cak Emi begitu sabar dan telaten dalam merawat buah hati satu-satunya yang diberi nama Thebba Elvana.
*************

Kesederhanaan itu tak menghalangi jiwa sosial Neng dalam memberikan bantuan kepada siapapun, baik bantuan materi maupun tenaga, lebih-lebih bantuan berupa pinjaman jangka panjang karena dibayar nunggu warisan, dan bisa jadi tanpa bayar kepada adik-adik kesayangannya.

Jiwa sosialnya tercermin dalam kegemarannya tuk berbagi rizki berupa banca’an dan angpau-angpau yang dibagikannya di momen-momen hari besar Islam. Jiwa sosialnya juga merasuk dan terlihat pada praktek profesinya sebagai seorang apoteker yang berwawasan social oriented. Dia membantu banyak warga dengan obat-obatan yang murah meriah, bahkan, ada istilah buy back return atau membeli kembali obat dari pasien yang sudah sembuh meski dengan nominal di bawah Rp. 10.000. “Sakno Tib, duit segitu bagi wong-wong itu sangat berharga”. Demikian nasihatnya kepadaku. Bahkan kami saudara-saudaranya seringkali mendapatkan obat secara gratis darinya, sampai pada suatu ketika, obat gratis yang diberikan Neng untuk anakku gak berpengaruh apa-apa. Maka kusampaikan kepada Neng: “Kayaknya aku gak boleh menerima gratisan dari pean Neng”. Candaku saat itu.

Keajaiban dan keberkahan finansial kolaborasi Neng dan Cak Emi semakin nampak saat Neng menyunting mobil Toyota Kijang Innova Diesel Type G dari dealer Toyota Arina Veteran Gresik. Rumus matematika baik Aljabar, Geometri maupun Aritmatika sudah tak dapat ku gunakan lagi, karena di saat yang bersamaan Neng dan Cak Emi juga harus melunasi ONH-nya.

“Aliran” apa adanya juga diterapkan Neng dalam aspek kuliner. Bagi Neng pribadi, bahkan Cak Emi atau Thebba, makan dengan lauk kerupuk dan kecap adalah hal yang biasa. Menu andalannya adalah tongkol bumbu rica-rica ala Neng Muti’ah, Sebuah menu sederhana dan tak membutuhkan banyak bumbu seperti gule atau krengsengan. Menu itu juga sangat disukai oleh suaminya. Pernah suatu hari ku mencobanya, ternyata mantaaap. Bakso kanji, martabak dan empek-empek mengembang (bukan Palembang) juga menjadi kreasi kuliner andalannya. Setiap kali kubawa makanan itu ke GKB, anak-anakku dengan suka cita menyantapnya. Namun kepolosan tersebut terkadang juga menimbulkan tiga tragedi lucu yang menimpa suami Neng, Cak Emi. Yaitu: tragedi kopi pedas, tragedi kopi seduh air hangat-hangat kuku, dan tragedi kopi rasa vanila. Atas tragedi-tragedi tersebut, Cak Emi dengan senyum khasnya berujar kepada Nengmene ojok ngono mane, Tik! hehehe” tanpa terbersit sedikitpun rasa kemarahan pada wajahnya.
**************

Kesederhanaan pendidikan dan berjiwa sosial. Sebagai Ibu dari Thebba, dia didik dan ajari Thebba langsung tanpa harus repot menyediakan budenganet untuk les private seperti ibu-ibu di zaman modern ini. Dia persilahkan teman-temen anaknya untuk bersama-sama belajar kelompok di bawah pengawasannya, tanpa memungut biaya sepeserpun dari para wali anak-anak tersebut. 5 tahun lebih kelompok belajar tersebut diasuhnya. Diasuhnya anak-anak tersebut dengan tulus dan istiqomah. Sebuah kebaikan dalam skala mikro yang jarang diperhatikan oleh orang-orang karena kesibukannya. Neng juga aktif mengajar di pondok Roudloh, kreasi-kreasi pementasan anak-anak didiknya di pentas akhirussanah juga begitu atraktif.

Di tempat tinggalnya yang baru, tepatnya di Jl. Jaksa Agung Suprapto 5c/7 Sidokumpul Gresik, tanpa sengaja Neng dipercaya memimpin alamiyah yasinan dan tahlilan ibu-ibu. Di sela kegiatannya itu, dia juga berusaha membantu orang-orang sekitar dengan info obat-obatan yang diketahuinya selaku Apoteker. Rutinitas Neng dalam mobilisasinya saat itu ditunjang fasilitas transportasi yang minim.

**************
Mbandriek. Itulah istilah yang dikenal di kalangan tukang ojek motor yang berpenumpang lebih dari satu, dan itulah yang terjadi pada Neng, Cak Emi dan Theba. Tanpa rasa risih dan malu, mereka bertiga mbandriek kemana-mana dengan sepeda motor honda vario, atau honda GL Max yang dihadiahkan oleh emak untuk mereka. Memang dalam keluarga Hambari, jatah awal bagi setiap anak yang sudah menikah adalah satu unit sepeda motor. Aktifitas mbandriek bagi Neng dan Cak Emi adalah hal yang biasa, tapi bagi emak adalah hal yang memprihatinkan.

Seiring dengan berkembangnya situasi dan kondisi, maka emakpun mengeluarkan kebijakan baru, dengan mengucurkan dana dalam jumlah dan waktu tertentu bagi setiap anak untuk pembelian kendaraan roda empat. Dalam agenda yang tak tertulis, dana untuk Ning akan dicairkan pada pertengahan tahun 2015. Namun tanpa kuduga, Neng memiliki dana talangan pribadi untuk pembelian mobil yang diidamkannya. Maka digunakanlah dana tersebut untuk meminang satu unit innova diesel type G terbaru. Sebuah keberkahan dan keajaiban yang jauh dari estimasi rumus matematika. Tekad bulat Neng dan Cak Emi tuk menghilangkan budaya mbandriek telah di-acc oleh rabbul alamiin.

Tekad bulat Cak Emi tuk bisa mengendarai mobil tersebut, agar bisa berpergian dan berwisata dengan Neng dan anak semata wayangnya, Thebba, membuat Neng tak malu-malu tuk memposisikan dirinya sebagai kenek (co driver) bagi Cak Emi ketika menghadapi medan jalan yang sempit. Subhanallah, Neng bukan hanya kenek dalam bahtera rumah tangga yang dikapteni Cak Emi, tapi kenek dalam semua persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Cak Emi dalam setiap aspek kehidupan Cak Emi.

Mobilisasi Cak Emi dengan motor yang begitu intens membuat Neng sedikit memaksa Cak Emi tuk bisa mengemudi mobil yang telah disuntingnya, hingga Cak Emi bisa bermobilisasi dengan mobil tersebut. Paksaan itu timbul tidak lain karena rasa ngeman Neng terhadap Cak Emi yang begitu tinggi, “Aku sakno karo Cak Emi... wis towok soro, tib nangdi2 sepeda-an”, sebuah perpaduan pasangan yang begitu proporsional.

Cak Emi dengan sikap tawadlu’nya sama sekali tak menyalahgunakan kepolosan Neng untuk hal-hal yang negatif, sebaliknya Neng berusaha dengan keras dan sungguh-sungguh tuk ngeman Cak Emi, suaminya seoptimal mungkin, dengan memaksa mobilitas Cak Emi dari bersepeda menjadi bermobil. Sejak dibelinya 12 bulan yang lalu, 8 bulan mobil itu vacum, bahkan emak menyebut mobil itu “masuk angin” karena cover penutupnya jarang dibuka. Juga sejak 3 bulan yang lalu Cak Emi sudah bisa mengemudikan mobil itu sendiri. Pada bulan Ramadhan kemarin Dia telah wujudkan impian Ning tuk pergi semobil dengan suami dan anak semata wayangnya yang tentunya dikemudikan oleh suami tersayangnya, Cak Emi.

Dua Gus : Gus Nidhom & Gus Kelik

Mendekati bulan haji, mobilisasi Cak Emi semakin tinggi, sebab selain dia dan Neng hendak berhaji, Cak Emi juga dipercaya memimpin KBIH Al-Madani yang dikomandani oleh Gus Nidhom. Neng pun tak tinggal diam, dia bantu suaminya semaksimal mungkin dari persiapan-persiapan catering tuk manasik haji dll. Neng bersyukur karena mobilisasi Cak Emi ditunjang dengan mobil yang mereka miliki. Dalam rentan waktu 2 bulan tersebut, ada beberapa hari yang Ning dan Cak Emi gunakan pergi bersama-sama dengan Thebba, anaknya.

Pada suatu pagi, Sabtu 6 September 2014, saya mengantar Neng dan Cak Emi ke Pemda Gresik untuk keberangkatan hajinya. Neng dan Cak Emi duduk di bangku tengah laksana pengantin baru, sedang Thebba duduk di bangku depan mendampingiku sambil tiada henti dia tirukan lirik-lirik lagu Maher Zein dari kepingan CD yang lagi diputar. Tak terbayang sedikitpun dalam hati saya, bahwa itulah pertemuan terakhirku dengan Neng yang diam-diam aku begitu mengaguminya.


Penutup

Kutulis penutup dari kesan-kesanku ini dengan linangan air mata yang tak dapat kuhentikan, karena sebuah kerinduan akan canda tawa yang selama ini ku perbuat bersama Neng. Juga penyesalan yang tak terukur atas sikapku yang tak terpuji kepada Neng. Sebagai tamuNya, Dia tak perkenankan Neng tuk pamit pulang. Malah Dia ajak Neng tuk menghadap kepadaNya. Semoga Dia berikan maqoman mahmuda di sisiNya.

Berdoa sambil merangkul Ka'bah di bawah Talang emas Hijir Ismail

Selamat Jalan Ning! Berbahagaialah Sampeyan! Karena Rasa Kangen Pean Dengan Abah Telah Terobati


Berita Lelayu Dan Belasungkawa Wafatya Hj. Muti'ah - [Indahnya Wafat di Tanah Suci 2]


Mengenang 40 Hari Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.

[*Lahir di Surabaya: 01-09-1970           * Wafat di Makkah: 13-10-2014]

UGD BPHI Khalidiyah Wahid Makkah

 
Hj. Muti’ah terkena serangan jantung secara mendadak di maktab A-07 hotel Yakota di Mahbasjin Makkah pada pukul 08:45 WAS (Waktu Arab Saudi). Pertolongan pertama segera dilakukan oleh tenaga medis/TKHI kloter 12-SUB, dan Hj. Muti’ah secepatnya dilarikan mobil Ambulan ke  UGD Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI )yang berlokasi di Khalidiya Wahid, dengan ditemani oleh sang suami dan 2 tenaga medis/TKHI. Namun di tengah perjalanan, tepat pukul 09:19 WAS,   nyawa beliau tidak dapat diselamatkan lagi. Inna lillaahi wa innaa ilaihi roji’un.
Sesampainya di UGD BPHI pada pukul +  09.45, tim dokter melakukan tindakan medik dan memastikan kematiannya. Segeralah sang suami menyampaikan berita lelayu (kematian) ini ke H. Syamsuddin yang saat itu stanby di Maktab, kemudian segera diteruskan ke keluarga di tanah Air.  Sang suami juga menyampaikan berita lelayu ini ke pihak pengurus KBIH Al-Madani, dan beberapa orang yang dipandang cukup strategis untuk menyebarluaskan berita ini.
Walhasil. Berita lelayu tersebar luas secepat kilat, baik di Tanah Air maupun di Tanah Haram, berkat peran kecanggihan media komunikasi. Sekitar pukul 10:30 WAS (di Tanah Air pukul 14:30 WIB), tak henti-hentinya ucapan istirja’, ungkapan belasungkawa & doa dikirim dari berbagai pihak melalui media telepon, HP, facebook, dll.
Berikut ini adalah berita lelayu, ungkapan istirja’, belasungkawa dan doa yang terekam melalui beberapa facebook

Teman2 & Petugas Kloter berdatangan di UGD BPHI

               
A. BADRU TAMAM
(13 Oktober 2014, pukul 16:19 WIB)

Innalillahi wainna Ilaihi Rojiun. Telah berpulang ke Rahmatulllah Ibu Hajjah Muti’ah, istri sahabat kami CakEmi Saking Sememi (Ustadz Suchaimi ) di tanah suci Makkah pada jam 09.00 waktu setempat. Semoga seluruh amalnya diterimah oleh Allah SWT.

Komentar & Tanggapan :

Mazlan Mansur, Rizki Rachmad Dani, Moch Isa Anshori, Harun Al Rasyid, Nur Adhilah Azahari, Sam HudaAwy Asmawiyah, Agues Boyan, Cak Syahrul:
Innalillahi wainna ilaihi rojiun... semoga Amal ibadah nya diterima... Insya Allah almarhumah akan dibebaskan dari siksa api neraka.... Amin ya robbalalamin ...




B.  Qi SANAK
(13 Oktober 2014, pukul 20:05 WIB)·

MAUT MENJEMPUT JAMA’AH HAJI AL-MADANI
                      
INNA LILLAHI WAINNA ILAIHI ROJI’UN. Telah pulang ke rohmatulloh pada pagi hari ini (Senin, 13 Oktober 2014): MUTI’AH Binti KH Muhammad Basori Mansur, Istri ustadz Suchaimi bin H. Abdus Syukur. 

Semoga Alloh mengampuni dosa-dosa serta menutupi aib-aib MUTI’AH Binti KH Muhammad Basori Mansur, mengangkat derajatnya bersama orang-orang yang mendapat petunjuk.
Semoga Alloh memberi keikhlasan dan kesabaran kepada yang ditinggalkannya, menjadikan pengganti untuk suami dan anak turunannya yang lebih baik, dan juga mengampuni kita dan memelihara kita.

Ya Alloh ..
Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan yang mati, orang yang hadir di antara kami dan yang tidak hadir, laki-laki maupun perempuan.

Ya Alloh ..
Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkanlah ia dengan memegang ajaran Islam, dan orang yang Engkau matikan di antara kami, maka matikan ia dengan memegang keimanan.

Ya Alloh ..
Jangan Engkau menghalangi kami untuk memperoleh pahalanya dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.


Ya Alloh ..
Ampunilah MUTI’AH Binti KH Muhammad Basori Mansur, berilah rohmat kepadanya, selamatkan dia, ampunilah dan tempatkanlah dia di tempat yang mulia, luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju suci-Mu. Bersihkan dia dari kesalahan-kesalahannya, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik daripada rumahnya di dunia, berilah keluarga yang lebih baik daripada keluarganya di dunia, dan masukkanlah dia ke sorga, jagalah dia dari siksa kubur dan neraka.

Ya Alloh ..
MUTI’AH Binti KH Muhammad Basori Mansur adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, dia membutuhkan rohmat-Mu, Engkau tidak membutuhkan untuk menyiksanya. Apabila dia baik, tambahkanlah kebaikannya, dan apabila dia jahat, maka ampunilah dosanya.

Ya Alloh ..
Sesungguhnya MUTI’AH Binti KH Muhammad Basori Mansur dalam tanggungan-Mu dan tali perlindu ngan-Mu. Peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksa neraka. Engkau adalah Maha Menepati dan Maha Benar. Ampunilah dan kasihanilah dia. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang


Komentar & Tanggapan :

Junaidy Syakur, Akmal PerfectAbabil Fox, Kesawasidi Ndarat Dewo, Moch Fachruddin, Mohammad Anshor, Hilman Elfi, Turab Agdam, Siti Anisah, Sukar Madu, Samudra Safir, Erika Wahyuningtias, Yunik Sby, Awy Asmawiyah, Muhammad Nuruddin, Abi Abror, Ahmad Najly Arifin, Zahrani Tamshy, Hayyan Madinah, Grujil, Rona Rosyada, Yunik Sby, Amilatur Rizqi, MyMuna DietSehat AlaHerbalife, Mas Brow 
Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Aamiin. Ikut berduka cita atas meninggalnya Hj Muti’ah

Imam Chanafi (Makkah, Gsk, 13-10-2014) :
Inna lillahi wainna ilaihi rojiun

  
Foto mendiang, saat saya sungkem ke Pemondokannya di Maktab A-07 Mahbasjin ....
SEMOGA LANGSUNG DISAMBUT PARA MALAIKAT Penghuni Surga atas PerintahNya.... Alfaaatihah...




C. UNGKAPAN BELA SUNGKAWA LAINNYA

Ahmad Nasir [Krapyak - Yogja] :
…. mBak Muti’ Husnul Khotimah. Malam kamis (16-Okt-2014) dapat kabar, langsung ditahlilno nang majlis sholawat “Jam’iyah Diba’iyah Bil Mustofa” malam kemisane Gus Kelik (putra KH Ali Maksum Krapyak Yk, red.). Mugi2 sampeyan diparingi sabar- ikhlas. Aku yo njaluk ngapuro…….

Iend Farah - bersama Amanda Jogja WoluWolu (Yogyakarta) :
Selamat jalan sahabatku Muti’ah Hambari.... khusnul khotimah !

Keluarga Besar mBah Darmo [Krapyak Yogja]:
innalillahi wa inna ilaihi roji’un.. kami sekeluarga besar mbah darmo krapyak mengucpkan turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas kembalinya ibu/mbak Muthi’ ke hariba’an Allah. Semoga husnul khotimah. Pak Emi sekeluarga diparingi tabah, kuat, tambah iman, dan taqwa.
…. kami seakan-akan gak percaya kalau ibu/mbak muthi’ dipanggil Allah mendadak. Pak emi sekeluarga supaya yang sabar, dan ikhlas senantiasa bisa melanjutkan cita-cita ibu/mbak muthi’. Semoga kembalinya pak emi ke indonesa membawa predikat haji yang mabrur... salam dari seluruh keluarga mbah darmo... (16/10/2014)

Purwanti Rahmiyatun [Yogyakarta) :
nderek belosungkowo cak.... Mugi2 pinaringan papan ingkang saksae-saenipun...amin....

Ratmi Widaningrum [Yogyakarta - Santri KODAMA, Keluarga mbah Dirjo] :
Ya Alloh….., baru baca berita wafatnya mbak Muti’. ... kulo sekeluargo, Mas Surit sekeluargo lan Bu Dirjo, nderek belosungkowo njih pak….. Mugi Husnul khotimah…. Amiin.

Hj. Diduk Suparminingsih, SH  [Yogyakarta - Notaris & PPAT; Komisaris Utama Biro Perjalanan Umroh & Haji Khusus] :
Mas Emi…, Semoga semua amal ibadah isteri diterima Alloh ta’ala dan semoga Husnul khotimah.Aamiin. Insya Allah surga, mas! Alhamdulillah, wafatnya mudah banget yaa… semoga kita semua juga dipundut dengan cara yang mudah. Apalagi bisa pas di Tanah Suci. Aamiin.

Mohammad Yahya [Jakarta] :
Cak.... turut duka cita atas wafatnya istri sampeyan di tanah haram semoga husnul khatimah,amin (14-10-2014)

DR. KH. Hilmy Muhammad, MA  [Krapyak Yogyakarta - Salah satu di Pengasuh PP Krapyak Yk; kep.Sek MA Yasalma] :
Innalillahi wainna ilayhi roji’un. Nderek belo sungkowo sedanipun almarhumah. Mugi panjenenganipun kaparingan rahmat, anugerah, maghfiroh lan ridhanipun Gusti Allah, diparingi pangapunten sedoyo kesalahan-kekhilafanipun, lan angsal piwales ingkang tikel matikel dumateng amal lan kesaenanipun. Amin ya mujibas-sa’ilin. (913/10/2014)

Imam Chanafi : [Makkah - Santri Alumni PP Krapyak Yogya, PNS Kemenag Gresik, Petugas Hajdi Makkah] :
Dalem wau bade ten maktab A.7 Mahbasjin Makkah .... disanjange rencang sampun kundur.... Mugi njenengan tetep lan tambah ikhlas ugi sabar ngadepi sedoyo meniko... Niki sedoyo bukti iman njenengan tingkat tinggi sehingga ujiannya pun luar biasa.... Mugi Ning Muthi’ langsung dipapak para malaikat penghuni surge, bighoiri hisaaab... Amiiin... (14/10/2014)

Faisol El Mohammed  [Gresik - Santri alumni PP Al-Munawwir Krapyak] :
Kami sekeluarga turut berduka cita. Semoga cak emi sabar dan selalu kuat ketabahanya amin...(14/10-2014)

Aub Yogyakarta : [Krapyak Yogyakarta - sahabat] :
Innalillahi wainna ilahi rijiu‘un, semoga hajjah dan hajji mabrur. Teman teman di Krapyak mendo‘akan mbak Muthik, semoga husnul khotimah. (16/10/2014)

Nurul Rohmah  [Malang - pengurus PW Muslimat NU Jatim] :
Ya Allah.... Innalillahi wainnailaihi rojiun.... Ngapunten, kulo mboten ngertos... Kami sekeluwarga turut berduka cita.... Semoga panjenengan sekeluwarga diberi kekuatan dan kesabaran ..dan semoga almarhumah husnul khotimah.amin….

Kang Zuhdi  [Yogyakarta - Hakim di Pengadilan Agama Purwodadi; PWNU DIY; Pembina KODAMA Yk] :
Masya Allah, isteri sampean to yang wafat. Aku gak paham tenan. Wah sing sabar ya kang. Aku yakin almarhumah husnul khotimah. Doa sekian juta orang dan diamini para malaikat. Surga Allah telah menantinya. (20/10/2014)

Drs. KH Abdul Halim Noer [Jombang] :
Kiai, saya sekeluarga juga turut berduka atas wafatnya ibu. Semoga amal baiknya senantiasa diterima dan kesalahanya semoga mendapat ampunan-Nya. (26-10-2-14)


Fuad Asnawi : [Riyadh Saudi Arabia - guru, putra KH Dalhar Munawwir Krapyak] :
Cak, sepurane... aku baru bisa ke Makkah Jumat depan…… Mabrur. Mugi husnul khotimah, Amin. Benar, Cak. Wafat di tanah haram, negeri yang banyak orang mengimpikan untuk wafat di sana. (20/10/2014)

Keluarga mbok Kisdi [Krapyak Yogyakarta] :
Pak Emi ....... Kulo seolah-olah dereng saged percoyo 100% kalih nopo ingkang dikersake dening Allah Ta’ala, kok sebegitu cepat beliau di-pundut. Kulo saking keluarga besar pak Kisdi Jogja ngaturaken nderek belosungkowo, Insya Allah mbak Muti’ah Husnul Khotimah, mugi dipun tampi sedoyo amal kesaheanipun, lan dipun ngapunten sedoyo kesalahanipun dening Allah Ta’ala. Amin

Sun Haji : [Santri alumni Roudloh Tambos]
Mbak Muti’ yang kulo kenal...selalu tersenyum.. Al-Faatihah….. (14/10/2014)

Bang Leman : [Gsk - alumni PP Krapyak Yk, Jamu Jawadwipa Perliman Petrokimia] :
Buat jenengan: sabar dan ikhlas...Insya Allah banyak keberkahan nantinya Amien. (15/10/2014).

Drs. KH Syaifuddin Zuhri [Banyuwangi - Pengasuh PP Bustanul Arifin Genteng)
…. Masya Allah, saya dengar harem antum wafat di Mekah, apa benar? Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Insya Allah ahli sorga. Ana tahun ini tidak berangkat haji. 5 tahun sekali ana istirahat. Insya Allah mulai tahun depan berangkat lagi.

Drs. H Junaidy Syakur : [Tinggal di Kupang Gunung Barat. Adik ipar; Rois Syuriyah MWC Sawahan Surabaya; Pengelola Biro Perjalanan Umroh & Haji Khusus PT Hikmah Jaya Wisata] :
Siapapun pasti akan menemui ajalnya, tidak terkecuali Neng Hj. Muti’ah. Sebagai orang yang cukup dekat, dan sebagai manusia biasa, maka wajar sedih. Namun sebagai orang yang beriman tentu harus menerima dan mengikhlaskan kepergiannya. Karena Allah sudah menghitung untung-ruginya. Mudah-mudahan kita yang ditinggal dapat mengambil pelajaran, sehingga kelak pada giliranya sama seperti beliau almarhum neng Hj. Muti’ah yang benar-benar husnul khotimah. Amin.
Dan mudah-mudahan semua amal-ibadahnya diterima Allah, dosa-dosanya diampuni Allah dan semua keluarga yang ditinggalkannya diberi ketabahan dan kesabaran serta bisa melanjutkan cita-citanya yang belum terlaksana. Amin ya robbal alamin.