Wednesday 20 December 2017

Sepintas Rekam Jejak Kehidupan Hj. Muti'ah - [Indahnya Wafat Di Tanah Haram 3]. -



Mengenang 40 Hari Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.

[*Lahir di Surabaya: 01-09-1970           * Wafat di Makkah: 13-10-2014]





SEPINTAS KILAS
REKAMAN PERJALANAN HIDUP Hj. MUTI’AH HAMBARI

Oleh : Achmad Suchaimi


Hj. Muti’ah Hambari, S.Si, Apt merupakan anak pertama dari pasangan KH Muhammad Basori Mansur dan Hj. Mushollachah, yang sempat dikandung dalam perut sang ibu sewaktu menunaikan ibadah haji di Tanahsuci Makkah pada akhir tahun 1969-an, lalu lahir di Surabaya pada 1 September 1970, kemudian dikersaaken wafat dan dikubur di Tanahsuci Makkah pada hari Senin, 13 Oktober 2014 M / 17 Dzulhijjah 1435 H.

Pendidikan Hj. Muti’ah dimulai dari sekolah TK dan SD Mursyidah di Tambak Osowilangun Surabaya (1974-1983); SMP putri Perguruan Khadijah Surabaya (1983-1985); MAN II Yogyakarta sambil nyantri di Pondok Krapyak Yogyakarta (1985-1988); melanjutkan kuliah S1 di fakultas Farmasi UBAYA (Universitas Surabaya) lulus tahun 1996; dan pendidikan profesi Apoteker dirampungkannya pada tahun 1998.


Berpindah-pindah Tempat Tinggal

Masa-masa Balita Hj. Muti’ah dihabiskan di rumah neneknya, Mak Seh (Hj. Sehah Mamlu’ah) dan buyutnya, De Mun (Hj. Muntamah), bahkan menjadi cicit kesayangan dari buyutnya itu. Sampai-sampai kenangan manis hidup bersamanya terus teringat hingga dewasa dan kerap kali terungkap di tengah obrolan bersama keluarga-sanak-saudara-teman. Subhanalloh, sebegitu kuat hubungan batin dengan buyutnya, sehari menjelang wafatnya (malam Ahad, 12 Oktober 2014) beliau bersikeras melakukan ‘Umroh sunnah terakhir bersama suami, cak Sudin dan mBak Anik, yang diatasnamakan buyutnya itu, sebagai bentuk ungkapan rasa rindu dan tasyakkur atas kebaikan dan kasih sayangnya.

Ketika bersekolah di SD Mursyidah Tambos dan SMP Khodijah Surabaya,  Hj. Muti’ah hidup bersama orang tua di Tambak Osowilangun. Pulang dari sekolah ikut membantu ibunya meringankan beban ekonomi keluarga,  dodolan bakso & pentol kanji. Sore harinya ikut ngaji ke abahnya bersama-sama dengan santri-santri lainnya di pondok RTI.

Selepas dari SMP Khadijah Surabaya (1985), Hj. Muti’ah dipondokkan ke P.P. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta yang diasuh oleh KH Ali Maksum,  bersama 4 orang teman sealumni RTI: Masbachah, Nurlaila, Neng Isa dan Neng Ida Amang. Kelima santri baru ini ditempatkan di rumah Bu Nyai Badriyah Munawwir, mengingat saat itu belum ada komplek putri di lingkungan ndalem KH Ali Maksum, selain komplek putri Nurussalam yang diasuh oleh KH Dalhar Munawwir. Di rumah ini mereka mengaji bacaan Al-Qur’an yang bersanad langsung dari mBah Munawwir sampai ke Rosululloh, kepada Bu Nyai Badriyah Munawwir.

Selain mengaji Al-Qur’an, mereka melanjutkan pendidikan formalnya :  Almh. Hj. Muti’ah dan neng Isa di MAN 2 Yogyakarta yang berlokasi di jantung kota Yogya Jl. KH.A. Dahlan (+ 5 km dari pesantren), sedangkan yang lain di MTs Putri pesantren yang baru didirikan setahun sebelumnya.

Cikal Bakal Berdirinya Komplek Putri. Termotivasi oleh keberadaan kelima santri putri (Muti’ah, dkk) dari “Sememi” Tambos yang tinggal di rumah Bu Badriyah inilah yang menyebabkan K.H. Ali Maksum membangun “Komplek Putri” di  sebelah rumahnya, disamping karena alasan besarnya animo masyarakat yang ingin memondokkan & mensekolahkan putrinya di MTs putri & MA putri. Setahun berikutnya, Muti’ah dkk pindah tempat ke Komplek baru tersebut, sambil tetap mengaji Al-Qur’an ke Bu Nyai Badriyah. Dan sampai sekarang, Muti’ah dkk dikenang oleh keluarga ndalem pesantren sebagai Cikal Bakal berdirinya “Komplek Putri” yang saat ini mengalami perkembangan cukup pesat, baik dari segi bangunan, maupun banyaknya jumlah santri yang tinggal.


Bersama Bunyai Hj. Lutfiyah Jirjis Ali

Pada tahun 1988, Muti’ah berpindah dari pesantren ke rumah kost di Jl. KH.A. Dahlan, untuk mendekati sekolahnya,  sekaligus fokus menghadapi ujian akhir di MAN 2 Yk. Seusai kelulusannya, Muti’ah melanjutkan kuliyahnya di fak. Farmasi UBAYA Surabaya, tinggal di rumah kost sekitar kampus dan pernah beberapa saat di rumah pak uwaknya (mBak Suryani)di Jl. Semarang, sampai menikah. 

Pernikahan. Hj. Muti’ah, S.Si, Apt menikah dengan Drs. H. Achmad Suchaimi, S.S., M.A pada hari Kamis, 24 Agustus 1995 M, bertepatan dengan 27 Robiul Awal 1416 H. Dua minggu seusai resepsi, beliau hidup dan tinggal di dusun Krapyak Kulon yang bersebelahan dengan Pondok Krapyak  Yogyakarta (1995 s.d. 1999) untuk mengikuti domisili suami yang menjadi PNS di SMPN 2 Sewon Bantul dan juga  mengajar di MTs & MA Yasalma P.P. Krapyak, sambil bolak-balik Yogyakarta - Surabaya untuk menyelesaikan Pendidikan S1-nya (lulus 1996) dan Pendidikan Profesi Apotekernya (lulus 1998) di UBAYA.  Setahun tinggal dan hidup bersama-sama dengan keluarga mBak Darmo di Rt 03/RW01 Krapyak Kulon, kemudian ngontrak rumah di RW 03 Krapyak Kulon sampai sang suami berhasil mengajukan mutasi ke SMPN 1 Cerme Gresik pada bulan September 1999.

Setelah 5 tahun hidup berkeluarga, akhirnya Alloh berkenan menganugerahi seorang putri semata wayangnya, Thebba Elvana, yang lahir di Gresik pada hari Selasa, 7 Maret 2000.

Hidup dan tinggal untuk yang kedua kalinya di Yogyakarta tidak asing lagi bagi Muti’ah. Dengan bermodalkan kepribadian yang menawan : tawadhu’, tidak sombong, sumeh, supel (grapyak), murah senyum,  semanak, senang silaturrahim, ramah, sederhana, bersahaja, polos & apa adanya, nyedulur, santun, ringan tangan membantu, loman, sabar, dll. Hj. Muti’ah cepat bergaul akrab dan mendapatkan sambutan yang hangat di berbagai kalangan, baik kalangan keluarga besar pesantren Krapyak maupun masyarakat pada umumnya.   Teman-teman lama semasa sekolah di MAN 2 dan nyantri di pesantren  pada 7 tahun sebelumnya disambung kembali dan semakin akrab, bahkan seperti “saudara” sendiri. Begitu pula dengan masyarakat kampung, sesama anggota Dharma Wanita tempat suaminya bekerja, dan keluarga ndalem pesantren.


Bersama KH Abdul Majid Hasyim, di Hotel Madinah
Meskipun sejak tahun 1999 kami berdua tidak lagi tinggal  di sana dan sudah menetap di  Surabaya, namun “perseduluran” kami dengan mereka tetap terpelihara dengan baik melalui kontak telpon, facebook dan saling shilaturrahim, kami berdua yang berkunjung ke Yogya atau mereka yang berkunjung ke Surabaya. Tidak ketinggalan sewaktu beribadah haji 2014 ini, kami berdua dan teman-teman Jogya yang kebetulan sama-sama beribadah haji, saling berkunjung ke Maktab masing-masing di Tanah Haram, seperti H. Imam Chanafi, cak H. Abdul Majid dan istri, H. Muklas Abdullah, KH Asyhari Abta, dll.


Sowan ke KH Asyhari Abta di Maktab F-10 Rayzhahir Makkah
 Oleh karena saking eratnya persahabatan dan perseduluran ini, mereka seolah tak percaya, terperangah, kaget, getun, dan merasa kehilangan “dulur” begitu mereka mendengar kabar wafatnya Hj. Muti’ah secara mendadak di Tanah Suci Makkah. Ungkapan belasungakwa,  kalimat tarji’ dan kiriman doa terus mengalir. Informasi dari sahabat Ahmad Nasir,  kontan seluruh jama’ah yang mengikuti “Jam’iyyah sholawat Bil-Mushtofa” rutin malam kamis yang dikomandani Gus Kelik (: KH M. Rifqi, putra KH Ali Maksum) diajak bertahlilan dan kirim doa untuk Almarhumah di pesantren Krapyak.

Jam'iyah Diba'iyah Bil Musthofa-nya Gus Kelik

Sejak tahun 1999, saya dan Muti’ah hidup dan tinggal serumah dengan orang tua di Tambak Osowilangun 70 Surabaya. Tahun 2009, saya dan Muti’ah  mulai menempati rumah pemberian orang tuanya di Jl. Jaksa Agung Suprapto 5c/7 Sidokumpul Gresik yang cukup lama dikosongkan. Hanya saja rumah ini secara rutin ditempati setiap malam Jum’at sampai Sabtu pagi, selebihnya saya tempati di siang hari sepulang dari kerja sampai ba’da maghrib. Sekalipun demikian, interaksi dan aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat tetap berjalan secara baik.  Almarhumah setiap malam jum’at aktif mengikuti Jam’iyah Amaliyah Yasin-Tahlil ibu-ibu  RT 01/RW 05, dan bahkan sering ditunjuk untuk menjadi imamnya hingga akhir hayatnya, sedangkan saya sendiri diharapkan ikut membantu Takmir Masjid Rahmat.  


Meneruskan Perjuangan Abah

Di sela-sela kewajiban mengurusi anak, suami, ibunya dan pekerjaan lainnya, beliau mewakafkan diri mulang ngaji, terutama pengenalan huruf Al-Qur’an dan pelajaran diniyah (tauhid, akhlak, ibadah/fiqih) kepada para santri kecil setiap jam 14:00 sampai jam 17:00 selama 5 hari dalam seminggunya di Lembaga Pendidikan Islam RTI (Roudlotut Tholibin Islamiyah), yang ditinggalkan Abahnya, almarhaum KH Muhammad Basori Mansur, sebagai bentuk dari birrul walidain, sekaligus rasa tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan dakwah abahnya. 


KH Muhammad Basori Mansur

Sebagaimana Abahnya, beliau cukup kreatif, inovatif dan variatif dalam menerapkan metode pengajaran, sehingga sangat membantu para santri kecil dalam memahami dan menerima materi yang disampaikannya. Misalnya pengenalan huruf hijaiyah dengan gambar-gambar, pemahaman materi pokok melalui lagu/nyanyian, hafalan ayat/surat pendek dan doa’-do’a penting lainnya, dll.


Bakti dan Ketaatan Pada Ibu

Almarhumah Hj. Muti’ah sejak dari masa kecil, dewasa, hidup berkeluarga, hingga akhir hayatnya sangat berbakti, taat dan ringan tangan membantu orang tua, mulai dari urusan pekerjaan dapur, merawat kesehatan, menemaninya pergi (belanja, control ke dokter, dll), mengirimkan paket dan transfer uang lewat pos/bank ke saudaranya di luar kota, dan lain-lain, meskipun beliau sendiri juga harus memenuhi kewajibannya terhadap hak-hak dirinya, anaknya dan suaminya.

Beliau lebih memilih tinggal serumah dengan sang ibu daripada di rumah sendiri, agar lebih bisa berkesempatan untuk birrul walidain. Terutama sekali ketika menjalankan ibadah haji bersama sang suami dan sang ibu, beliau sangat nampak lebih memperhatikan urusan sang ibu daripada urusan pribadi dan suaminya : merawat kesehatan, mendampingi dan mendorong kursi roda sewaktu beribadah ke Masjidil Haram dan Masjidi  Nabawi, menyiapkan keperluan harian dan urusan-urusan lainnya.

Bersama Pak Qosim, Wabub Gresik di Asrama Haji Sukolilo


Perhatian dan Ketaatan Pada Suami.

Selama hidup berumah tangga, Hj. Muti’ah sangat perhatian dan taat kepada suami, mampu memahami jalan pikirannya,  dan tidak banyak tuntutan ini dan itu. Kesan terakhir sewaktu menjalankan ibadah haji, selain menyiapkan kebutuhan rutin harian suami seperti menyiapkan makanan, minuman, mencuci pakaian dan obatan-obatan, sebagaimana yang dilakukannya sehari-hari di rumah, almahrumah sangat perhatian dan justru mengkhawatirkan kesehatan saya yang sedang terganggu akibat cuaca dan udara tanah suci yang kurang bersahabat (panas & berdebu) dan kepegelen di tengah-tengah puncak pelaksanaan ibadah haji (Armina: Arafah-Musdalifah-Mina) yang banyak membutuhkan kekuatan fisik, sementara kesehatannya sendiri kurang diperhatikan.

Ketika saya ingatkan untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin selama berhaji yang kedua ini, agar lebih difokuskan pada berbagai bentuk aktifitas pribadatan khas tanah haram yang tidak dijumpai di Indonesia  -seperti umroh, thawaf; mencium & mengusap Hajar Aswad; shalat sunnah di belakang Maqom Ibrahim; berdoa di Hijir Ismail, multazam, depan pintu Ka’bah, dan tempat-tempat mustajabah lainnya di Masjidil haram; berdoa sambil memeluk Ka’bah (: menempelkan dada, kedua tangan & pipi kanan ke dinding Ka’bah); melakukan shalat fardhu berjamaah, berbagai shalat sunnah, qiyamullail, I’tikaf, membaca Al-Qur’an & berdzikir, yang semuanya dilakukan di depan atau sambil mamandang Ka’bah; serta memperbanyak shodaqah, birrul walidain dan beramal sholeh lainnya selama di Tanah Haram. Semuanya itu disambutnya dengan antusias dan penuh penghayatan, apalagi dia sendiri merasa getun dengan pelaksanaan ibadah haji yang pertama (thn 1998 M) yang dijalaninya secara santai dan asal-asalan.

Umroh Sunnah: di Masjid "Aisyah Tan'im

Dan oleh karenanya, Hj. Muti’ah tidak begitu tertarik, lalu ikut-ikutan dengan kebanyakan jamaah haji lainnya (terutama wanita) yang sejak dari awal suka numpuk-numpuk barang belanjaan, sebelum seluruh rangkaian manasik haji dijalaninya secara sempurna.  


Perhatian & Kasih Sayang Pada Anak.

Perhatian Hj. Muti’ah terhadap anak sangat besar, terutama yang bersinggungan dengan urusan kesehatan, keagamaan, akhlak  dan pendidikan (intelektual) anak. Kesehatan anak kami, Thebba Elvana, sejak lahir memang agak bermasalah. Seusai dilahirkan melalui bedah cesar di RS Semen Gresik (07-03-2000), sehari berikutnya dinyatakan kritis oleh tim medis dan terpaksa harus dipindahkan keperawatannya di RSU Dr. Soetomo selama + 3 minggu. Kondisi ini ternyata sangat berpengaruh terhadap kesehatan Thebba yang sering sakit-sakitan di usia balita dan masa sekolah dasar, yang terkadang membuat kami berdua deg-deg-ser (trauma). Alasan itulah yang mendorong kami berdua, terutama almarhumah sangat sayang dan memperhatikan kesehatan Thebba sampai saat  ini.


Almarhumah sangat perhatian dan telaten dalam menanamkan nilai-nilai akhlakul karimah (kejujuran-kepolosan, kesabaran, pergaulan dengan teman, ucapan-tindakan, cara berpakaian, dll). Disamping juga telaten dalam menanamkan pengetahuan, penghaya-tan, emosi dan prilaku keagamaan pada anak sejak dini, dengan berbagai cara seperti latihan, pendampingan, contoh keteladan, peringatan, cerita-dongeng-sejarah, nyanyian, VCD, buku bacaan, pengalaman dari didikan orang tua, dll. Dan tidak ketinggalan, Almarhumah dengan sabar, telaten dan tidak bosan-bosanya setiap hari melatih, mendampingi, mengajak dan mengingatkan anak untuk sholat, berpuasa ramadhan, berdoa, dan membaca al-Qur’an.

Mendampingi anak belajar merupakan aktifitas pokok harian yang sulit ditinggalkan sejak anak masih duduk di sekolah TK, SD, dan sampai saat ini duduk di kelas 9 MTs P.P. Al-Fatih Tambak Osowilangun. Bisa dibilang setiap hari (selain hari libur), sehabis maghrib atau setelah anak mengikuti pengajian di pondok, beliau mendampingi anak “sinau” mengerjakan PR dan “deres” memahami kembali materi pelajaran yang pernah diajarkan oleh guru di sekolah, terutama saat menjelang ujian atau ulangan, bersama-sama dengan teman sekelas Thebba : Izul, Ika dan Febi.
Prinsip dan nilai-nilai yang selalu beliau tekankan untuk memompa semangat belajar pada anak-anak yang ikut dalam kelompok belajar ini adalah :

Pertama. Innamal ‘ilmu bit-ta’allum, ilmu itu hanya dapat diperoleh melalui proses belajar, bukan melalui warisan langsung dari orang tua/gurunya, luasnya keilmuannya, tingginya tingkat kecerdasannya, ataupun kelengkapan fasilitas belajarnya. Setinggi apapun ilmu yang dimiliki orang tuanya, seluas apapun ilmu yang dimilikinya, sehebat apapun kecerdasannya, dan selengkap apapun fasilitas belajarnya, kalau tidak mengikuti “proses belajar”, maka dia akan menjadi orang bodoh dan tidak akan memperoleh ilmu. Sebagaimana hal ini telah diteladankan oleh sang abah, KH Muhammad Basori Mansur, yang tetap terus belajar sepanjang hidup, meski merasa memiliki kesemua faktor pendukung tersebut. 
Kedua. Sing penting belajar kanggo merangi kebodohan, iso diamalno lan dimanfaatno kanggo ngadepi urip, bukannya belajar semata-mata agar dapat meraih kesuksesan dalam mendapatkan nilai bagus, rangking, prestasi, pekerjaan dan tujuan duniawi lainnya.
Ketiga, Belajar dengan tidak melupakan berdoa dan beribadah.


Umroh  Kanggo Dungakno Anak.

Betapa besar perhatiannya kepada anak, sebagian besar doa-doa yang beliau panjatkan kepada Alloh adalah untuk kebaikan anak semata wayangnya, Thebba Elvana, terutama hal ini beliau lakukan selama dalam perjalanan “spiritual” hajinya. Beliau sempat beberapa kali melakukan ibadah “Umroh Sunnah” bersama kami dan jamaah KBIH Al-Madani lainnya. Sebelum  berniat umroh dan berdoa bersama biasanya kami mengumpulkan mereka secara melingkar, lalu kami tanyakan kepada masing-masing jamaah : untuk siapa atau atas nama siapa umroh mereka dilakukan, dengan maksud-tujuan sekedar sebagai pengingat, sekaligus ingin meluruskan agar “niat” yang mereka ucapkan nanti tepat sasaran. Ketika pertanyaan sampai pada giliran Muti’ah, jawabannya singkat-padat yang membuat saya mrinding dan trenyuh : “kanggo dungakno anak”. Allohu Akbar. Ya Alloh, terimalah ibadah haji-umrohnya, dan kabulkan seluruh doa-doanya untuk kebaikan anak. Amin.


di bukit Marwah, seusai menjalankan umroh sunnah
Melakukan umroh sunnah secara “khusus” sebagai sarana berdoa, taqoqrrub & wasilah kepada Alloh demi kebaikan anak semacam ini dia lakukan sebanyak dua kali, sekali dilakukan sebelum prosesi haji dan sekali sesudahnya, sedangkan beberapa umroh lainnya diatasnamakan untuk mbah-mbahnya yang sudah wafat, dan Umroh yang terakhir (minggu dini hari jam 01:00, 12-10-2014) diatasnamakan untuk buyutnya, De Mun.


Pekerjaan.

Sejak tahun 2002, Almarhumah Muti’ah bekerja sebagai Apoteker penanggung jawab di Apotik Warujayeng Nganjuk milik Bp. Anas sampai wafatnya. Hadir ke Apotik satu atau dua kali setiap bulannya untuk mengecek persediaan barang, menyelesaikan permasalahan, dan membuat laporan ke Dinkes Nganjuk, sekaligus kulakan obat untuk dijual sendiri di rumah. Hal ini dilakukannya secara ikhlas, tanpa banyak tuntutan kepada pemiliknya soal kewajaran besarnya gaji yang diterimanya. Pekerjaan sampingan “dodolan obat” di rumah dilakukannya secara on time (: tidak mengenal batasan waktu buka-tutupnya, selama beliau tidak sedang berada diluar rumah atau mulang ngaji dan menjalankan kewajiban lainnya), dengan harga yang murah di bawah standar.

Layanan konsultasi obat-obatan pun juga beliau lakukan secara gratis kepada siapa saja yang membutuhkannya, tanpa memandang status-strata-kasta dan kondisi ekonomi masyarakat. Wal hasil, beliau melakukan semuanya ini secara ikhlas dan sukarela dengan prinsip “at-ta’awun ‘alal birri wattaqwa”, mengabdi demi kepentingan sosial di bidang kesehatan, dan tidak semata-mata profit oriented

Alhamdulillah. Meskipun demikian, Alloh nampaknya memberikan keberkahan pada kehidupan dan hasil usahanya. Dari hasil usahanya ini beliau kumpulkan sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun sejak 2002, sampai terkumpul sejumlah dana yang kami sendiri tidak tahu jumlah pastinya, sehingga dengan dana tersebut beliau tidak sampai berharap dan bergantung pada uluran tangan orang lain, apalagi sampai ngriwuki atau memakan hak orang lain. Sebaliknya beliau bisa memenuhi kebutuhan apa saja yang diperlukan keluarga, termasuk kebutuhan untuk memiliki mobil sendiri (tahun 2013), meski dengan tambahan dana hutangan dari salah satu pamannya. Alasannya sederhana, “kepingin ngenakno awak” dan menikmati hasil usaha bersama anak dan suami, sehingga kemanapun pergi, terutama ketika pulang ke Jaksa Agung, tidak lagi “bandrean” (pake sepeda motor untuk bertiga), dan lagi pula “wis towok urip soro”, katanya.

Selain itu, Hj. Muti’ah mengalokasikan sebagian dana untuk kepentingan sosial keagamaan : menunaikan kewajiban zakat setiap tahun; membantu keluarga, saudara, sanak-famili dan orang-orang (fakir-miskin, anak yatim) yang membutuhkan;  memberi uang jajan beberapa anak dari keluarga tak mampu secara rutin; memberi hadiah, infak, dan berbagai bentuk sodaqoh lainnya. Jiwa kelomanannya ini terbawa ketika beribadah haji (2014 M/1435 H) di tanah haram, beliau sering kali bagi-bagi uang “riyal” kepada pengemis, kaum dhu’afa’ dan tukang bersih-bersih (cleaning service) di Masjidil Haram.


Hari-Hari Akhir Menjelang Wafat

Seminggu menjelang wafatnya, tepatnya setelah selesai menjalankan tahapan-tahapan prosesi ibadah haji, ghiroh dan semangat beribadah dan beramal sholeh Hj. Muti’ah sungguh luar biasa, mengingat seminggu lagi (14-10-2014) jamaah haji kloter 12-SUB harus sudah pulang ke tanah air. Berjamaah di Masjidil Haram sambil menemani dan merawat sang Ibu, dan membaca Al-Qur’an yang selalu  dilakukannya di sela-sela menunggu shalat jamaah, di kamar hotel ketika ada waktu luang, dan untuk mengisi waktu selama mabit di Mina, merupakan ibadah favoritnya. Demikian juga shodaqah, bagi-bagi uang 1 reyal-an kepada kaum dhu’afa’, peminta-minta, dan tukang bersih-bersih (cleaning service) di tempat-tempat yang dilewati, terutama yang ada di sekitar Masjidil Haram.

Ahad sore menjelang maghrib (12-10-2014) sampai ba’da isya’, saya dan Muti’ah sempat diajak sahabat muqimin, Ustd H. Mustawi M.A, bershilaturrahim ke rumah kontrakannya di daerah Ma’la, bercengkerama secara akrab dalam jamuan makan bersama dengan istri dan 2 orang anak buahnya. Keakraban ini yang membuat istri Ustd. Mustawi shock begitu mendengar wafatnya Muti’ah.

Hj. Muti’ah sangat antusias ketika saya ajak 2 kali menjalankan Umroh sunnah selesai prosesi haji : 1) Rabu siang, 8-10-2014 yang diniatinya sebagai taqorrub pada Alloh untuk mendoakan kebaikan anak;  2) Ahad dinihari, 12-10-2014 (jam 12:30 - subuh), bersama dengan cak Sudin dan mbak Anik. Umroh yang terakhir ini diatasnamakan buyutnya, De Mun.

Almarhumah juga sangat semangat sewaktu saya ajak menginap & tahajudan di Masjidil Haram : 1) Kamis dinihari, 9-10-2014, bersama-sama  dengan jamaah KBIH Al-Madani; 2) Sabtu dinihari, 11-10-2014 bersama dengan sang ibu, dengan mengambil tempat di lantai 1 Masjidil Haram yang berhadapan langsung dengan Ka’bah; 3) Senin dinihari, 13-10-2014, bersama dengan sang ibu, adik Chumaidah dan suami, M. Rifqi, dengan mengambil tempat yang sama di atas,  selain melakukan berbagai macam shalat sunnat dan rutinitas membaca Al-Qur’an, sekaligus agar bisa memandang Ka’bah sepuas-puasnya.


Berangkat Tahajudan

Pada tahajudan sekaligus hari terakhirnya ini, menjelang solat subuh almh. Hj. Muti’ah merasa tidak enak badan, masuk angin, dadanya terasa nyeri. Segeralah pulang ke hotel seusai shalat subuh. Sesampainya di Hotel jam 06:00, badanya terasa enak setelah di-”cetoti” punggungnya, sehingga bisa istirahat/tidur. Namun kira-kira jam 08:30 dia terbangun mendengar HP saya berbunyi, lalu diberikan kepada saya yang saat itu ada di kamar sebelah.  Selanjutnya kembali ke kamar dan sempat mencuci piring dan menyiapkan peralatan mandi sang Ibu, lalu hendak tidur istirahat lagi. Baru saja merebahkan badan di tempat tidur, beberapa saat kemudian Alloh menghendakinya wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. 

Demikianlah Almh. Hj. Muti’ah yang dikersaake Alloh wafat di Makkah Al-Mukarromah dengan cara yang mudah pada hari Senin, 13 Oktober 2014 M / 17 Dzulhijjah 1435 M, pukul 09:19 waktu setempat, setelah selesai secara sempurna menunaikan tahapan-tahapan prosesi ibadah Haji yang wuqufnya bertepatan dengan hari Jum’at (“Haji Akbar”), setelah sebelumnya  bertahajudan dan berjamaah subuh di Masjidil Haram bersama sang Ibu,  suami dan saudara ipar. 

Ribuan lubang kubur di pemakaman Sarayi' siap menerima penghuni baru!

Pada hari dan tanggal itu pula, jenazah almarhumah Hj. Muti’ah divisum, dimandikan dan difani, lalu disholati lebih dari satu juta jamaah di Masjidil Haram sehabis shalat Maghrib, dan seterusnya dikubur di Tanah Haram, di pekuburan Saraya-Mina.

No comments:

Post a Comment