Di kampung Mangga, ia dikenal orang
kaya. Maklum, di tempatnya tinggal itu, lelaki paruh baya yang bernama Majnun
(tentu bukan nama sebenarnya, 50 tahun) ini adalah petani sukses. Sawah dan
ladang Majnun luas membentang. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai pedagang buah
terkenal dan berhasil. Tak ayal, jika warga menyebut-nyebut lelaki yang
memiliki lima anak itu tak kekurangan materi lantaran bergelimang dengan harta.
Tapi, kekayaan yang dimiliki Majnun itu
tidak membuat dia menjadi orang yang ingat kebesaran Allah dengan rezeki yang
telah diberikan padanya sehingga dia jadi dermawan atau ringan tangan terhadap
orang miskin, paling tidak orang yang lagi dilanda kesusahan. Justru, dia
selalu menggenggam jemari tangannya dengan erat dan bahkan congkak terhadap
orang miskin.
Mungkin, tidak jadi soal jika Majnun
tidak mau membantu orang yang butuh namun masih dengan cara baik dan rendah
hati. Tapi, sudah tak mau mengulurkan tangan, Majnun masih berbohong, dan
merasa tidak sebagai saudara.
ORANG
BAKHIL, KIKIR.
Suatu hari, pernah ada sepupu Majnun
dari jauh yang datang ke rumahnya untuk meminjam uang. Saudara Majnun itu lagi
ditimpa musibah, lantaran anaknya sakit sehingga butuh biaya tak sedikit untuk
berobat. Sepupu Majnun sebenarnya sadar, kalau tipis harapan jika harus
meminjam uang kepada Majnun. Tetapi, jalan untuk mendapatkan uang sudah tidak
ada lagi. Dia sudah bersusah payah minjam uang ke beberapa tetangga di kampung
tempat tinggalnya, tetapi sayang tidak ada satu orang pun yang bisa membantu.
Maka, tak punya pilihan lain, kecuali datang ke rumah Majnun. Dalam hati, ia
membatin siapa tahu dengan keadaan anak sakit, Majnun tersentuh hati dan luluh
sehingga tidak keberatan meminjamkan uang.
Sayang, harapan sepupu Majnun ternyata
bertepuk sebelah tangan. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, dan
tiba di rumah Majnun bukan sapaan akrab dan uluran tangan keluarga yang ia
dapat melainkan luapan wajah cemberut di wajah Majnun yang serupa singa. Tentu
saudara Majnun tidak mungkin pulang jika tanpa usaha. Dia sudah jauh terlanjur
sampai di rumah Majnun, maka akhirnya memberanikan membuka mulut...
"Kedatangan saya ke sini
sebenarnya selain silaturrahmi juga ada masalah penting yang ingin saya
bicarakan!”, ucap sepupu Majnun.
“Masalah apa lagi?” tanya Majnun.
“Saya ingin minta tolong!” ucap sepupu
Majnun gagap. “Saya butuh uang untuk mengobati anak saya yang sakit…"
Saat mendengar meminjam uang, seketika
itu Majnun mendidih. Jantungnya berdegup kencang, mukanya merah serupa batu
bata yang terbakar bara. Majnun berkacak pinggang, "Kau ini tiba ke sini
hanya minta tolong! Saya tak punya uang. Hari ini dagangan buah tak laku, hasil
panen pun belum tiba. Lagi pula, saya ini memang apa-mu?” ketus Majnun.
Sepupu Majnun itu, terdiam. Kedua
kakinya lemas. Langit-langit seakan gelap. Mulutnya terkunci dengan ucapan
Majnun yang ketus itu. Belum lagi, wajah cemberut Majnun yang dilihat seram
menakutkan. Maka, tak ada pilihan lain untuk tinggal lebih lama. Dia segera
pamit pulang, dengan tanpa membawa uang.
Dia sebenarnya tidak heran dengan
kelakuan Majnun itu, karena penolakan Majnun terhadapnya kali ini bukanlah
pertama yang dia alami. Sebelumnya pernah ia meminjam uang dan selalu dijawab
dengan kata “tidak punya uang”.
Tetapi kali ini saudara Majnun
terpaksa, tapi, apa daya orang yang selama ini dianggap sebagai saudara
ternyata tak lebih dari orang asing yang tak saling kenal.
Watak Majnun itu, sebenarnya sudah jadi
rahasia umum warga Semangka. Warga tahu, Majnun memang kaya. Tapi menurut
warga, kekayaan yang dimiliki Majnun itu justru membuat Majnun sombong, congkak
dan enggan bergaul dengan warga yang mayoritas berstatus rendah. Selain kikir,
Majnun dikenal warga suka mendatangi sebuah pohon besar yang ada di ujung
kampung. Tak jarang, Majnun kepergok oleh salah seorang warga yang mencari
rumput.
Anto (36 tahun), warga yang mencari
rumput itu pun sering melihat Majnun bersila di bawah pohon, melakukan ritual
dengan menyajikan sesajen, membakar dupa dan mulutnya berkomat-kamit membaca
mantera. Di akhir prosesi, Majnun kemudian bersujud di hadapan pohon besar
tersebut dengan seksama.
Kebiasaan buruk itu, sudah sering
dilakukan Majnun tatkala hari menjelang Maghrib --tepatnya Jum'at sore. Maklum
jika Anto tahu. Dia seorang warga desa yang sehari-hari bekerja di sawah milik
Majnun sebagai buruh harian. Tak salah pula Anto sering memergoki Majnun
melakukan ritual aneh itu. Anto mengatakan aneh, sebab suatu hari pernah
melihat Majnun bermesraan dengan seekor ular besar di bawah pohon.
Memang, awalnya ritual aneh itu hanya
diketahui Anto. Tetapi, lama-lama warga tahu juga. Tapi warga hanya diam tak
pernah mengusik kebiasaan Majnun yang dianggap menyimpang. Orang-orang kampung
Semangka hanya berbisik-bisik tatkala di warung kopi lantas menyebut-nyebut
Majnun itu telah mengambil pesugihan.
SOMBONG
Dengan memiliki kekayaan yang berlimpah
dan tidak ada orang di kampung Semangka yang mampu menandinginya, Majnun pun
jadi sombong termasuk kalau ada orang yang datang ke rumahnya. Padahal
kedatangan orang ke rumahnya itu belum tentu mau meminjam uang. Bisa jadi,
orang yang datang ke rumah Majnun itu ingin memberikan informasi, atau apa
lagi…
Tapi karena Majnun selalu berprasangka
negatif kepada setiap orang yang datang ke rumahnya, akhirnya orang kampung tak
berani datang ke rumah Majnun jika memang tidak perlu. Rumah Majnun jadi
angker, angkuh dan menyeramkan. Tidak jarang, pengemis atau anak yatim yang
datang ke rumah Majnun pun untuk minta sedekah, akhirnya harus menantap rumah
megah Majnun itu dengan tatapan yang nyaris tidak percaya jika pemiliknya
ternyata tak bersahabat.
Selain dikenal angkuh dan sombong,
Majnun juga nyaris tak pernah hadir jika ada warga atau tetangga yang lagi
punya hajat. Maklum jika satu dua kali tak hadir, tetapi seringkali undangan
warga itu tidak pernah dipenuhi Majnun dengan seribu alasan, seperti sibuk
kerja atau sedang ke pergi ke luar kota.
Menurut pengakuan Anto, Majnun memang
orang yang tidak suka bergaul dengan warga kampung. Sikap itu pula yang membuat
warga membenci Majnun dengan sepenuh hati. Karena tidak semestinya Majnun
bersikap sombong, apalagi tak mau bergaul dengan tetangga. Lebih dari itu,
Majnun suka menghina orang.
Pernah suatu ketika, ia menghina Anto
karena Anto sedang sakit dan minta istirahat beberapa hari untuk libur dari
kerja di sawah Majnun. Tapi, Majnun tak memberi izin kepada Anto apalagi
memberi bantuan uang untuk berobat. Justru, Anto dihina-hina. "Kau itu sudah
miskin, sakit-sakitan lagi! Kapan lagi kamu akan menyelesaikan kerjaan di
sawah!" bentak Majnun dengan muka bersemu merah menyala.
Jelas, hinaan itu langsung membuat Anto
kecewa dengan majikannya yang selama ini ia bantu. Dalam hati kecil, Anto ingin
memutuskan tidak melanjutkan bekerja di sawah Majnun. Tapi ia berfikir ulang,
dari mana dia akan mendapatkan uang kalau tidak bekerja sebagai buruh harian di
sawah Majnun? Apalagi istrinya sedang hamil dan nanti butuh biaya banyak untuk
bersalin. Belum lagi, kebutuhan lain yang harus ditanggung Anto. Saat berpikir
jernih, ia pun urung keluar kerja.
Sejak peristiwa itu, Anto menebalkan
telinga, dan bungkam seribu bahasa meski Majnun menyumpahi dengan sumpah
serapah yang tidak enak didengar. Tak salah, jika orang-orang sebelum Anto pun
nyaris tidak pernah bertahan lama selama kerja di sawah Majnun.
DATANG
SAKIT...
Jelas, roda kehidupan datang silih
berganti. Ada orang yang kaya, ada pula yang miskin. Ada sehat, ada pula sakit.
Ada siang, juga malam. Kadang di atas, suatu kali pun bisa jadi berganti ada di
bawah. Seperti halnya Majnun, dia tak selamanya menjadi orang kaya yang bisa
merendahkan setiap orang yang ada di sekitarnya. Ia juga tak selamanya akan
sehat.
Hingga suatu hati, Majnun mendapat
ujian dari Allah. Ia sakit. Ia mengalami stroke, tepatnya di kepala bagian
kanan. Sakit yang dideritanya itu tak bisa lagi membuatnya pergi untuk
berjualan buah. Tak pelak, ia pun hanya terbaring lemah di atas ranjang,
menatap langit rumah yang kelam. Ia tidak mampu berkata-kata kasar pada
orang-orang disekitarnya. Ia tak kuasa lagi berbicara dengan keras. Tak kuasa
bergerak leluasa, bahkan sekadar untuk memalingkan wajahnya ke kiri atau kanan.
Ia sudah tak mampu lagi berbuat banyak.
Satu bulan berlalu, sakit yang diderita
Majnun ternyata belum pulih. Maka keluarga dan anak-anak Majnun ditikam
bingung, pasalnya sudah sebulan itu pula Majnun menginap di rumah sakit dan
biaya rumah sakit sudah membengkak tinggi, tetapi Majnun masih saja tak ada
perkembangan. Tetapi apa daya, Allah memang belum berkehendak untuk
menyembuhkan Majnun dari sakit. Sudah puluhan juta yang dihabiskan untuk
mengobati Majnun. Tapi uang puluhan juta itu tidak mampu menyembuhkan sakit
yang diderita oleh Majnun. Karena tidak pernah menderita sakit seperti itu
sebelumnya, Majnun pun sering menjerit-jerit dengan kencang, dank eras lantaran
tak kuasa menderita rasa sakit.
Saat tahu Majnun sakit keras, warga
desa ada yang simpati tetapi ada yang girang bukan kepalang. Mereka yang
simpati, akhirnya datang membesuk Majnun dan mendoakannya supaya lekas sembuh
dan nanti segera bertaubat atas segala kesombongan dan keangkuhannya setelah
diuji Allah dari stroke.
Tapi bagi mereka yang girang mendengar
Majnun ditimpa penyakit stroke, sama sekali tak mau menjenguk dan mengatakan
jika Majnun ditimpa sakit seperti itu, adalah wajar sebab ia orang sombong dan
selalu membanggakan dirinya yang kaya raya. Padahal, kekayaannya yang
disombongkan itu pun berangsur-angsur digerogoti kebutuhan untuk membiayai
perawatan di rumah sakit.
JADI
ULAR BESAR KELUAR DARI DALAM KUBUR
Setelah lama terkapar dan tidak bisa
berbuat apa-apa, akhirnya sakit yang diderita Majnun mendekati masa kritis, dan
puncaknya Allah menghendaki Majnun meninggal dunia. Majnun menghembuskan nafas
terakhir seusai menderita sakit yang tak terperikan. Ia menjerit-jerit, hingga
akhirnya kesunyian menjadi saksi bahwa Majnun telah meninggal dunia. Kesunyian
itu disusul sedih. Tangis istri dan anak-anaknya pecah. Seketika, kamar rumah
sakit ramai isak tangis, ratapan dan jeritan.
Setelah keluarga mengurus biaya rumah
sakit, almarhum dibawa pulang ke rumah untuk dikebumikan hari itu. Meski Majnun
dikenal kurang baik oleh warga kampung, tetap ada sebagian warga yang melayat.
Jenazah almarhum kemudian dimandikan, dikafani, dishalati kemudian
diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tak ada kejadian aneh yang
terjadi waktu pemakaman berlangsung.
Tetapi kejadian aneh berlangsung satu
minggu kemudian setelah jenazah Majnun dikebumikan dengan tenang. Sebagaimana
umumnya pemahaman sebagian orang kampung Semangka, orang yang meninggal
diadakan tahlilan, dan yasinan. Apalagi karena yang meninggal itu adalah orang
kaya, maka anak-anak dan isteri Majnun membuat tenda besar di sekitar makam
Majnun. Di tenda besar itu, nanti warga desa diundang untuk mengadakan tahlilan
dan membaca yasin.
Tak kurang dari empat puluh orang hadir
dalam acara tahlilan itu. Tahlilan berlangsung mewah. Bahkan menurut Sanusi (29
thn), seorang warga yang turut diundang tahlilan, menuturkan seusai membaca
yasin dan tahlil itu, setiap orang masih diberi uang oleh anak-anak Majnun.
Tahlilan dan yasinan itu dilakukan
setelah Maghrib dan rencananya, acara itu akan digelar selama 40 hari. Tapi
saat tahlilan dan yasinan itu berlangsung 1 minggu, kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba
kuburan Majnun meledak hebat. Orang yang sedang tahlilan kaget, tercekat bunyi
ledakan. Apalagi sesaat kemudian, dari dalam kubur muncul seekor ular besar
yang menjulur-julurkan lidahnya ke arah warga yang sedang membaca surat Yasin.
Seketika orang yang hadir dalam acara
tahlilan itu berhamburan kabur, lari tunggang langgang. Tetapi, tidak berapa
lama kemudian, ular raksasa itu masuk kembali ke kubur yang sudah terbuka.
Kejadian aneh itu ditafsiri warga
dengan berbagai cerita. Tetapi, yang jelas di malam itu anak-anka almarhum
Majnun segera meminta orang-orang yang ikut tahlilan untuk merahasiakan
kejadian aneh tersebut agar tutup mulut, dan setiap orang diberi uang yang
lumayan besar.
Tentu saja, cerita tragis yang dialami
keluarga Majnun itu bukanlah suatu kebetulan belaka. Lantaran semasa hidupnya,
Majnun dikenal sebagai orang yang sombong, angkuh dan punya pesugihan. Padahal,
Allah menganjurkan umat Islam supaya tidak sombong sebagaimana dalam
firman-Nya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong,
sesungguhnya Allah tak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan
diri." (QS. Lukman: 18).
Selain itu, pesugihan itu adalah syirik
dan dosa syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah. Semoga kisah
Majnun ini menyadarkan kita!
___________________________________
*)
Kisah Nyata ini dimuat di Majalah Hidayah, edisi
76 november 2007
No comments:
Post a Comment