1. PANDANGAN
IBNU TAIMIYAH DAN IBNUL QOYYIM AL-JAUZIYAH :
Ibnu Taimiyah mengatakan : "Mayit
dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat-ayat Al-Qur`an dari orang yang hidup.
Sebagaimana ia juga dapat mengambil manfaat dari pahala ibadah maliyah (ibadah
bersifat harta benda) seperti shadaqah, wakaf, dan sejenisnya yang pernah ia
lakukan selama masih hidup.
Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab
Ar-Ruh, pada prinsipnya orang yang sudah mati dapat mengambil manfaat dari
pahala amal shalih yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Hanya ahli
bid'ah dan sebagian teolog (mutakallimin) saja yang mengatakan tidak sampainya
hadiah pahala amal shalih dari orang yang hidup kepada mayit, termasuk juga
doa.
Ibnul Qayyim lebih lanjut mengatakan :
Amal shalih orang lain (masih hidup) yang pahalanya dapat diambil oleh mayit
dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk :
Kedua :
Amal yang dilakukan orang lain itu ada
kaitannya dengan usaha dan jasa dari mayit tersebut yang meliputi: shadaqah
jariyah (infaq), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh.
Rasulullah saw bersabda: "Jika
anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali
tiga perkara : 1) shadaqah jariah, 2) ilmu yang bermanfaat, dan 3) anak shalih
yang mendoakannya." (HR Muslim, dari Abu Hurairah).
Pahala
ketiga jenis amal tersebut secara otomatis sampai dan dapat diambil manfaatnya
oleh mayit yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama.
1). Shadaqah
jariyah adalah shadaqah yang bersifat "tahan lama" yang dapat
dimanfaatkan oleh orang lain dalam jangka waktu panjang, seperti mewakafkan
tanah, bangunan, buku-buku, dan barang apa saja yang manfaatnya jangka panjang,
untuk dijadikan sebagai sarana orang lain melakukan amal kebaikan pada umumnya.
Misalnya tanah atau bangunan untuk masjid, sekolah, pondok dan kegiatan sosial;
buku-buku keislaman untuk diambil ilmunya; dan sejenisnya. Selama sarana-sarana
tersebut masih dapat dimanfaatkan oleh orang lain, maka orang yang
mensedekahkannya akan menerima bagian pahala dari sejumlah orang yang
memanfaatkannya itu, sekalipun ia sudah meninggal dunia.
2). Ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu apa saja (ilmu agama dan ilmu umum) yang dapat
diambil manfaatnya oleh orang lain untuk kebaikan, baik ilmu itu disebarluaskan
melalui pengajaran, pengajian dan tulisan, maupun melalui prilaku baiknya atau
suri teladannya (uswatun hasanah), yang kemudian dicontoh oleh orang lain.
Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa melakukan kebiasaan yang baik dalam
Islam, maka ia memperoleh bagian pahala dari perilaku baiknya itu dan bagian
pahala dari orang-orang yang (meniru) melakukannya, tidak dikurangi sedikit
pun. Dan barangsiapa melakukan kebiasaan yang buruk dalam Islam, maka ia
memperoleh dosa dari perilaku buruknya itu dan menanggung dosanya orang-orang
yang (meniru) melakukannya, tidak dikurangi sedikit pun" (HR Muslim, dari
Jabir bin Abdullah).
3). Seorang
anak menjadi sholih tidak lepas dari usaha orang tua, baik dalam bentuk
bimbingan, pengarahan, pendidikan, doa, pemenuhan kebutuhan hidupnya, maupun pemenuhan sarana dan prasarana yang
lain. Maka setiap doa (ampunan dan kebaikan) yang diserukan oleh anak dapat
diambil manfaatnya oleh orang tua yang telah wafat. Demikian pula setiap amal
kebaikan yang dilakukan oleh anak-anaknya, maka orang tua pun akan mendapatkan
bagian pahalanya.
Kedua
:
Amal shalih yang dilakukan oleh orang
lain itu tidak ada kaitannya dengan usaha dan jasa dari mayit tersebut.
Misalnya doa (ampunan/kebaikan) kaum muslimin untuk mayit, pahala shadaqah,
puasa, haji, serta pahala amal kebagusan lainnya seperti pahala dari bacaan
Al-Qur'an, shalawat, "tahlil", dan dao-dzikir lainnya yang
dihadiahkan kepada si mayit.
1). Doa kaum muslimin.
Allah berfirman didalam QS Al-Hasyr : 10 yang artinya: "Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:
رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلاَ
تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ
رَئُـوْفٌ رَحِــيْمٌ
“Ya
Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang".
Rasulullah saw mengajarkan doa yang dibaca sewaktu
menshalati jenazah :
أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَـهُ وَ ارْحَمْـهُ وَعَافِهِ
وَاعْفُ عَنْهُ وَ أَكـْرِمْ نُـزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ
"Ya
Allah! Beri ampunan untuknya, rahmatilah ia, berilah ia 'afiyat, maafkanlah
dosanya, muliakanlah tempat tinggalnya (kuburannya) dan luaskanlah liang
kuburnya …" (HR Muslim, dari 'Auf bin Malik).
Rasulullah saw mengajarkan "salam" yang
diucapkan sewaktu memasuki area pekuburan kaum muslimin :
أَلسَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. وَ
إِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.
"Kesejahteraan semoga dilimpahkan Allah kepada
kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Dan kami
– Insya Allah – akan menyusul kalian". (HR Muslim, dari 'Aisyah ra)
2). Pahala shadaqah, puasa dan
haji.
Hadis dari Abdullah bin Abbas ra. Sewaktu ibunya Sa'ad
bin Ubadah wafat, ia tidak ada disampingnya. Ia lantas menemui Rasulullah saw
seraya berkata: "Ya Rasulullah! Ibuku wafat dan saat itu aku tidak ada
disampingnya. Apakah dia mendapatkan manfaat
sekiranya aku bershodaqoh atas namanya?". "Ya", jawab
beliau. (HR Bukhari)
Sahabat Buraidah ra meriwayatkan : sewaktu ia
duduk-duduk di samping Rasulullah saw, seorang wanita tiba-tiba menemui beliau
dan berkata, "Aku telah bershadaqah, yakni memerdekakan budak, atas
nama ibuku yg telah wafat". Komentar beliau: "Engaku pun
mendapatkan pahala dan warisannya juga engkau terima". Wanita itu
bertanya, "Dia juga punya tanggungan puasa sebulan. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?".
"Berpuasalah atas namanya", jawab beliau. Dia bertanya lagi,
"Dia belum sempat haji sama sekali. Apakah aku harus menunaikan haji
atas namanya?". Jawab beliau, "Tunaikan haji atas namanya".
(HR Muslim).
Hadis di atas sebagai salah satu dalil: (1) bolehnya
menshadaqahkan jamuan makanan-minuman dan "berkat" atas nama orang
yang telah wafat, diberikan kepada orang-orang yang menghadiri
"Tahlilan"; (2) keharusan mengqodho` puasa dan haji yang tidak sempat
dilakukan orang yang mati.
Kata Ibnu Qoyyim lagi : "Sebaik-baik pahala
yang dihadiahkan kepada
mayit adalah pahala shadaqah, istighfar,
mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala
bacaan ayat Al-Qur`an dan menghadiahkannya kepada mayit yang dilakukan secara
sukarela dan bukan karena dibayar, hal ini sampai kepadanya sebagaimana
sampainya pahala puasa dan haji kepadanya".
Ibnul Qayyim mengatakan di bagian lain dari kitabnya :
"Yang lebih utama ketika melakukannya (membaca Al-Qur`an), hendaknya
diniati agar pahalanya diberikan Allah kepada si mayit. Dalam hal ini, tidak
disyaratkan keharusan melafalkan niat.
2. PANDANGAN
ULAMA MADZHAB
Menurut madzhab syafi'iyah :
Sesungguhnya hadiah pahala shadaqah, secara kesepakatan ulama, dapat sampai
kepada mayyit. Khusus mengenai hadiah pahala bacaan ayat Al-Qur`an, Imam
Syafi'iy sendiri memiliki dua fatwa :
a) pahala
bacaan itu sampai kepada si mayit, dan
b) pahala
itu tidak sampai kepada si mayit. Namun menurut imam Bujairimiy, bahwa fatwa
imam Syafi'iy yang kedua tersebut tidak terpakai dalam madzhab Safi'iy. (Baca I'anatut
Tholibin juz 3, hal. 221). Dan menurut pendapat yang terpilih di
kalangan syafi'iyyah, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah
al-Minhaj, bahwa hadiah pahala bacaan
tersebut dapat sampai kepada si mayit.
Lebih lanjut syaikh Zainuddin al-Malibari dalam
kitabnya: Fathul Mu'in pada bab "wasiat"
mengatakan: "Fatwa imam Syaf'iy yang menyebutkan tidak sampainya hadiah
pahala bacaan ayat Al-Qur`an itu adalah jika :
a) tidak
dilakukan dihadapan mayat,
b) tidak
diniatkan/dihadiahkan untuk mayat,
c) Atau
sudah diniati untuk dihadiahkan, tetapi tidak dimintakan kepada Allah agar
disampaikan kepada mayat".
Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar
an-Nawawiyah pada halaman 147 mengatakan: "Imam Syafi'iy
dan sebagian besar sahabat beliau mengatakan : Sunnah membacakan sebagian ayat
Al-Qur`an di hadapan mayat. Kalau Al-Qur`an itu dibaca sampai khatam di
hadapannya, hal itu baik sekali".
Menurut madzhab malikiyah :
Tidak ada perselisihan pendapat dalam hal sampainya hadiah pahala shadaqah
kepada mayit. Yang masih diperselisihkan adalah tentang bolehnya menghadiahkan
pahala bacaan Qur`an dan bacaan dzikir lainnya kepada mayit. Namun pada
prinsipnya, madzhab ini tidak mengharamlkan, tapi sekedar memakruhkannya.
Pendapat ulama mutakhir : Boleh
menyampaikan atau menghadiahkan pahala bacaan ayat Al-Qur’an dan Bacaan Dzikir
lainnya, sebagaimana amaliyah yang sudah berjalan di tengah-tengah masyarakat kita
seperti tahlilan, dan pahalanya pun dapat sampai kepada si mayit. Ibnu Farhun
menukil suatu pendapat, bahwa pendapat tentang sampainya pahala bacaan inilah
yang terunggul.
Didalam
kitab Al-Majmu` yang ditulis oleh imam An-Nawawi disebutkan,
bahwa al-Qadhi Abu Ath-Thayyib pernah ditanya mengenai mengkhatamkan Al-Qur`an
di makam. Jawabnya : "Orang yang membacanya mendapatkan pahala. Sementara
mayat (yang ada di makam itu) seperti orang-orang yang hadir menyimak, dimana
ia berharap memperoleh rahmat dan keberkahan (dari bacaan Al-Qur`an). Atas
dasar ini, maka membaca Al-Qur`an di makam adalah mustahab (sunnah). Selain
itu, doa yang dibaca setelah membaca Al-Qur`an lebih mudah dikabulkan, dan doa
tersebut dapat bermanfaat bagi si mayit.
Imam
An-Nawawi didalam kitab Al-Adzkar menukil pendapat dari
sekelompok ashabus-syafi'iy, bahwa pahala bacaan dari ayat Al-Qur`an, doa-dzikir
dan sejenisnya, dapat sampai kepada si mayit, sama seperti pendapat yang
dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama` lainnya.
Didalam
kitab Al-Mizan al-Kubra yang ditulis oleh Imam Asy-Sya'rani
dijelaskan, bahwa perselisihan pendapat tentang sampai atau tidak sampainya hadiah pahala
bacaan memang cukup terkenal. Masing-masing kelompok memiliki dasar
sendiri-sendiri. Namun menurut madzhab Ahlissunnah Waljama’ah, bahwa seseorang
hendaklah menghadiahkan pahala amalnya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Al-Mizan al-Kubra pada
akhir pembahasan mengenai Jenazah).
______________________________
*) Sumber : Disarikan dari :
1). Buku "DZIKRUL MAUT, mengintai
perjalanan ruh orang mati", tulisan Achmad Suchaimi, dengan Kata
Pengantar (Taqdim) oleh KH A. Mustofa Bisri, penerbit RoudhoH - Surabaya, cet.
1 - Mei 2004.
2). Kitab “AR-RUH”, tulisan Ibnu Qoyyim
Al-Jauzi
No comments:
Post a Comment