Mengenang 40 Hari
Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.
[*Lahir di Surabaya:
01-09-1970 * Wafat
di Makkah: 13-10-2014]
Oleh: Sadad Ibnu Hambari |
“Sometimes,
you will never know the value of what you have till you lose it”
Terkadang, kamu tak akan pernah tahu nilai
dari apa yang kamu miliki, hingga kamu kehilangan dia
Begitu berita itu tiba, sekejap semua
sendi-sendi tubuh saya seakan lemas. Jutaan penyesalan menyerang bertubi tanpa
ampun. Saat itu saya merasa bahwa Neng seperti sebuah taman yang tak
sempat saya kunjungi dalam durasi lebih lama. Saya menyesal tidak mengisi lebih
banyak detik untuk bergurau, tidak menghabiskan lebih banyak malam untuk
curhat, tidak meluangkan lebih banyak waktu untuk berdekatan dengannya.
Begitulah kematian, ia adalah sebuah nyanyian sunyi. Sebuah kesepian. Sebuah kesendirian.
Sebuah rahasia dari Sang Maha Rahasia. Karenanya saya tak pernah tahu bahwa Neng
akan pergi selekas ini. Andai ia bukan sebuah rahasia, saya akan lebih lama
mengecup pipinya, mencium tangannya dan menemani hari-harinya.
Penerus perjuangan Abah
Bersama sang Abah dan adik Sadad (1996)
|
Saat Abah wafat 2004 silam, saya sempat
khawatir kami selaku anak-anaknya tidak bisa melanjutkan estafeta perjuangan
beliau. Bagaimanapun, Abah sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya di tengah
masyarakat, memberikan apa yang ia punya, mengajarkan apa yang ia ketahui. Tapi
lambat-laun kekhawatiran saya pupus dengan sendirinya. Roudloh tetap hidup,
bahkan Neng memberikan gebrakan “pengabdian” baru untuk masyarakat:
menjual obat.
Abah memang selalu bahagia jika melihat
anaknya berani tampil dan berjuang di masyarakat. Dulu saat saya kecil, Ibu
sering bilang bahwa Abah sangat bahagia jika anaknya bisa berpidato, sebagai
bekal untuk terjun di masyarakat. Barangkali alasan itulah yang membuat ibu
kemudian pernah berujar pada Neng “Tik, koen kok gak ket biyen dodol
obat koyok ngene. Abahmu ngerti ngono lak seneng (Tik, kamu kok gak jualan
obat dari dulu. Andai abahmu tahu dia pasti senang)” Tapi Abah pasti tahu, sebab yang mati lebih
tahu kondisi mereka yang hidup dari pada yang hidup. Di alam sana Abah sudah melihat
kiprah Neng dalam mengobati masyarakat. Bahkan mungkin sekarang Abah
lebih senang, sebab ia sudah bersua dengan anak yang paling ia cintai.
Pengabdian inilah yang membuat Neng
begitu lama menunda kepindahannya secara total di rumah Jl. Jaksa Agung
Suprapto 5c/7 Sidokumpul Gresik. Saya masih ingat, saat masih sekolah di SMPN 4
Gresik, Neng berkata bahwa ia akan pindah ke rumah itu saat saya kelas
VIII SMP dan membawa serta saya, sehingga saya tak perlu jalan kaki jauh untuk
sampai ke sekolah. Tapi sayang, hal itu tak pernah terwujud sampai beliau
wafat.
Impian untuk menempati rumah Jaksa Agung
Gresik semakin ia tanggalkan saat rumah Sememi (Jl. Tb. Osowilangun 70 Sby)
semakin sering dihujani pengunjung yang akan berobat. Neng melayani
mereka dengan baik, ia hanya meminta izin satu hari untuk “tak mengabdi”
yaitu pada malam Jum’at sampai malam Sabtu. Setiap kali rencana untuk pindah
rumah muncul ke permukaan, Neng selalu bilang “Terus ke-epo iki
obat-obate, wong-wong wes kadung cocok” (terus bagaimana ini
obat-obatannya? Orang-orang sudah terlanjur cocok). Neng seolah terjebak
pada lingkaran pahala yang sengaja diatur olehNya. Ia ngaboti orang-orang
hingga mengorbankan keinginannya sendiri. Ia seperti “dipaksa” Allah untuk
memetik buah dari bibit ganjaran yang ia tanam.
Ibaratnya, meskipun kondisi ekonomi
keluarga kami di mata masyarakat tergolong serba kecukupan, Neng masih
bersedia hidup alakadarnya: tidak bermobil, tidur tanpa AC, tak segan ngangkot,
bahkan rela hidup bersama Ibu dalam jangka waktu yang lama. Lalu alasan apalagi
yang membuat kami sebagai keluarganya enak-enakkan hidup mewah? Neng
sudah terbiasa hidup susah sejak kecil, sehingga saat dewasapun ia tak segan
untuk hidup sederhana. Ia teladan utama buat saya. Ia tak pernah menuntut hidup
mewah hanya karena dulu ia banyak membantu ibu menghidupi keluarga. Neng adalah
teladan ideal tentang kesederhanaan. Sebuah sikap yang ia pilih hanya karena
keinginannya untuk tidak berhenti mengabdi pada masyarakat.
Kedalaman Cinta pada Ibu
Ngantar emak periksa ke dokter
|
Lalu apalagi yang mesti saya ragukan dari
kemuliaan seorang anak yang rela menemani ibunya ketika ia mampu hidup mandiri?
Lalu apalagi yang akan saya sangsikan dari kebaikan seorang putri yang menunda
diri hidup di rumah pribadi hanya karena ingin merawat ibunya sendiri? Usia Neng
sudah 44 tahun dan dia masih saja “bersedia”, “menerima”, “ikhlas”, “tak
mengeluh”, “rela”, “dengan lapang dada”, dan sebagainya untuk tinggal di Tambak
Osowilangun menemani ibu. Persetan dengan garasi bermobil, rumah megah, atau ruang keluarga
mempesona. Neng tetap memilih tinggal di Tambak Osowilangun, karena
alasan obat, juga ibu yang sudah tua renta.
Saya rasa, ibu menemukan sandaran paling
menyejukkan dalam diri Neng. Bukan yang lain. Barangkali seperti
ketenangan yang dirasakan sahabat Abu Bakar saat bersama Nabi Muhammad, atau
kenyamanan Soekarno saat berjumpa Hatta. Keeratan mereka tidak hanya sebatas
antara Ibu dan anak, tapi seperti sepasang sahabat.
Di antara anak yang lain, hanya Neng
yang paling sering diminta mengobati ibu. Maklum, Neng punya latar
belakang pendidikan kesehatan, “Apoteker”. Entah berapa kali nama Neng
disebut oleh ibu. –semoga langkah beliau setiap menghampiri ibu saat dipanggil,
bernilai pahala. Beliau menjadi pendamping setia ibu saat sakit atau pergi
menuju rumah sakit. Dan layaknya sahabat, saat ibu ditimpa masalah karena ulah
beberapa orang yang meresahkan, Neng-lah orang yang berada di garda
terdepan dalam mendampingi ibu.
Puncak dari pengabdian Neng pada
ibu adalah ketika haji. Neng-lah yang mendorong kursi roda ibu, merawat ibu,
menyiapkan peralatan mandi, menyediakan obat-obatan yang harus diminum,
menemani saat thawaf-sa’i, dan membantu ibu untuk melakukan berbagai aktifitas
ibadahnya. Akan hal ini, ibu sempat berkata pada anak-anak setiba dari haji: “Mutik
iku olehe ngeman aku sek nemene. Dieman-eman seru. Tapi awake dewe gak
dieman-eman” (Sikap Mutik ngeman aku itu luar biasa. Tapi kenapa kok
dirinya sendiri gak dieman).
Saya menganggap bahwa Neng pergi
meninggal dunia dalam indeks tertinggi pengabdiannya kepada ibu. Ia wafat dalam
hari-hari ketika ia curahkan kasih sayangnya paling utuh pada ibu. Sehingga
dalam bayang imajiner saya, saat ruhnya lepas dari jasad, Neng telah
disambut oleh Abah dengan kata-kata “Suwun Nak, wes ngerawat emakmu. Suwun.
Baktimu gede” (Terimakasih, anakku. Sudah merawat ibumu. Terimakasih.
Baktimu begitu besar)
Berdzikir Tenda Arofah |
Dan ibu pada akhirnya ridho, ia sangat
ridho dengan Neng atas kebaikannya selama ini, terkhusus pengabdian di
masa-masa terakhirnya kepada ibu. Sehingga barangkali Allah terkesima,
terpukau, terpesona lalu meminta Neng beristirahat dari pengabdiannya
yang begitu total selama ini kepada ibu.
Rasa Sayang pada Putri Tunggalnya
Mata saya perih tak terbantahkan pagi itu.
Kehilangan Neng sudah cukup menyesakkan dada, rasa sesak semakin menekan
saat ingat putri semata wayangnya, Thebba Elvana. Bahkan pelan-pelan saya
menyadari bahwa air mata saya lebih banyak tumpah untuk menangisi kesendirian
Thebba tanpa ibunya, bukan kepergian Neng. Karena saya mengerti sekali
kedekatan hubungan antara Thebba dan ibunya.
Saya masih ingat bagaimana setiap pagi Neng membangunkan Thebba, bahkan terkadang terjadi perbincangan singkat lucu antara keduanya, semisal “Tangi, Nak. Loh, lambene sangare rek” (Bangun, Nak. Tuh, bibirnya serem banget). Thebba terkadang tersenyum manja dengan mata setengah terpejam: “Opo se buuuk!” (Apa sih buuuk!). Thebba memang sangat manja pada ibunya. Sikap dia saat dibangunkan oleh ibunya berbeda jauh dengan ketika ayahnya atau orang lain membangunkan. Ia akan langsung bangun jika dibangunkan oleh selain ibunya. Selama ibunya hajipun, konon Thebba sangat mudah dibangunkan. Saya mengira ini karena Thebba tak menemukan tempat bermanja. Ia tentu tidak nyaman bermanja pada bibinya (Mbak Mila dan Mbak I’ah) dsb.
Saya masih ingat bagaimana setiap pagi Neng membangunkan Thebba, bahkan terkadang terjadi perbincangan singkat lucu antara keduanya, semisal “Tangi, Nak. Loh, lambene sangare rek” (Bangun, Nak. Tuh, bibirnya serem banget). Thebba terkadang tersenyum manja dengan mata setengah terpejam: “Opo se buuuk!” (Apa sih buuuk!). Thebba memang sangat manja pada ibunya. Sikap dia saat dibangunkan oleh ibunya berbeda jauh dengan ketika ayahnya atau orang lain membangunkan. Ia akan langsung bangun jika dibangunkan oleh selain ibunya. Selama ibunya hajipun, konon Thebba sangat mudah dibangunkan. Saya mengira ini karena Thebba tak menemukan tempat bermanja. Ia tentu tidak nyaman bermanja pada bibinya (Mbak Mila dan Mbak I’ah) dsb.
Dulu, saat Thebba masih kecil dan sakit-sakitan, saya pernah sedikit meluapkan rasa iba saya pada Neng: “Neng, anak semata wayang, tapi loro-loroan”. Jawaban Neng begitu agamis: “Lah gusti Allah nitipi seng loro-loroan. Ya tetep kudu diramut” (Lah, Allah menitipi anak yang sakit-sakitan, Dad. Ya tetep harus dirawat). Saya trenyuh dan tak bisa berpikir lagi. Hanya menyadari bahwa yang kita punya semuanya cuma titipan.
Banyak sekali interaksi yang menunjukkan kedekatan Thebba dengan Ibunya. Bahkan saya menganggap Neng adalah tongkat tempat Thebba bertumpu dan menjalani kehidupan. Saya tahu bahwa keponakan saya ini untuk selanjutnya harus melangkah tanpa didampingi ibunya lagi. Tak ada lagi yang membantu Thebba menyiapkan pelajaran sekolah. Tidak ada lagi yang mengajari Thebba di malam hari. Tak ada lagi sosok yang dijadikan Thebba tempat curhat tentang apa saja yang terjadi di sekolah pagi sebelumnya, juga tak ada lagi yang menemani Thebba tidur dengan canda tawa renyah seperti dulu.
Saat Ramadhan tiba nanti, juga tak ada
lagi seorang ibu yang menggandeng tangan Thebba untuk tarawih di pondok
Roudloh. Tak ada lagi seorang ibu yang menyiapkan buka puasa untuk Thebba. Tak
ada lagi seorang ibu yang mempersiapkan mukena untuk sholat Thebba. Tak ada
lagi seorang ibu yang menemani Thebba menonton TV seusai tarawih. Thebba di
mata saya tidak hanya kehilangan ibunya, ia seperti kehilangan kehidupannya. Ia
kehilangan seorang wanita yang paling ia cintai di dunia.
Dan saat kabar kematian Neng tiba
pada saya, kenangan-kenangan Neng dengan Thebba bermain begitu hebat
dalam pikiran saya. Kenangan-kenangan tadi, semuanya seperti hujan yang
mengguyur deras jiwa, lalu merembes ke pulupuk mata dan membuat air mata saya
mengalir tak sudah-sudah. Saat itulah kemudian saya begitu rindu dan kangen
dengan Thebba. Saya menelfonnya dengan menahan sekuat tenaga nada sedih dari
suara saya. Saya tanya kabarnya, sekolahnya, kegiatannya, lalu berujung pada
pertanyaan “Thebb, gak kangen emak ta?” (Thebb, gak kangen nenek?)
Dengan suara polos dan lugu dia menjawab “Yo kangen Mas, tapi aku kangen
seru karo ibu Mas” (Ya kangen Mas. Tapi aku lebih kangen Ibu). Nafas saya
tersedak. Ingin rasanya tersungkur menangis. Tak tega melihat keponakan saya
tak bisa menumpahkan kerinduannya pada sang Ibu. Sampai nanti. Sampai kita
bersama-sama mati.
Air mata saya semakin membanjir saat seorang saudara bercerita “Thebba wingi itu udah ngitung-ngitung hari tekoe ibunya. Dia bilang ke orang-orang ‘ibuku telung dino engkas moleh’” (Theba kemaren sudah menunggu kedatangan ibunya. Dia berkata ke orang-orang ‘ibu tiga hari lagi pulang). Saya hanya terdiam sedih. Saya ingin membelai rambut anak ini dan berkata bahwa tidak hanya tiga hari, Thebb, tapi selamanya. Sungguh ibumu tak akan pulang, Nak. Ia sudah dijemput Allah ke alam yang berbeda. Ke alam yang tak mampu kau jamah, kau raba dan kau pandang. Semoga Allah memberikan kekuatan untukmu, Nak. Tabahkan hatimu, kami tak akan membiarkanmu mengarungi kerasnya hidup seorang diri.
Meski terlalu cepat, saya tidak pernah
membayangkan bahwa Ning akan meninggal dalam keadaan seindah ini.
Meninggal setelah haji akbarnya tuntas. Meninggal setelah menghabiskan malam dengan
tahajud di Masjidil Haram bersama suami. Meninggal dalam puncak pengabdiannya
kepada seorang Ibu. Meninggal dalam rasa puasnya karena telah mewakafkan
tubuhnya untuk beribadah sepanjang hari.
Meski terlalu dini, saya selalu iri dengan
akhir menawan dari kematian Neng ini. Wafat di tanah yang paling
dicintai Allah. Jenazahnya digiring dan direbahkan dekat Ka’bah, tempat
milyaran manusia berkiblat dalam sembahyang. Disholatkan oleh jutaan jamaah di
Masjidil Haram. Dimakamkan di tanah haram, tanah yang menjadi saksi perjuangan
seorang Muhammad dalam mengibarkan bendera Islam.
Selamat jalan, kakakku. Banyak orang merindukan kematian seperti yang kau alami. Selamat berkumpul bersama Abah. Allah telah mencukupkan tugasmu di muka bumi. Allah telah mengistirahatkanmu dari pengabdian tak tertandingi yang kau persembahkan untuk Ibu. Kau pergi sebelum thawaf wada’, sebab kau tak akan pernah mengucap “wada’an” (pamitan) pada tanah Makkah. Kau akan tetap bersemayam di sana. Di belahan bumi tempat Islam diperjuangkan mula-mula. Di bagian bumi tempat Allah menampakkan sinar tauhid. Kami begitu mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu.
(Kairo. 31 Oktober 2014)