Mengenang 40 Hari
Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.
[*Lahir di Surabaya:
01-09-1970 * Wafat
di Makkah: 13-10-2014]
KESAN-KESAN DAN KESAKSIAN BERBAGAI KALANGAN - 2
12.
Yani Roudloh :
[Santri
& pengurus RTI; Tenaga kependidikan di SD Mursyidah Tambos Sby].
Seorang Pribadi Yang Sederhana
Dan Murah Senyum
Ustadza Hj.Muti’ah, seorang pribadi yang
ramah dan juga lucu. Meski putri seorang Kyai yang biasanya rata-rata suka
dilayani, tetapi beliau tidak. Beliau seorang pribadi yang sederhana dan murah
senyum. Bahkan beliau pernah bersih-bersih pondok sendirian.
Sewaktu saya jadi panitia ujian, beliau
pun nggak mau menyusahkan panitia. Beliau ketik sendiri materi, teks soal dan
nilainya. Beliau malah membantu kami. Kami semua kangen sama nasehat-nasehat
dan senda gurau beliau.
Keinginan beliau: travel pondok bukan lagi
ziarah Walisongo, tapi Travel Umroh. Subhanallah...
_______________
13. Sholihah Jauhari :
[Anggota
Dharma Wanita SMPN 1 Cerme & Pengasuh TPQ
Al-Hijrah Cerme Gresik. Tinggal di Tegalsuruh Cerme Kidul].
In Memorium:
Muti’ah Binti Muhmmd Basori Ms
Muti’ah, “Wanita yang ta’at”, namamu
Nama yang pas dengan pribadimu
Kau abdikan diri kepada Tuhanmu
Kepada keluarga, suami dan bundamu
Peluk
cium melepas pergimu ke Tanah Suci
Penuhi
panggilan ibadah di bumi haram
Teriring
do’a setulus hati nan suci
Sembah
sujud dalam busana ihram
Seorang sahabat yang tak kulupakan
Aku tak tahu kapan rindu terobati
Dalam duka-suka tugas tetap kau jalankan
Atsar baikmu tetap berkesan di hati
Siang
itu tiba tiba berita datang
Tigabelas
Oktober dua ribu empat belas
Seolah
tak percaya ajal menjelang
Meski
hati tetap rela dan ikhlas
Yang menjadi Kenangan
Aku
sering merepotkan beliau, meskipun jauh tempat tinggalku dengannya. Kalau
anakku atau keluargaku sakit, aku selalu konsultasi dengannya walau tengah
malam sekalipun. Beliau tetap melayaninya dengan baik, bahkan pagi harinya obat
sudah dikirimkan. Dan itu tidak hanya terjadi dengan keluargaku, tetapi para
tetangganya pun bercerita sama dengan yang aku alami.
Pernah
anakku yang tertua keguguran pada kehamilan pertama dan setelah itu lama tidak
ada tanda tanda kehamilan lagi. Tentu saja aku sangat khawatir. Ketika ada
kesempatan pada pertemuan “Darma Wanita” SMPN 1 Cerme aku gunakan kesempatan
untuk berkonsultasi sebanyak banyaknya dan sepuas puasnya. Bahkan, beliau
langsung memberikan resep kepadaku. Sore harinya aku berikan kepada anakku agar
segera mencari obat ke Apotik sesuai dengan resep dari bu Muti’ah. Alhamdulillah,
atas iradah Allah, dua bulan berikutnya setelah menggunakan resep tersebut
anakku hamil dan melahirkan bayi perempuan cantik dan sehat yang diberi nama “Almas
Lidzi Qudwah”, panggilannya “Lady”, sebuah nama yang menurut aku indah
dan bagus, hasil racikan berdua; suamiku (Arsyad jauhari) dan suami bu Muti’ah
(Ust. Suchaimi).
Ketika mengenang masa kecilnya
Beliau
penah bercerita tentang masa kecilnya, diantaranya adalah kenangan bersama
ayahnya. K.H.M. Basori Mansur memang ditakdir
Allah ada masalah pada penglihatannya, tetapi beliau tetap konsisten
mengajar dan mendidik para santri. Allah memberi kelebihan pada beliau terutama
dalam hal membaca dan mengkaji kitab-kitab kuning. Karena masalahpenglihatannya
tersebut, maka dalam urusan rumah
tangga, bu Nyai-lah yang banyak berperan. Untuk urusan sangu sekolah pun
Muti’ah kecil minta pada bu Nyai (ibunya). Suatu hari ia bilang pada ayahnya: “Abah,
minta uangnya bah, untuk beli jajan... Aku kok minta ibu terus... Abah tidak
pernah kasih”.“Oh..., ya Insya Allah, besok tak kasih uang”, jawab
bapaknya.
Malamnya,
ayahnya (K.H.M. Bashari Mansur) membuat teks contoh pidato/ceramah lalu difoto
copy dan dijual kepada para santri, hasilnya diberikan semua kepada Muti’ah
kecil.
Bu
Muti’ah, ketika itu sedang mengenang kasih ayahnya dan aku melihat dia sambil
mengusap air mata. Ketika aku menulis memori ini, aku teringat bu Muti’ah kala
itu, dan aku pun tak kuasa menahan air mataku.
Selamat
jalan bu Muti’ah. Kiranya Allah memilihkan yang terbaik buat ibu. Rahmat dan
maghfiroh Allah semoga tetap tercurahkan kepada ibu, dan semoga ibu segera
bertemu dengan Ayahanda tercinta serta kakek-nenek dan kerabat-kerabat setia.
_____________
14.
Hedi Diana Mazmoen :
[Adik
Ipar; tinggal di Jakarta / Tangerang].
… nggak Pelit Uang, nggak Pelit Tenaga
Mbak Muti’ itu baiiik banget. Gak pernah
marah. Dia gak pernah bilang ‘tidak bisa atau tidak boleh’, dia selalu
bilang ‘yaa, gak papa, yaa boleh’. Dia juga murah senyum. Sama Thebba
sayaaang banget. Dia selalu gampang dimintai tolongnya, gak pelit uang, gak
pelit tenaga, itulah ning Muti’... miss
u a lot ning mutik. Semoga Allah memberikan tempat yang indah untuk
sampeyan.
4 tahun..ya hanya 4 tahun saya bisa
mengenal mbak Muti’. tapi walau hanya 4 tahun saya sudah senang
banget bisa kenal, akrab, dan mengetahui mbak Muti’ seperti apa. Dia
sosok yang baik, tidak peranh marah, murah senyum, gampang di mintai tolong, apalagi
kalo Faza (Ibni Faza) sakit, dia sangat perhatian tanya perkembangan Faza
bagaimana. Kesan mendalam saya sama mbak Muti’ adalah dia mau dengerin
curhatan saya. Karena semua orang bisa jadi tempat curhat, tapi untuk jadi
pendengar yngg baik itu susah. Dia selalu dengerin sampai cerita saya habis biar
dia kasih masukan. Pokoknya sosok mbak Muti’ itu sangat keibuan. saya
bersyukur bisa mengenal dia. Rasanya seneeeng banget bisa kenal dia.
Saya tahu hubungan mas Imun dengan mbak
Muti’ itu dekat begitu, karena saking dekatnya
dia gak bisa cerita tentang mbak Muti’. Tapi mas Imun selalu
bilang kalo Neng Muti’ itu seperti ibu keduanya. Karena Neng Mutik
selalu ada dan selalu dengerin keluh kesah mas Imun jika lagi lelah pulang kerja.
Makanya Neng Muti’ meninggal, dia sangat amat kehilangan
sosok yang biasa dengerin dia cerita.
Kalimat
terakhir yang diucapkan waktu kami mau balik ke Jakarta yaitu ketika mau masuk
tol Pejagan Brebes - Tol Palikanci : "Sudah sampai mana Hed?". Sya jawab:
"Mau masuk tol mbak”. Kata dia: “Ooo
ya, sudah… hati-hati, kalo cape’ istirahat aja. Daa…daa.. Faza… sampai jumpa tahun
depan!”.
Hmmm
sediih ingat itu. jika lewat situ pasti Mas Imun sedih banget. Tapi mbak Muti’ tenang aja.. .kami semua sayang sama
Thebba, kami semua pasti akan mengurus Thebba
dengan senang hati. Kami akan jaga Thebba... sebagai rasa sayang kami ke mbak Muti’. we miss u mba Muti’...
_____________
15.
Drs. H. Saiful Islam Ali As-Siddiqi:
[Tinggal
di Bulakbanteng Kenjeran Surabaya, asal
dari keluarga pengarang Sholawat Badar, Rengel Tuban; pengasuh TPQ
Syi’ar Islam; penulis berbakat; Direktur penerbit A’mantra Surabaya].
Almarhumah
Mut’iah Suchaimi
Yang
Aku Tahu…
Betapa
kami sangat kaget dan setengah tidak percaya, ketika membuka Facebook
ada pesan dari Cak Junaidy Syakur bahwa istri Cak Emi, Mbak Muti’ah, telah
berpulang ke Rahmatullah di saat-saat beliau masih menjadi tamu Alloh di
Makkah, ketika melaksanakan ibadah haji tahun ini 2014, dan termasuk Haji
Akbar. Subhanallah. Betapa tersanjungnya beliau dipanggil Allah di
saat menjadi tamu kehormatanNya, dibalik kesedihan dan juga kebanggaan Cak Emi
yang ditinggalkannya.
Yang
lebih merasa tidak percaya lagi adalah istri saya, adik Umi Chasanah, ketika
Cak Emi dan keluarga mau berangkat ibadah haji, isteri saya pernah mengajak
ziarah calon haji, tapi karena suatu hal, kami akhirnya tidak bisa mengantarkan
kebarangkatannya. Apalagi kami baru tahu keberangkatan Cak Emi beribadah haji
dari Gus Umar Faruq Peneleh, satu hari sebelumnya.
Mbak
Mut’iah, bagi adik Umi Chasanah, memang nampak dekat. Mengingat keduanya pernah
berhubungan meski tidak sering. Mungkin karena Nyai Sucahimi ini orangnya supel
(blater, grapyak - jawa.) dan juga memiliki jiwa ngemong,
sehingga adik Umi Chasanah tidak canggung untuk ngrepoti bertanya soal
obat-obatan. Apalagi Mbak Muti’ah ini orang Farmasi dan menawarkan diri kepada
adik Umi kalau-kalau ingin berkonsultasi soal obat. Ketika kami memiliki bayi
anak yang ketiga kami, Muhammad Ali Fawwiz Dhobithi, bayi kami memang
sering panas dan beberapa kali mengalami step, sehingga adik Umi sering
bertanya mengenai obat-obatan yang dibutuhkan. Kami mengenal sanmol dan
sebagian obat-obatan juga dari Mbak Muti’ah ini. Begitu juga ketika kami
membutuhkan baju wisuda anak didik kami, Mbak Muti’ah ini bisa melayani
permintaan istri kami dengan sabar dan telaten.
Seperti
halnya suaminya, Achmad Suchaimi, Mbak Muti’ah ini orangnya memang penyabar,
dewasa, murah senyum dan grapyak dengan nada bicara yang cepat. Satu hal
yang mungkin tidak akan terlupakan bagi mereka yang pernah berkomunikasi dengan
Mbak Muti’ah, sebagaimana keluarga kyai, Mbak Muti’ah ini apabila tersenyum
tidak bisa menyembunyikan ketersipuannya. Suatu penampilan yang tidak
dibuat-buat dan hanya dimiliki orang yang pemalu.
Kini
beliau telah pergi meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya di
saat dan di tempat yang tepat, kesempatan mulia yang tidak bisa diharapkan dan
dipaksakan oleh siapapun. Kami yakin di alam barunya beliau mendapatkan tempat
dan teman yang telah lama dirindukannya. Keridhoan Allah telah merengkuhnya dan
husnul khotimah telah didapatkannya. Amiin. (si)
________________
16.
Ustadz Askan, S.Pd.I :
[Tinggal
di Tambos Surabaya; Ustadz senior di RTI].
Beliau
Selalu Memikirkan Semua Kegiatan di Pondok
Sebagai
tenaga pendidik, Almarhumah Hj. Muti’ah dikenal sebagai seorang Ustadzah yang
sabar dan telaten dalam mendidik para santrinya. Gaya mengajarnya tidak
terkesan menggurui sehingga para santri senang belajar dengan beliau. Banyak
santri yang merasa kehilangan sepeninggal beliau, bahkan ada santri yang
berkata kepada ibunya : “Bu, siapa yang mengajar saya nanti bu…. Saya senang
kalau yang mengajar itu Ustadzah Muti’ah”, ada lagi yang mengatakan : “…
nanti kalau tadarusan, siapa yang memimpin bu!”
Dalam
kehidupan bermasyarakat, beliau dikenal sebagai orang yang ramah, murah senyum,
dan tak segan menyapa bila berpapasan dengan siapapun. Beliau merupakan pribadi
yang menyenangkan, tak pilih-pilih dalam berteman, wajah cerah selalu menghias
senyuman.
Loyalitasnya
terhadap pondok sungguh luar biasa, apalagi ketika di bulan Romadhon, beliau
selalu aktif dan kreatif ketika yang menjadi imam teraweh berhalangan hadir.
Saya ingat kata-kata beliau : “Cak Kan, sing ngimami gok onok… sampean yo
sing ngimami ...!”. Di tahun kedua juga seperti itu. Pendek kata, beliau
selalu memikirkan semua kegiatan di pondok.
Ustadzah Muti’ah yang dicintai oleh santriwati dan santriwan.
Jasamu akan terukir didalam hati mereka. Semoga Allah menerima semua amalmu dan
mengampuni dosa-dosamu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang menyenangkan,
berkumpul dengan orang-orang yang soleh, dan orang-orang yang beriman. Amin ya
Robbal Alamin.
_______________
17.
Ustd. Ahmad Fauzi, M.Pd.I :
[Tinggal di Perum Wiharta Kebomas Gresik;
Ustadz senior dan Ketua Pondok RTI Tambos; Kepsek MA Al-Fatich Tambos
Surabaya].
Neng
Muti’ah dan Ustadz :In
Memorial
Kepergian
Neng Muti’ah meninggalkan kita semua,
terkesan mendadak dan tiba-tiba
pada saat beliau sedang menjadi tamu Allah untuk menjalankan Ibadah
Haji, tetapi sebenarnya kalau diperhatikan
lebih dalam, di dunia ini tidak
ada yang mendadak, tidak ada yang tiba-tiba, semua sudah diatur oleh Allah SWT,
tinggal kemampuan kita untuk dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Banyak
kenangan atau memory yang muncul ketika beliau sudah tidak bersama kita lagi.
Saya mengenal beliau sejak kelas 2 SD. Saat itu Ustadz H. Muhammad Basori
Mansur – untuk selanjutnya disebut “Ustadz” - masih mengajar di SD Mursyidah
dan saya masih kelas 1. Suatu hari saya dan beberapa teman dipanggil Ustadz dan
dipindahkan ke kelas 2, naik sebelum waktunya. Baru setelah besar, saya tahu
ini yang disebut program Akselerasi, yang saat itu belum populer dan
terlihat aneh apa yang dilakukan oleh Ustadz. Puluhan tahun kemudian baru para
pakar pendidikan menyetujui atau membolehkan program ini dilaksanakan dengan
syarat-syarat yang cukup berat. Itu berarti pemikiran ustadz sudah mendahului
para pakar pendidikan saat itu.
Sebagai
tanggung jawab moral, “Ustadz” menyuruh saya dan teman-teman yang dinaikkan
untuk belajar di ndalem beliau, termasuk juga ngajinya ikut pindah.
Dengan demikian, sinau dan ngaji di ndalem ustadz.
Beberapa materi pelajaran yang penting diperdalam seperti baca tulis dan
hitung, ada dua ilmu dasar yang sudah saya terima lebih awal dibandingkan
dengan teman–teman sekelas yaitu : Baca
Tulis Al Quran dan Tulis Pego serta Berhitung (terutama
perkalian dan pembagian). Ustadz yang memberikan teorinya dan neng Muti’
yang melatih dan mendrill setiap hari
dengan banyak latihan dan penuh ketelatenan beliau membimbing dan melatih kami,
sehingga kami dapat menguasai dua ilmu dasar tersebut.
Neng
Muti’ dengan penampilan apa adanya, kadang bisa menjadi guru atau pembimbing, di waktu lain bisa menjadi teman.
Ketika kami dan beliau mengaji Nahwu bersama dan langsung diasuh oleh Ustadz,
waktu itu saya kelas 4 dan Neng Muti’ kelas 5. Semua santri harus aktif saling
bertanya dan menjawab. Metode Ustadz dalam mengajar Nahwu dikenal sangat tegas,
bahkan cenderung keras. Setidaknya ini menurut sebagian santri, ada reward
and phunishment (ganjaran dan hukuman) yang dipraktekan oleh Ustadz
untuk memacu santri-santri beliau.
Suatu
hari neng Muti’ sampai menangis karena dirasa ada materi pelajaran Nahwu yang
sangat sulit, tetapi beliau tetap belajar dan bersungguh-sungguh untuk tetap
ngaji Nahwu. Sifat kesungguhan dan selalu menambah pengetahuan dengan terus
belajar hingga menjadi seorang Ustadzah tetap beliau lakukan. Hal ini
semestinya dapat memberikan motivasi kepada ustadz dan ustadzah lainnya untuk
tidak berhenti belajar, karena menuntut ilmu itu tidak dibatasi usia dan waktu,
pendidikan itu dilakukan sepanjang hayat ( longlife education ).
Ketika
Ustadz wafat, beberapa guru dan wali murid bertanya-tanya siapa yang akan
menggantikan beliau, lebih khusus lagi siapa dari putera-puteri beliau yang
siap melanjutkan perjuangan beliau, baik di pondok maupun di masyarakat.
Musyawarah saat itu disepakati yang menjadi pengasuh pondok adalah Gus Khotib,
sekaligus meneruskan rutinan pengajian di Musholla At Taqwa termasuk
rutinan yang di luar kampung, ustadz Suchaimi dan saya meneruskan rutinan di Musholla
Al Jihad, untuk Pengajian Waqi’ah yang bertanggung jawab adalah
ustadz Syamsul dan ustadz Ali Rois, sedangkan Marhabanan diserahkan ke ustadz Askan,
ustadz Abdul Qodir dan ustadz Rohmat. Untuk yang menggantikan ngaji siang dan
sore di pondok diserahkan kepada neng Muti’ah , Neng Badi’ah dan Neng Milah.
Saat
pembagian tugas tersebut saya berfikir, betapa banyak amaliyah-amaliyah
Ustadz semasa hidup beliau, sehingga untuk menggantikan tugas-tugas beliau
diperlukan lebih dari 10 orang, dan itupun belum semua tercukupi, diantaranya
amaliyah beliau yang sering keluar malam mengelilingi kampung untuk melihat
langsung gerak kehidupanmasyarakan baik sisi ubudiyah maupun akhlaq
dan iqtishodiyah ( perekonomian ).
Beberapa
bulan setelah musyawarah, ketika saya duduk-duduk setelah mengajar, neng Muti’
menghampiri saya dan berkata : “Zi, aku matur nuwun nang guru-guru sek gelem
mulang, walaupun Abah wes gak onok. Aku iri karo guru-guru, semangat mulange,
aku karo dulur dulurku kudu luweh teko guru-guru olehe ngeramut pondok”.
Ucapan beliau itu bukan omong kosong dan itu beliau buktikan dengan
saudara-saudaranya, all out untuk pondok.
Beberapa
metode pengajaran untuk santri siang beliau munculkan agar pembelajaran di kelas lebih menarik dan
tidak monoton. Kreasi-kreasi santri di acara Haflah muncul yang
baru-baru atas ide beliau dan dibantu oleh dulur-dulur. Beberapa ide,
masukan juga kritikan sering disampaikan kepada saya, baik tentang guru, santri
maupun sarana dan prasana. Dalam beberapa tahun ini, saya (sebagai ketua
pondok) merasa tersaingi dalam kesungguhan mengelola pondok, loyalitas,
integritas dan rasa memiliki pondok. Saya ucapkan terima kasih kepada beliau
yang sudah sering nggeta-i, ngobra-i biar saya tidak cenderung santai
atau malas dalam mengelola pondok.
Beberapa
hari sebelum keberangkatan untuk menjalankan ibadah haji, beliau sempat “SMS”
ke saya tentang Marhabanan, yang intinya bagaimana Marhabanan ini
lebih baik lagi. Beliau juga menanyakan tindak lanjut program Tabungan Umroh
yang akan dikelola oleh Roudloh. Saya sempat menjawabnya : nanti saja
dibicarakan setelah beliau pulang dari haji, dan Ternyata beliau sudah
dipanggil oleh Allah SWT. Ini seakan- akan sebagai “wasiyat” bahwa
program Umroh harus dilaksanakan di Roudloh, dan juga sebagai isyarat agar
guru–guru dan wali santri untuk dapat bersama-sama melaksanakan ibadah Umroh
dan “menjengguk” beliau di tanah
suci.
Akhirnya
saya ucapkan :
Selamat jalan Neng Muti’. Terima kasih atas pengabdianmu di
pondok ini dan semoga Allah SWT menerima amal ibadah dan jariyahmu serta
menempatkamu di surgaNya amin.
(Surabaya, 4 Nopember 2014).
_______________
18.
Ustadzah Mas’ula :
[Tinggal di Tambak Osowilangun; guru senior di Pondok RTI dan hafizhoh].
Cara
Mendidik Beliau Seperti Abahnya
Almaghfurlaha Ustadzah Muti’ah adalah
orang yang sabar dalam menjalankan tugasnya, baik sebagai seorang ibu dalam
mendidik anaknya maupun sebagai seorang guru di pondok RTI (Roudlotut
Tholibin Islamiyah). Beliau sangat telaten mengajari santri-santrinya,
terutama mereka yang belum mengerti. Cara mendidik beliau seperti abahnya,
Al-Maghfurlah K.H. Muhammad Bashori Mansur. Setelah mengaji, santri-santri yang
belum bisa atau ketinggalan, mereka tidak diperbolehkan pulang dahulu. Mereka
diberi tambahan pelajaran dan diajari sedikit demi sedikit sampai akhirnya
betul-betul mengerti.
Beliau
sangat tawadhu’ terhadap para guru, walaupun yang usianya di bawahnya,
apalagi yang lebih tua darinya. Kalau mempunyai ide-ide yang berkaitan dengan
urusan proses belajar mengajar, tentu dimusyawarahkan dengan guru-guru yang
lain. Beliau tidak pernah menonjolkan keakuannya: … aku iki anak tertua,
… aku iki anake kyai, dll.
Bila
merasa tidak tahu atau kurang faham terhadap materi pelajaran tertentu, beliau
tidak malu dan tidak gengsi untuk bertanya kepada ahlinya, meskipun beliau
seorang sarjana. Misalnya dalam pelajaran ilmu Tajwid, beliau sering bertanya
kepada saya.
Beliau
sering melakukan tugas pekerjaan yang semestinya dilaksanakan oleh para santri
RTI, seperti yang sering saya lihat, beliau selalu mendahului menyapu dan
mengepel pondok di pagi hari, sehingga saya merasa malu sendiri kepada beliau.
Oleh karena itu, santri-santri saya yang sudah selesai menghafal atau setoran
hafalan, mereka saya suruh bersih-bersih untuk meringankan beban beliau.
Dalam
kehidupan bermasyarakat, beliau tidak hanya menyumbangkan ilmunya, tetapi juga tenaga dan pikirannya, serta
hartanya terutama terhadap orang yang tidak mampu. Beliau diakui masyarakat
luas sebagai orang sangat ramah terhadap siapapun, tidak pandang bulu siapa
orangnya, apalagi terhadap orang yang mau berjuang di pondok. Kalau bertemu
dengan teman atau orang yang sudah dikenalnya, beliau pasti menyapa lebih
dahulu. Inilah yang membuat orang–orang merasa kehilangan dan menangis saat
mendengar kabar kematiannya, terutama saya sebagai sahabat yang cukup dekat
dengan beliau. Dan hampir 99 % mereka mengatakan, bahwa beliau wafat dalam keadaan
Husnul Khotimah. Amin. Wallohu a’lam bis-showab.
______________
19.
Ustadzah Masbachah :
[Tinggal di Tambak Osowilangun; guru senior di RTI; teman seangkatan kektika
mondok di P.P. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta].
Ustadzah Hj. Muti’ah Orang Yang Sangat Baik
Ustadzah
Hj. Muti’ah adalah sosok yang saya kagumi, baik sebagai teman, sahabat, dan
juga sebagai guru saya. Beliau luar biasa kesabarannya, terutama dalam mendidik
dan mengajar santri-santrinya. Keramah tamahannya kepada semua orang, ketawadhuannya
dan rasa sosialnya yang tinggi kepada siapapun, membuat mereka merasa
kehilangan sewaktu meninggalnya. Beliau adalah orang yang sangat baik.
Alloohummaghfirlahaa warhamhaa, wa’afihaa wa’fu ‘anhaa. Amin.
20.
Ustadzah Kurniati :
[Tinggal di Tambak Osowilangun; guru di RTI]
Hj. Muti’ah Itu Sosok Ustadzah Sekaligus Bu Nyai Yang Merakyat
Almarhumah Hj. Muti’ah itu seorang “Ustadzah” sekaligus “Bu Nyai” yang murah senyum dan ramah kepada semua kalangan, baik kepada sesama ustadz-utstadzah, wali santri, bahkan kepada santri-santrinya.
Almarhumah
Hj. Muti’ah tidak pernah merasa bahwa dirinya ”orang besar” atau “seorang
pemimpin” yang gila hormat, harus dihormati oleh semua orang. Sebaliknya beliau
adalah sosok pribadi yang rendah hati (tawadhu’) dan tidak sombong, Beliau
bergaul dengan siapa saja tanpa memandang kasta, senior atau junior, kaya atau
miskin, semuanya beliau pergauli dan
perlakukan secara sama. Kalau boleh saya katakan, beliau itu sosok Ustadzah sekaligus Bu Nyai yang merakyat.
Beliau
juga seorang yang “Loman” (dermawan), baik kepada sesama
ustadz-ustadzah, wali santri, para santri, maupun masyarakat pada umumnya.
Beliau suka membagi-bagi rizki dan memberi hadiah kepada para santrinya agar
termotivasi, dengan cara memberi “bintang”. Kata Beliau: “Sopo seng gak
jajan …. sopo seng moco’e lancar gak salah, akan saya kasih bintang”. Dan
bintang ini nantinya dapat ditukar dengan alat tulis atau snack.
Semenjak
beliau mengajar di pondok RTI ini, sistem dan metode pembelajaran di pondok ini
lebih maju, terutama di kelas I’dad yang beliau asuh. Beliau banyak memberikan
perubahan-perubahan yang luar biasa. Santri-santri kecil yang beliau asuh lebih
betah di ruang kelas dan merasa tidak bosan, karena beliau memberikan pengetahuan
agama dan sejarah Islam sambil bernyanyi dan ditambah dengan kreatifitas yang
lain seperti mewarnai, kolosal dsb. Semoga kita mampu meneruskan inspirasi dan
kreatifitas beliau.
Beliau
itu seorang Ustadzah sekaligus Bu Nyai yang sabar dan telaten dalam mengajar
santri-santrinya, murah senyum, tidak pernah bicara dengan nada marah ataupun
emosi, juga terasa enak dan menyejukkan ketika diajak rembukan atau curhat.
Yang
lebih saya ingat, walaupun beliau itu seorang “Bu Nyai”, tetapi beliau sangat
peduli dengan kebersihan lingkungan pondok dan tidak suka melihat tempat yang
kotor. Beliau sangat “akas” dan “cekatan”, mau menyapu dan mengepel sendiri,
bahkan juga mau membuang sendiri sampah-sampah bungkus makanan dan sisa makanan
para santri, sampai-sampai beliau pernah nyeletuk : “gak popo aku
dadi cleaning service”. Semoga kita bisa mencontoh prilaku dan keteladan
beliau.
_________________
21.
Ustadz Samsul Hadi :
[Tinggal di Tambak Langon Surabaya; guru
senior di RTI]
Seluruh Waktunya Dihabiskan Untuk Mengabdi Kepada Ilmu
Almh. Hj. Muti’ah yang lahir di Surabaya, tanggal 01-09-1970 adalah anak pertama dari KH Muhammad Basori Mansur dan Bu Nyai Mushollachah. Kalau melihat dari usianya, beliau tidak terlalu tua ketika dipanggil Alloh kembali ke alam baqa’. Sekalipun demikian, kualitas dan kuantitas ibadahnya tidak kalah dengan orang yang sudah tua.
Sekarang
kita perhatikan, usia beliau adalah 44 tahun : 12 tahun beliau habiskan untuk
mendalami ilmu agama, setelah menyelesaikan pendidikan S1 dan profesinya,
kemudian beliau menikah. Setelah menikah, seluruh waktunya dihabiskan untuk
mengabdi kepada ilmu, mencerdaskan anak-anak bangsa, menjadi salah satu
ustadzah di Taman Pendidikan Islam Raudlotut Tholibin Islamiyah.
Beliau adalah salah satu motivator dan
inspirator berdirinya “komplek putri” di Pondok Krapyak Yogyakarta. Beliau
mewarisi Abahnya dalam mendidik para santri, keuletannya, keistiqomahannya, dan
kesabarannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau sangat ramah dan familier.
_____________
22.
Ustadzah Muzammilah, S.Psi :
[Tinggal di Tambos Surabaya; Adik kandung;
guru RTI]
Memang
Hanya Ada Rasa Kasihan Dalam Hati Neng Muti’
Sebagai anak pertama di keluargaku, Neng Muti’
seolah menjadi ibuku sendiri. Neng siaga di saat ku sakit. Neng siap mendengarkan
cerita ataupun keluh kesahku selama di bangku sekolah atau di lingkungan kerja,
dan siap mencarikan solusinya.
Salah satu kenangan yang ku ingat betul sebelum menikah
adalah soal mencuci pakaianku. Setiap kali hendak bersiap-siap mencuci pakaian, aku hanya menemukan separuh atau tidak sama
sekali baju kotorku, dan ternyata bajuku sudah berada di bak baju bersih atau
sudah berada di lemari pakaian, dan aku hanya tinggal mengambil dan
menyetrikanya saja.
Memang hanya ada rasa kasihan dalam hati Neng,
ketika dia melihat padatnya aktifitasku saat itu, sehingga ketika Neng
mencuci pakaian emak, anak dan suaminya, pakaianku pun tidak luput dari
pandangannya untuk dicuci. Meskipun aku sudah menikah, bila ada pakaianku atau
pakaian anakku, Nawal, bercampur dengan pakaiannya Neng yang kotor, maka
Neng selalu menyertakan pakaianku untuk dicucinya. Dia tidak pernah
mengeluh capek, meski kadang mencuci piring atau membersihkan rumah.
Neng Muti’…! Sampai sekarang aku tidak
percaya kalau pean sudah tiada….. Dalam
bayanganku, pean masih beraktifitas di depanku, dan tanpa terasa aku menangis
melihat semua itu. Tapi ingatanku kembali ke sebuah foto di hp cak Emi pada
detik-detik terakhir setelah Neng dinyatakan meninggal oleh tim medis.
Sampai saat ini, setiap kali menjelang
sore, aku merasa bahagia karena sebentar lagi malam dan aku akan tidur
meninggalkan sejenak kenyataan di kehidupanku bahwa Neng sudah meninggal.
Neng….! Kebaikanmu padaku mudah-mudahan
bisa sepenuhnya aku berikan kepada anakmu, Thebba Elvana. Kita semua sayang
kepadanya dan aku akan selalu siap membantunya untuk menjadi yang terbaik.
23.
Ustadzah Badi’atus Sholihah, SHI:
[Tinggal di Tambos Surabaya; Adik kandung;
guru RTI]
Bakat
Abah Menurun Pada Jiwa
Neng Muti’
Kurang lebih 6 tahun yang lalu, Neng Muti’ mulai terjun untuk mengabdikan diri di pondok. Neng memilih untuk mengajar di kelas awwal yaitu kelas I’dad. Neng berkeinginan untuk memberikan inovasi-inovasi dalam pengajaran di pondok. Kalau biasanya di kelas I’dad hanya diajarkan pengenalan huruf hijaiyyah, maka setelah kehadirannya, ada sentuhan-sentuhan yang menarik dalam pembelajaran di kelas I’dad. Misalnya memberikan pengetahuan agama melalui lagu.
Masih terkenang dalam ingatanku: di kamar depan atas
rumah emak, sambil mengasuh anaknya, Thebba, Neng mendendangkan lagu
anak-anak pada umumnya yang Neng ubah liriknya menjadi lagu Islami.
Sempat ada keinginan dalam hati saya untuk bisa seperti Neng, tetapi
saya tidak mampu, lalu saya sadari ternyata bakat Abah menurun pada jiwa Neng.
Abah cinta pada anak-anak. Demikian pula dengan Neng. Kalau Abah bisa
mengubah lirik lagu “Syukur” menjadi lagu “Singa Padang Pasir”,
maka Neng mampu mengubah lirik lagu “Balonku Ada Lima” menjadi
lagu yang berisikan tentang kisah Nabi Adam, dan banyak lagi karya-karyanya.
Lagu “a ba ta tsa” milik Abah yang lama, kemudian Neng ganti dengan
menggunakan nada “Lir-ilir”. “Biar nggak bosen I’…!”, katanya
saat itu.
Rasa cintanya pada pondok RTI sangat besar. Salah satu
contohnya: Neng ingin pondok selalu kelihatan bersih, supaya para murid
dan wali murid merasa nyaman berada di pondok. Neng rela menyapu bahkan
mengepel pondok, kadang-kadang bisa sampai setiap hari. Kadang-kadang emak
nyeletuk: “Muti’ iku yo, omah nggak diresi’i, tambah ngresi’i pondok”.
Sering saya jumpai Neng turun dari ruang kelas atas tempat ia mengajar
sambil membawa tempat sampah. Tanpa rasa gengsi, Neng menyapu ruang
kelas, meskipun di sekitarnya ada guru-guru yang lain. Neng tidak pernah
memerintah secara langsung, tapi memberikan contoh keteladanan.
Neng orangnya sangat disiplin dan taat dengan peraturan
pondok. Misalnya jam mengajar pondok itu 1 jam, tapi Neng tidak pernah
mengajar kurang dari 1 jam. Beliau pernah bercerita kepadaku, ketika
murid-muridnya minta pulang, lalu dijawab : “Belum waktunya, nanti saya dimarahi”, jawabnya untuk
menenangkan murid-muridnya. Neng tidak suka kalau ada guru yang
meninggalkan kewajibannya, meskipun guru itu suaminya sendiri, cak Emi, dan
saya pernah mendengar sendiri Neng
yang menelpon Cak Emi untuk mengingatkan mengajar.
Neng tidak semena-semena terhadap sesama guru. Setiap ada
sesuatu permasalahan, Neng pasti musyawarah-kannya dan mau berunding
dengan siapapun, baik dengan guru senior maupun junior. Sosoknya mengayomi, mau
mengalah, selalu menjadi tempat saya mengadu jika ada masalah di pondok dan
neng selalu mau membantu menyelesaikannya dengan gayanya yang lembut dan tidak
otoriter. Neng ingin yang terbaik untuk Pondok. Itulah keinginannya.
Bagiku, Neng adalah orang yang sangat hebat. Ia
mempunyai banyak peran dalam hidupnya : sebagai seorang ibu, istri, anak,
kakak, pedagang, dan guru. Pokoknya bagiku Neng adalah kakak yang sangat
hebat.
Sebagai seorang kakak, Neng orangnya sangat baik.
Dia siap membantu setiap adiknya ada
kesusahan. Neng tidak pernah marah, orangnya sangat sabar, dan selalu
siap mendengarkan keluh kesah saudara-saudaranya.
Sebagai seorang Ibu, Neng adalah sosok yang
sangat sabar, jarang marah, sangat telaten dan cerdas. Salah satu cara untuk
membuat Thebba mudah memahami pelajaran sekolah, Neng menyampaikan pelajaran itu dengan
menyanyi. Entah Neng dapat dari mana not dan tangga lagunya. Yang
kutahu, setiap kali mendampingi anak-anak “sinahu”, ada saja lagu baru yang
berisikan pelajaran yang Neng ajarkan ke Thebba dan teman-temannya
itu.
Sebenarnya masih banyak kenangan Indah tentang Neng
Muti’, akan tetapi saya tidak punya kemampuan untuk menuliskannya.
Neng Muti’! Semoga Allah menjadikan Thebba seperti yang Neng inginkan.
Ya Allah jadikanlah hati kami ikhlash untuk menerima segala qodho’Mu. Amien
____________________________
24.
Ustadz Ali Rois, M.Pd.I. :
[Tinggal di Tambak Osowilangon Surabaya;
Adik ipar; guru senior di RTI; Kep. Sek.
SD Mursyidah Tambos]
Neng
Muti’ Seperti
Seorang Ibu Bagiku
Kakak ipar
perempuan, kedudukan-nya seperti seorang ibu dalam budaya India. Perlakuan ini
kudapatkan tanpa saya harus tinggal di India atau menikah dengan gadis India.
Neng Muti’, Saya biasa menyebutnya demikian, seorang kakak ipar namun seperti
seorang ibu bagiku, demikian pula dengan kakak-kakakku sendiri. Sering kali
Neng Muti’ bertanya kepada saya apakah sudah makan atau belum, menawarkan
berbagai jajan, buah-buahan atau makanan lainnya, bahkan kadang Neng Muti’
mengantarkan sendiri kepada saya atau kepada istri saya makanan yang telah
dibuatnya.
Dalam pandangan
saya, dan siapapun boleh berbeda pandangan dengan saya. Neng Muti’ bisa
bersahabat dengan siapa saja, berkomunikasi dengan baik siapapaun yang
menjadi kawan bicaranya. Tidak
membedakan Kamu siapa atau orang itu siapa. Neng Muti’ bersedia menjadi
pendengar yang baik, mau menerima pendapat orang lain, tidak memaksakan
kehendak meskipun punya hak memaksa.
Kenangan yang tak terlupa, beberapa bulan setelah
wafatnya Ustadz H. Muhammad Basori Mansur, kebetulan waktu itu sesudah salat
maghrib, saya ke Roudloh (RTI) dengan mengenakan celana dan tidak berkopyah.
Ini prilaku yang agak janggal sebenarnya, mestinya mengenakan sarung dan
berkopyah. Malam itu ada guru yang tidak hadir dan Neng Muti’ menyuruh saya untuk menggantikannya.
Saya coba meng-hindar (sebab kelas yang kosong itu kelas tinggi) dengan alasan
tidak berkopyah, ternyata Neng Muti’ bilang, “Tak selangi kopyahe Abah.”
Untuk kedua kalinya saya coba menghindar, tidak apa saya gantikan gurunya
tetapi tidak usah mengenakan kopyah (murid mana yang berani mengenakan kopyah
kiainya?). Setelah mendengar penjelasan
singkat dari Neng Muti’ akhirnya saya pun mengenakannya dengan rasa bangga atau
entah apa, kopyah yang menurut saya istimewa karena dikenakan oleh Ustadz
ketika beliau mengajar di luar Roudloh, termasuk ketika mengajar di mushalla di
samping makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
_________________________
25.
Ustadzah Nur laila :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]
Bagiku, Ustadzah Muti’ah adalah sosokk seorang ibu, sekaligus guru/ustadza yang baik hati dan penyabar. Beliau selalu ingin melakukan yang terbaik: bagaimana caranya pondok roudloh kita ini bisa lebih maju dan lebih baik lagi.
Meskipun seorang putri dari pendiri pondok Roudlotut
Tholibin Islamiyah, tetapi beliau tidak pernah sombong dan seenaknya dalam bersikap,
dan malah sebaliknya beliau selalu rendah hati, murah senyum kepada sesama dan
selalu berpenampilan sederhana, serta punya kepedulian yang besar terhadap
pondok, teman-teman usatadzah dan para murid.
Mungkin 1001 kita bisa menjumpai sosok seorang ibu yang
sangat penyabar kepada putri semata wayang. Kami salut dan sangat bangga kepada
beliau sebagai seorang ibu, sekaligus seorang guru ngaji dan apoteker. Kami
merasa sangat kehilangan beliau. Semoga kita bisa meniru sisi-sisi baik dari
Ustadzah Muti’ah.
Selamat Jalan ustadzah Muti’ah…! Semoga ustadzah mendapatkan tempat yang layak
di sisi Allah SWT.
________________________
26. Ustadzah Yana :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]
Aku merasa salut dan tersanjung ketika bu Muti’ah pertama kali mengajak aku mengajar di pondok bersama-sama beliau. Disini aku dapat melihat karakter dan sifat beliau : beliau begitu sabar, telaten, ulet dan murah senyum kepada para murid. Beliau tidak pernah marah ketika dikritik oleh wali santri, beliau menanggapinya secara halus disertai dengan senyuman. Aku suka dengan karakter dan sifat yang demikian ini.
Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau ramah dan suka
menyapa disertai senyuman. Satu pelajaran yang dapat aku ambil dari beliau
adalah tidak pernah marah, meskipun sewaktu berdebat memecahkan persoalan yang
berkaitan dengan urusan murid maupun pondok. Bu Mutik is the Best. Bu Mutik
always smile to me and to all people.
______________________
27.
Ustadzah Faizah :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]
Bu Muti’ah itu orangnya baik, sabar dalam mendidik anak dan murid-muridnya. Beliau suka menolong dan berusaha tetap tersenyum, walaupun beliau sedang capek dan lelah.
Sebenarnya beliau tidak butuh uang untuk berjualan obat,
tetapi ada satu keinginannya, yaitu agar orang lain sehat dan merasa senang.
Semoga ada generasi berikutnya yang mencontoh sikap dan sifat beliau. Amin ....
______________________
28. Ustadzah “Nunung” Qomariyah :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]
Ustadzah mutiah adalah sosok seorang wanita yang identik dengan senyuman, kesabaran, ketelatenan dan juga penuh dengan inovasi-inovasi yang sangat membangun. Tidak sulit untuk menjadi teman Ustadza Muti’ah, karena jiwa sosial yang dimiliki beliau sangat tinggi. Beliau mudah bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu.
Dalam jiwa beliau terdapat sosok seorang “ibu” yang
benar-benar sabar dan kasih sayang dalam mendidik putri maupun
santri-santrinya. Dalam jiwa beliau juga terdapat sosok seorang “ustadzah” yang
benar-benar mau bekerja keras menuangkan waktu, tenaga, dan biaya. Bahkan dalam
jiwa beliau banyak bermunculan ide-ide kreatif yang dapat memajukan pondok.
Kesederhanaan beliau dalam berpenampilan benar-benar membuat orang di
sekitarnya merasa senang dan tidak bosan bila melihatnya.
Satu hal yang pernah beliau katakan: “Jangan pernah
menunda pekerjaan selagi kita bisa, dan jangan pernah menunda untuk berbuat
suatu kebaikan”
Semoga kita mampu meniru sifat-sifat terpuji yang
dimiliki beliau, agar kita selalu merasa bahwa beliau selalu dekat dengan kita,
dan merasa beliau tidak pernah meninggalkan kita.
__________________________
29. Ustadzah Barirotus Su’adah :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]
Bu
Muti'ah orangnya telaten dalam mendidik terutama sama anak-anak di kelas I'dad (persiapan)
yang suka rewel. Beliau sangat
perhatian kepada para ustadz-ustadzah
di ponpes Roudloh. Beliau ramah dalam
melayani para pembeli obat. Kapanpun
pasien/pembeli membutuhkan obat,
beliau selalu melayaninya. Dan hal yang paling
saya kagumi adalah beliau selalu menyapa dan tersenyum kepada siapapun yang
beliau jumpai. Dimanapun,
kapanpun, siapapun tak peduli itu orang lebih tua atau lebih muda, orang mampu
atau kurang mampu, senyumnya tidak bisa saya lupakan.
Beliau
orang yang baik. Semoga beliau di
terima di sisi Allah SWT. Saya yakin beliau
meninggal dalam keadaan Chusnul Chotimah. Semoga semua
amal ibadahnya di terima Allah SWT dan semoga Mbak Thebba dan keluarga diberi
ketabahan dan keikhlasan.
----------------------------------------------
30. Ustadzah Anita Wahyuni :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]
Ustadzah mutiah adalah sosok seorang
ibu yang memiliki kepribadian yang sangat baik dan patut kita contoh. Beliau sabar
dalam mengasuh, merawat dan mendidik putri dan santri-santrinya. Beliau supel
dan ramah dalam bergaul dengan masyarakat dan para ustadz-ustadzah di ponpes
RTI, santun dalam berbicara, sopan dalam bertingkah laku, sabar dalam bersikap.
Itulah yang gambaran perilaku atau sifat beliau. Kenangan yang masih teringat sewaktu
kami bersama beliau ialah sewaktu mengajar, beliau dengan telaten dan sabar
dalam menghadapi santri-santrinya, meskipun mereka banyak yang belum lancar
membaca.
Ustadzah Muti'ah…..! Terima
kasih atas semua jasa dan ilmu yang engkau berikan kepada
kami. Senyum
dan keceriaanmu akan selalu ku kenang selamanya.
Ya
Allah,
ampunilah dosa dosa guru-guru kami! Terimalah amal
ibadahnya dan tempatkan beliau di tempat yang paling indah disisiMu &
semoga Khusnul Khotimah. Amin .....
No comments:
Post a Comment