Wednesday 20 December 2017

Bersama Neng Muti'ah - [Indahnya Wafat di Tanah Suci 4)



Oleh H. Chotib Hambari



Berita Duka.

Ku mulai hariku saat itu,  Senin 13 Oktober 2014, dengan rutinitas seperti biasa, berjama’ah sholat Subuh di musholla dekat rumah, lalu usai sholat kulakukan kegiatan-kegiatan ringan, karena hari itu aku harus persiapkan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan penyambutan kedatangan Emak, Neng, Cak Emi dan Ibu Mertuaku dari tanah suci. Sebulan lebih aku berpisah dari mereka. Rasa kangen dan rindu begitu menggelora dalam jiwaku hingga merasuki setiap nadi pembulu darahku. Tak kujumpai sama sekali peristiwa-peristiwa yang aneh di hari itu. Semua berjalan sesuai dengan apa yang telah ku rencanakan. Sejenak wajah-wajah mereka yang letih berbaur dengan suka cita terbayang dalam mata hatiku. Tanpa terasa jarum jam dinding terus berputar pelan tapi pasti, jarum pendek mendekati angka 2 sedang yang panjang berada di antara angka 10 dan 11. Ku dengar bunyi pesan BBM dari HP yang dari  tadi ada dalam genggamanku. Dari pojok layar tertulis bahwa pesan itu dikirim oleh Om ku Jimmy yang juga berada di tanah suci. Teks BBMnya tertulis : Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Om Jimmy
Akupun tak mengindahkan pesan BBM itu, karena aku masih sibuk membantu mekanis antena tv untuk memasang saluran tv cable di rumah emakku. Ku anggap pesan itu adalah pesan yang kadaluarsa, karena berita kematian famili emakku yang kukirim ke Om ku minggu lalu, baru terbalas hari itu. Namun sebagai manusia yang selalu ingin tahu, ku buka pesan tersebut. Saat hendak ku buka, baru lah terbersit pikiran-pikiran Tanya: “ojok-ojok emak” (jangan2 emak), karena kondisi emak yang sakit dan seringkali drop akibat diabetesnya. Maka ketika ku buka pesan itu dan ku baca kata demi kata, akupun diam sesaat. Ku baca lagi dan ku baca lagi, tapi tulisan itu tidak berubah sama sekali, malah mendorong linangan air mata di pipi bahkan mengganjal jalan pernafasanku. Bergegas aku berlari ke kamar, ku peluk adikku, Badi’ah sambil berucap dengan lirih kalimat: “Neng dik, Neng dik, Neng dik!!!”.

Neng opo’o Mas?Neng opo’o?” (Neng kenapa mas? Neng kenapa?). Mulutku saat itu serasa terkunci dan sama sekali tak mampu tuk menuturkan berita itu, hanya suara tangisan lirih dan linangan air mata tiada henti membasahi pipi ini. Ku tunjukkan HP ku agar I’ah bisa baca sendiri berita itu. Di saat yang bersamaan, HP tiada henti berbunyi, pesan demi pesan saling berebutan masuk ke dalam HP ku, utamanya dari adikku yang jauh di Kairo sana: “Ada berita apa mas, kok Om Sam ngirim pesan yang di awali dengan kalimat  ‘innaa lillaah.....’ aku gak mau buka pesan itu mas”. Begitulah ucap adikku dalam pesan BBM-nya, maka ku balas pesan tersebut dengan singkat “Neng dik...!!!” Berita kematian Neng begitu cepat menyebar seiring dengan hembusan angin siang dalam cuaca kemarau panas yang tak tertahankan, berita duka itu menggegerkan seluruh santri dan walinya.

Hujan air mata dari para santri yang sedang belajar mengeja huruf hijaiyyah dan belajar membaca Al Qur’an, diikuti dengan tangisan air mata para wali santri yang mengiringi anak-anak mereka di kemarau siang itu, membanjiri kelas-kelas yang ada di pondok Roudloh. Bahkan sebagian dari para Ustadzah pingsan tak sadarkan diri karenanya. Sebuah berita duka yang begitu mengejutkan dan tak pernah terbayangkan. Otakku pun dijejali dengan berbagai macam pikiran-pikiran yang begitu menggelisahkan, baik dari kiprah Neng di keluarga, di pondok dan di masyarakat sekitar, utamanya berkenaan dengan putri semata wayang Neng, Thebba Elvana yang begitu polos dan interaksinya begitu dekat dengan Neng. Memori otakku pun bekerja dengan begitu cepatnya untuk merewind kenangan suka dan duka bersama Neng-ku yang begitu polos, penyabar dan ringan tangan dalam memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkannya.

Majlis Tahlilan

Neng Muti’ah Hambari yang lahir pada tanggal 1 september 1970 adalah anak tertua dari pasangan Abahku, Muhammad Bashori dan emakku, Mushollachah yang dikarunia 6 orang anak: 3 perempuan dan 3 lelaki. Sedang aku adalah anak yang ke-2, adik dari Neng Muti’ah. Kami berenam hidup dalam aturan disiplin ketat yang diterapkan oleh abah dan emak dalam keluarganya. Di masa SD-nya, Neng selalu berpacu prestasi intra kurikuler denganku, meski Neng berada 2 tingkat di atasku, tapi saat itu prestasi Neng selalu di bawahku. Meski begitu, istiqomahnya begitu menakjubkan, hingga prestasiku pun jauh tertinggal saat duduk di bangku SMP. Neng yang alumnus SMP Khadijah Surabaya melanjutkan jenjang SMA-nya di MAN 2 Jogjakarta, sambil mondok di pesantren Al-Munawwir, asuhan (alm) KH Ali Ma’shum.


Di sana Abah sempat menitipkan Neng kepada salah seorang murid Abah yang saat itu sudah menjadi senior di lingkup pesantren untuk dibimbing dan dibina sebaik mungkin. Lelaki itu tak lain adalah lelaki yang menikahinya pada tahun 1995 yang lalu. Meski kala itu tak terbersit sedikitpun dalam benak kami semua. Bahwa kelak lelaki itu akan menjadi suami Neng, menantu Abah dan Emak, serta kakak ipar kami.

Subhaanallah... tamat dari MAN 2 Jogjakarta, Neng melanjutkan studinya di perguruan tinggi swasta UBAYA Surabaya.  Farmasi adalah fakultas yang diambil, sebuah jurusan yang tak diduga telah mengantarkan Neng menjadi sosok yang berdaya guna tinggi di tengah-tengah masyarakat dalam bidang kesehatan. Meski saat memilih jurusan itu, ada komentar-komentar “miring” berkenaan dengan kegunaan jurusan tersebut untuk da’wah islamiyah. Sang komentator mengira bahwa jurusan Farmasi tersebut kurang begitu manfaat. Tapi Alhamdulillah tidak demikian adanya, karena  kita bisa berdakwah sesuai dengan bidang kita masing-masing.
Lulus dari Farmasi, Neng melanjutkan pendidikan profesinya dan berhasil menyandang gelar Apoteker. Dari situlah kiprah Neng dalam bidang obat-obatan mulai terlihat.

***********

Cak Emi, lelaki yang menikahi Neng, demikian dia biasa disapa oleh para koleganya, begitu juga dengan cara Neng menyapanya. Bahkan panggilan Cak Emi begitu familiar bagi Neng, hingga panggilan itu terbawa sampai Cak Emi menjadi suaminya, tak ubahnya seperti emak yang selalu menyapa abah dengan Cak Mat, sama sekali tak terbersit di benak Neng tuk merubah panggilan atas suaminya dengan Mas Emi, Ayang Emi, apalagi Papa Emi. Berbeda dengan 2 adik perempuannya yang sudah menyapa suaminya dengan awalan “Mas”.  Mungkin Neng gak mau rasa sayang kepada suaminya fluktuatif seperti harga “mas” di pasar international. Dia mau sayangnya istiomah seperti Emak kepada Abah.

Kolaborasi antara Neng dan Cak Emi dalam membina rumah tangga begitu sejuk dan menenangkan, bak angin dingin yang berhembus halus di alam pegunungan tropis.  Jarang sekali ku jumpai erupsi-erupsi panas sepanas erupsi gunung Sinabung yang tiada henti mengeluarkan awan panas. Cak Emi begiti sabar dan mengerti dengan kondisi Neng yang begitu polos dalam bidang apapun. Di bidang fashion, Neng begitu polos. sederhana dan apa adanya. Konsep polos apa adanya itupun diterapkan baik kepada Cak Emi maupun Thebba Elvana, anaknya. Seperti adanya peristiwa baju dinas yang batal dicuci meski sudah masuk ke dalam bak pencucian, karena seragam itu harus digunakan pada hari itu, maka dengan santainya pula Cak Emi memakai baju tersebut sambil berjalan turun dari lantai 2 dengan bibir yang menggapit rokok SIN kegemarannya. “Aliran” polos apa adanya Neng berimbas pula pada anak semata wayangnya, Thebba. Neng memanfaatkan sarung-sarung dari kondangan yang memang menumpuk di rumah. Neng menyulap kain-kain sarung tersebut menjadi celana serba guna: guna tuk celana bermain, guna tuk celana tidur, bahkan guna tuk celana wisata. Dengan kesederhanaan Neng yang begitu menakjubkan, disertai dengan sumber penghasilan, baik dari Cak Emi maupun dirinya sendiri, tanah kavling mampu mereka beli.

Usai Resepsi pernikahan Neng dan Cak Emi yang berlangsung dengan sederhana tapi hikmat, Neng diboyong oleh suaminya yang saat itu bertugas sebagai guru PNS di kota Gudeg. Di sana mereka berdua mengontrak rumah mungil sederhana beralaskan semen  tanpa keramik. Beberapa tahun kemudian Cak Emi bermutasi dari Jogja menuju ke Gresik. Keakraban dan kedekatan kami pun semakin terbangun dengan baik.  Dari situlah aku baru tahu  bahwa Cak Emi adalah seorang suami yang ruaar biasa kesibukannya, tak kenal letih ataupun lelah. Jika diibaratkan mesin mobil, mk Cak Emi laksana mesin diesel heavy duty yang dibekali dengan 200 tenaga kuda.

5 tahun kemudian Neng dikaruniai seorang anak perempuan yang saat lahir dibutuhkan perawatan khusus bagi sang anak, karena adanya sedikit problema medis yang ada pada anak tersebut. Sejak itulah babak baru dalam kehidupan Neng dimulai. Sepulang dari rumah sakit, Neng dan Cak Emi begitu sabar dan telaten dalam merawat buah hati satu-satunya yang diberi nama Thebba Elvana.
*************

Kesederhanaan itu tak menghalangi jiwa sosial Neng dalam memberikan bantuan kepada siapapun, baik bantuan materi maupun tenaga, lebih-lebih bantuan berupa pinjaman jangka panjang karena dibayar nunggu warisan, dan bisa jadi tanpa bayar kepada adik-adik kesayangannya.

Jiwa sosialnya tercermin dalam kegemarannya tuk berbagi rizki berupa banca’an dan angpau-angpau yang dibagikannya di momen-momen hari besar Islam. Jiwa sosialnya juga merasuk dan terlihat pada praktek profesinya sebagai seorang apoteker yang berwawasan social oriented. Dia membantu banyak warga dengan obat-obatan yang murah meriah, bahkan, ada istilah buy back return atau membeli kembali obat dari pasien yang sudah sembuh meski dengan nominal di bawah Rp. 10.000. “Sakno Tib, duit segitu bagi wong-wong itu sangat berharga”. Demikian nasihatnya kepadaku. Bahkan kami saudara-saudaranya seringkali mendapatkan obat secara gratis darinya, sampai pada suatu ketika, obat gratis yang diberikan Neng untuk anakku gak berpengaruh apa-apa. Maka kusampaikan kepada Neng: “Kayaknya aku gak boleh menerima gratisan dari pean Neng”. Candaku saat itu.

Keajaiban dan keberkahan finansial kolaborasi Neng dan Cak Emi semakin nampak saat Neng menyunting mobil Toyota Kijang Innova Diesel Type G dari dealer Toyota Arina Veteran Gresik. Rumus matematika baik Aljabar, Geometri maupun Aritmatika sudah tak dapat ku gunakan lagi, karena di saat yang bersamaan Neng dan Cak Emi juga harus melunasi ONH-nya.

“Aliran” apa adanya juga diterapkan Neng dalam aspek kuliner. Bagi Neng pribadi, bahkan Cak Emi atau Thebba, makan dengan lauk kerupuk dan kecap adalah hal yang biasa. Menu andalannya adalah tongkol bumbu rica-rica ala Neng Muti’ah, Sebuah menu sederhana dan tak membutuhkan banyak bumbu seperti gule atau krengsengan. Menu itu juga sangat disukai oleh suaminya. Pernah suatu hari ku mencobanya, ternyata mantaaap. Bakso kanji, martabak dan empek-empek mengembang (bukan Palembang) juga menjadi kreasi kuliner andalannya. Setiap kali kubawa makanan itu ke GKB, anak-anakku dengan suka cita menyantapnya. Namun kepolosan tersebut terkadang juga menimbulkan tiga tragedi lucu yang menimpa suami Neng, Cak Emi. Yaitu: tragedi kopi pedas, tragedi kopi seduh air hangat-hangat kuku, dan tragedi kopi rasa vanila. Atas tragedi-tragedi tersebut, Cak Emi dengan senyum khasnya berujar kepada Nengmene ojok ngono mane, Tik! hehehe” tanpa terbersit sedikitpun rasa kemarahan pada wajahnya.
**************

Kesederhanaan pendidikan dan berjiwa sosial. Sebagai Ibu dari Thebba, dia didik dan ajari Thebba langsung tanpa harus repot menyediakan budenganet untuk les private seperti ibu-ibu di zaman modern ini. Dia persilahkan teman-temen anaknya untuk bersama-sama belajar kelompok di bawah pengawasannya, tanpa memungut biaya sepeserpun dari para wali anak-anak tersebut. 5 tahun lebih kelompok belajar tersebut diasuhnya. Diasuhnya anak-anak tersebut dengan tulus dan istiqomah. Sebuah kebaikan dalam skala mikro yang jarang diperhatikan oleh orang-orang karena kesibukannya. Neng juga aktif mengajar di pondok Roudloh, kreasi-kreasi pementasan anak-anak didiknya di pentas akhirussanah juga begitu atraktif.

Di tempat tinggalnya yang baru, tepatnya di Jl. Jaksa Agung Suprapto 5c/7 Sidokumpul Gresik, tanpa sengaja Neng dipercaya memimpin alamiyah yasinan dan tahlilan ibu-ibu. Di sela kegiatannya itu, dia juga berusaha membantu orang-orang sekitar dengan info obat-obatan yang diketahuinya selaku Apoteker. Rutinitas Neng dalam mobilisasinya saat itu ditunjang fasilitas transportasi yang minim.

**************
Mbandriek. Itulah istilah yang dikenal di kalangan tukang ojek motor yang berpenumpang lebih dari satu, dan itulah yang terjadi pada Neng, Cak Emi dan Theba. Tanpa rasa risih dan malu, mereka bertiga mbandriek kemana-mana dengan sepeda motor honda vario, atau honda GL Max yang dihadiahkan oleh emak untuk mereka. Memang dalam keluarga Hambari, jatah awal bagi setiap anak yang sudah menikah adalah satu unit sepeda motor. Aktifitas mbandriek bagi Neng dan Cak Emi adalah hal yang biasa, tapi bagi emak adalah hal yang memprihatinkan.

Seiring dengan berkembangnya situasi dan kondisi, maka emakpun mengeluarkan kebijakan baru, dengan mengucurkan dana dalam jumlah dan waktu tertentu bagi setiap anak untuk pembelian kendaraan roda empat. Dalam agenda yang tak tertulis, dana untuk Ning akan dicairkan pada pertengahan tahun 2015. Namun tanpa kuduga, Neng memiliki dana talangan pribadi untuk pembelian mobil yang diidamkannya. Maka digunakanlah dana tersebut untuk meminang satu unit innova diesel type G terbaru. Sebuah keberkahan dan keajaiban yang jauh dari estimasi rumus matematika. Tekad bulat Neng dan Cak Emi tuk menghilangkan budaya mbandriek telah di-acc oleh rabbul alamiin.

Tekad bulat Cak Emi tuk bisa mengendarai mobil tersebut, agar bisa berpergian dan berwisata dengan Neng dan anak semata wayangnya, Thebba, membuat Neng tak malu-malu tuk memposisikan dirinya sebagai kenek (co driver) bagi Cak Emi ketika menghadapi medan jalan yang sempit. Subhanallah, Neng bukan hanya kenek dalam bahtera rumah tangga yang dikapteni Cak Emi, tapi kenek dalam semua persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Cak Emi dalam setiap aspek kehidupan Cak Emi.

Mobilisasi Cak Emi dengan motor yang begitu intens membuat Neng sedikit memaksa Cak Emi tuk bisa mengemudi mobil yang telah disuntingnya, hingga Cak Emi bisa bermobilisasi dengan mobil tersebut. Paksaan itu timbul tidak lain karena rasa ngeman Neng terhadap Cak Emi yang begitu tinggi, “Aku sakno karo Cak Emi... wis towok soro, tib nangdi2 sepeda-an”, sebuah perpaduan pasangan yang begitu proporsional.

Cak Emi dengan sikap tawadlu’nya sama sekali tak menyalahgunakan kepolosan Neng untuk hal-hal yang negatif, sebaliknya Neng berusaha dengan keras dan sungguh-sungguh tuk ngeman Cak Emi, suaminya seoptimal mungkin, dengan memaksa mobilitas Cak Emi dari bersepeda menjadi bermobil. Sejak dibelinya 12 bulan yang lalu, 8 bulan mobil itu vacum, bahkan emak menyebut mobil itu “masuk angin” karena cover penutupnya jarang dibuka. Juga sejak 3 bulan yang lalu Cak Emi sudah bisa mengemudikan mobil itu sendiri. Pada bulan Ramadhan kemarin Dia telah wujudkan impian Ning tuk pergi semobil dengan suami dan anak semata wayangnya yang tentunya dikemudikan oleh suami tersayangnya, Cak Emi.

Dua Gus : Gus Nidhom & Gus Kelik

Mendekati bulan haji, mobilisasi Cak Emi semakin tinggi, sebab selain dia dan Neng hendak berhaji, Cak Emi juga dipercaya memimpin KBIH Al-Madani yang dikomandani oleh Gus Nidhom. Neng pun tak tinggal diam, dia bantu suaminya semaksimal mungkin dari persiapan-persiapan catering tuk manasik haji dll. Neng bersyukur karena mobilisasi Cak Emi ditunjang dengan mobil yang mereka miliki. Dalam rentan waktu 2 bulan tersebut, ada beberapa hari yang Ning dan Cak Emi gunakan pergi bersama-sama dengan Thebba, anaknya.

Pada suatu pagi, Sabtu 6 September 2014, saya mengantar Neng dan Cak Emi ke Pemda Gresik untuk keberangkatan hajinya. Neng dan Cak Emi duduk di bangku tengah laksana pengantin baru, sedang Thebba duduk di bangku depan mendampingiku sambil tiada henti dia tirukan lirik-lirik lagu Maher Zein dari kepingan CD yang lagi diputar. Tak terbayang sedikitpun dalam hati saya, bahwa itulah pertemuan terakhirku dengan Neng yang diam-diam aku begitu mengaguminya.


Penutup

Kutulis penutup dari kesan-kesanku ini dengan linangan air mata yang tak dapat kuhentikan, karena sebuah kerinduan akan canda tawa yang selama ini ku perbuat bersama Neng. Juga penyesalan yang tak terukur atas sikapku yang tak terpuji kepada Neng. Sebagai tamuNya, Dia tak perkenankan Neng tuk pamit pulang. Malah Dia ajak Neng tuk menghadap kepadaNya. Semoga Dia berikan maqoman mahmuda di sisiNya.

Berdoa sambil merangkul Ka'bah di bawah Talang emas Hijir Ismail

Selamat Jalan Ning! Berbahagaialah Sampeyan! Karena Rasa Kangen Pean Dengan Abah Telah Terobati


No comments:

Post a Comment