Ruang VIP no. 5 rumah sakit Sekar Maju itu, terasa mencekam.
Malam yang merambat pelan seperti menakutkan. Mbah Kusno (60 thn) yang terbujur
kaku tak berdaya di atas pembaringan hanya mendesah resah.
Rasa kesakitan tampak
dari raut wajahnya yang sudah seminggu terbaring di ruangan itu. Kondisinya
memprihatinkan. Tubuhnya lemas, tidak bertenaga. Tak bisa berbuat apa-apa, tak
bisa bergerak, tak bisa berkata apa-apa. Jarum infus tak mampu memulihkan
tenaganya untuk berdiri dari pembaringan. Ia terkapar seperti seonggok kayu. Ia
terkapar seperti tak berarti. Hanya degup jantungnya yang berdetak dan itu
memberi pengertian bahwa dia masih hidup.
Lasmi (50 tahun) yang
menunggu tersedu di samping pembaringan suaminya, hanya mampu menangkap makna
dan keinginan Trusno dari isyarat bola matanya saat berkedip dan dari gerakan
mulutnya yang tidak mengeluarkan suara. Air matanya sudah terkuras habis. Ia
sesenggukan dalam sedih. Isak tangisnya nyaris tak terkontrol dan tiba-tiba
jerit keras dari mulutnya terdengar melengking di tengah malam yang merana. Di
tengah malam yang kelam.
Beberapa saat
kemudian, datang dua orang perawat, masuk ke ruangan dan berusaha menenangkan
Lasmi. Tubuh Trusno yang panas sekali, membuat Oding (25 tahun), anak laki-laki
Trusno tak henti-hentinya menyeka dahi ayahnya dengan handuk basah. Ia tahu,
ayahnya sudah berada di ambang maut. Angin malam yang berhembus kencang di luar
ruangan, dan menghempaskan dedaunan dan ranting akasia di pelataran rumah sakit
seperti mengabarkan tentang berita kematian itu. Ia berekali-kali membisikkan
kalimat thayyibah dan berusaha menuntun sang ayah untuk mengikuti gerakan
mulutnya.
Entah mendengar
bisikan Oding atau tidak, yang jelas Trusno seperti kian ditikam kesakitan. Dia
seperti tertindih beban berat yang menimpa tubuhnya dan itu membuat ia
kejang-kejang. Mulutnya menganga dan kedua kakinya diangkat mengangkang. Namun
tidak terdengar rintihan dari mulutnya, dan degup jantungnya kian terasa pelan
berdetak. Hingga akhirnya, tidak terdengar lagi detak jantungnya, tak terendus
lagi desah nafasnya. Ia menghembuskan nafas terakhir dalam kesakitan yang
menyiksa.
Setelah tahu ayahnya
tak lagi bernafas, tak berdegup lagi jantungnya dan juga sudah berada di alam
lain, Oding tak lagi membisikkan kalimat thayyibah. Ia seketika tercekat dan
tersedu. Lalu disusul isak tangis. Sementara Lasmi menjerit keras, meratapi
kepergian sang suami tercinta.
Tahu kalau pasien
yang sudah seminggu menginap itu sudah meninggal, kedua perawat segera merawat
tubuh almarhum. Kedua kaki almarhum yang mengangkang segera diluruskan.
Untunglah, usaha kedua perawat itu tak sia-sia. Kaki almarhum dapat diluruskan
dan setelah itu almarhum segera diurus. Sejurus kemudian, almarhum dimasukkan
ke mobil ambulans dan jenazah segera dibawa pulang.
MATA KELUAR NANAH.
Mobil ambulans yang
membawa jenazah itu tiba di rumah duka, tepat saat matahari sudah muncul dari
ufuk timur. Suara sirine ambulans yang meraung-raung memasuki kampung Semangka,
segera menjadi tanda kalau di kampung itu ada yang meninggal dunia. Karena tidak
ada lagi warga yang menghuni rumah sakit sebagai pasien kecuali Trusno, maka
kematiannya segera tersiar. Rumah Trusno seketika dirundung duka. Ratapan serta
jerit tangis keluarga dan handai tolan segera membahana.
Semantara itu, warga
seketika berdatangan. Maklum, Trusno bukanlah orang biasa. Ia bukan orang
sembarangan di kampung Semangka. Ia adalah seorang mantan lurah dan sudah
puluhan tahun menjabat lurah. Tak ayal lagi jika banyak penduduk yang datang
melayat.
Dua jam setelah
kedatangan jenazah di rumah duka, keluarga kemudian memutuskan segera merawat
jenazah. Jenazah yang terbaring di ruang tengah lalu diangkat ke tempat
pemandian (jenazah) tepat di samping rumah. Tetapi saat jenazah itu siap untuk
dimandikan dan kain penutup almarhum disingkap, seketika keluarga dibuat
tercengang. Karena dari mata jenazah, tiba-tiba keluar nanah. "Matanya
keluar nanah terus. Pokoknya kematian almarhum itu tak lazim atau tidak umum
seperti layaknya orang kebanyakan," cerita Sariyem (50 tahun) kepada
Hidayah.
Nanah yang mengalir
dari mata jenazah itu segera diseka dengan air. Namun, berkali-kali diseka,
tetap saja leleran nanah mengalir terus. Diseka lagi, tapi nanah itu mengalir
lagi. Nyaris keluarga putus asa dan menyerah. Sebab usaha memandikan jenazah
itu tak kunjung usai semata-mata upaya membersihkan leleran nanah itu memakan
waktu cukup lama. Hingga akhirnya, leleran cairan putih kekuning-kuningan itu
sedikit demi sedikit mereda dan keluarga segera menutupnya dengan kapas. Usai
dimandikan, jenazah dishalatkan dan tak lama lagi diberangkatkan.
TANAH SUSAH DICANGKUL
Iring-iringan para
pengantar jenazah akhirnya tiba di pemakaman. Setelah memasuki pintu makam dan
dekat lubang kubur, akhirnya keranda diletakkan. Jenazah, lalu dimasukkan ke
dalam liang kubur.
Setelah jenazah
berada di liang kubur dan siap untuk ditimbun kembali dengan tanah, segera para
penggali kubur mengambil cangkul dan mengayunkan cangkul pada gundukan tanah
yang berada di samping liang kubur. Tetapi saat cangkul itu diayunkan, anehnya
cangkul itu seperti membentur tanah gundukan. Berkali-kali cangkul diayunkan
untuk membebas tanah gundukan, cangkul itu lagi-lagi membentur gundukan. Tanah
itu seakan-akan sudah berubah menjadi batu yang sulit untuk dicangkul. Tanah
itu sepeti sudah mengeras.
Toh, jika bisa
dicangkul, paling-paling tidak seberapa. Hanya segumpal tanah dan itu tidaklah
berarti. Tanah gundukan itu tetap saja susah dicangkul. Padahal saat tanah
kubur itu dilakukan penggalian, tidak keras seperti batu. Biasa dan tak terjadi
apa-apa. Apalagi, pada saat itu musim penghujan dan tanah kubur gembur. Namun
kini tanah kubur tiba-tiba telah berubah seperti batu yang tidak bisa
dicangkul.
Kontan, semua para
pelayat terbengong-bengong. Heran dan tak habis mengerti. Lalu, tiga orang
pelayat yang masih keluarga almarhum turun tangan, mencangkul tanah kuburan.
Lagi-lagi, hal yang sama dialami mereka. Tanah kubur tetap keras dan tak bisa
dicangkul. Toh, bila ada yang tersangkut di cangkul itu tidak berarti apa-apa.
Keluarga panik
setangah mati. Para pelayat juga tak mengerti dengan kejadian janggal ini.
Beberapa pelayat lain pun mencoba turun tangan, mengayunkan cangkul dan
hasilnya tetap nihil. Lubang kubur itu tetap tak bisa ditimbun kembali dengan
tanah. Para pelayat menyerah, putus asa, dan angkat tangan.
“Pak Modin… (orang
yang biasa mengurus jenazah di kampung -red), ada apa denan tanah gundukan ini.
Kami sudah tidak sanggup mencangkul lagi,” ucap salah seorang pelayat, sambil
memandang ke arah pak modin.
“Ya, pak Modin!!! Ada
apa dengan semua kejanggalan ini. Padahal, tanah ini tadi bisa digali. Kenapa
kini, tanah ini tiba-tiba menjadi keras seperti batu?” kata yang lain.
Pak Modin Suraji (60
tahun) hanya mendesah. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tapi, jenazah
harus dikubur. Tanah galian itu haruslah ditimbunkan kembali ke liang kubur. Ia
berpikir sejenak, lalu melangkah mendekat ke liang kubur. Sejenak kemudian, dia
bercerita tentang kehidupan almarhum di masa lalu….
“Bapak-bapak yang
hadir di sini, mungkin ini kejadian aneh yang pernah kita temukan. Tapi di
balik semua ini, tentu ada hikmahnya. Mungkin ini balasan Allah terhadap
almarhum. Sebab semua yang ada di sini, saya yakin kenal dengan almarhum.” Pak
Modin Suraji berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan melanjutkan kata-katanya
kembali.
“Sebenarnya saya
tidak mau menceritakan tentang riwayat almarhum, tetapi saya tak bisa berbuat
lain lagi. Ini semua sudah menjadi takdirnya,” ujarnya di hadapan para
pelayat.“ Inilah bukti nyata di depan mata kita sebagai balasan dari pemimpin yang
lalim. Kita semua tahu almarhum adalah lurah di kampung ini, tapi dia bukannya
menjadi panutan malah menjadi orang yang kurang ajar. Ia itu suka mengambil
tanah anak yatim, diklaim sebagai tanah milik desa, lalu dijual. Alasannya
untuk pembangunan. Padahal, itu adalah untuk menumpuk kekayaan pribadinya.
Pemimpin kita ini rupanya juga tak mengindahkan larangan Allah. Ia berbuat zina
dan menggauli istri orang,’ lanjutnya mantap di depan para pelayat.
Para pelayat hanya
merunduk, menatap muka pak Modin Suraji. Sejenak kemudian pak Modin Suraji
melanjutkan kata-katanya, “Perlu diketahui, ia menjabat lurah puluhan tahun,
banyak sekali kecurangan telah dia lakukan. Banyak tanah yang tak ada
sertifikatnya diklaim miliknya. Bahkan ketika jadi lurah tahun 1970-an, ia
menang dengan cara yang curang. Suara calon lain dipindah ke milik dia..”
Para pelayat
menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan setumpuk kelakuan jahat dari
almarhum. Pak Modin Suraji menarik nafas panjang, kemudian meminta kerelaan
kepada para pelayat untuk memanjatkan doa. Hening seketika merangsek di
sela-sela daun kamboja. Senyap dan nyenyat terasa saat angin berhembus menghela
tubuh para pelayat.
Setelah doa
dipanjatkan, pak Modin memerintahkan kepada tiga orang, “Kini, ayo kita timbun
lagi liang kubur ini….” Tiga orang segera memegang cangkul dan mengayunkan alat
itu ke gundukan di kiri-kanan liang kubur. Di luar dugaan yang hadir di
pemakaman itu, ternyata tanah gundukan itu tidak lagi sekeras batu. Satu
cangkulan diayunkan, segumpal tanah sedikit demi sedikit menutupi liang kubur
itu dan akhirnya kubur Trusno tertutup dengan tanah.
Lalu, para pelayat
pulang, beriringan. Di dalam hati mereka, tersimpan catatan muram tentang
riwayat almarhum yang dulunya pernah menjadi pemimpin di kampung Semangka itu.
PELAJARAN DARI KISAH
INI
Kematian sudah cukup
menjadi nasehat bagi mereka yang hidup, demikian kata rasul. Tetapi kata-kata
rasul itu kerap tak diindahkan. Seakan kematian itu adalah tragedi biasa yang
tak perlu direnungi lagi. Karenanya, setelah kematian berlalu dan lewat,
kesedihan dan nasehat dari kematian tak lagi menyentuh hati. Padahal di balik
kematian, apalagi kematian yang janggal, kerap memiliki hikmah yang bisa
diambil sebagai pelajaran bagi mereka yang hidup. Seperti peristiwa keluarnya
nanah saat jenazah mau dimandikan. Juga, kesulitan warga menimbulkan kembali
tanah galian ke liang kubur.
Ada apa dengan semua
itu? Ada tiga pelajaran yang setidaknya bisa dipetik dari kisah di atas.
Pertama, pemimpin harus dipahami sebagai pemegang amanat, bukan pemegang kuasa
yang membuat kita lupa, lantas berbuat semaunya dan sewenang-wenang. "Hai
orang-orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (al-Maidah: 8)
Kedua, pemimpin harus memberi contoh baik dan melindungi warganya dari perbuatan zina. Eh, bukannya memberi contoh yang baik malahan dia sendiri berbuat zina. Padahal Allah sudah tegas melarang mendekati zina. Jangankan zina, mendekati saja sudah dilarang. Dalam al-Qur`an Allah berfirman “Janganlah kalian mendekati zina (Al-Isra': 32).
Kedua, pemimpin harus memberi contoh baik dan melindungi warganya dari perbuatan zina. Eh, bukannya memberi contoh yang baik malahan dia sendiri berbuat zina. Padahal Allah sudah tegas melarang mendekati zina. Jangankan zina, mendekati saja sudah dilarang. Dalam al-Qur`an Allah berfirman “Janganlah kalian mendekati zina (Al-Isra': 32).
Ketiga, Allah memerintahkan
kita tidak memakan harta anak yatim Tetapi, pemimpin ini bukannya menyantuni,
malah tega berbuat culas, merampas tanah anak yatim, lalu menjual dengan alasan
demi pembangunan. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara aniaya, mereka itu hanyalah memakan api ke dalam perut mereka, dan kelak
mereka akan dibakar di dalam neraka.” (An-Nisa`: 10). Karena itu, kejadian aneh
saat mata jenazah keluar nanah dan kesulitan para pelayat menimbun kuburannya
itu dianggap warga sebagai bukti akan kekuasaan Allah atas apa yang terjadi di
muka bumi ini. Wallahu a`lamu bish-shawaab.
_____________________________________
*) Cerita
ini dimuat di Majalah Hidayah edisi 58 mei 2008
No comments:
Post a Comment