Thursday 27 April 2017

Landasan Hukum Dalam Berziarah Walisongo - [ZW 2]





1. Dasar Hukum Ziarah Kubur

Ziarah kubur  merupakan sunnah (tradisi, perilaku) Rasulullah saw. Beliau benar-benar melakukannya sendiri pada masa hidupnya di dunia dan mengajari para sahabat bagaimana cara berziarah yang baik. Hadis yang diriwayatkan imam Malik dari 'Aisyah ra menjelaskan, beliau saw memberitahukan kepada 'Aisyah bahwa malaikat Jibril menemuinya seraya berkata : "Tuhanmu memerintahkanmu agar mendatangi ahli kubur Baqi' untuk memintakan ampunan buat mereka". Beliau saw akhirnya datang ke pekuburan Baqi', dan berdiri agak lama sambil mengangkat kedua tangannya tiga kali (untuk berdoa memohonkan ampunan).

Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa menziarahi pekuburan Baqi'  merupakan adat kebiasaan Rasulullah saw. Setiap mendapatkan giliran bermalam di rumah Aisyah, beliau selalu berziarah ke makam Baqi' pada akhir malam.

Memang benar, bahwa ziarah kubur pernah dilarang pada periode awal datangnya Islam dan pada saat itu orang-orang Islam masih dekat dengan tradisi dan kepercayaan musyrik jahiliyah. Kemudian larangan tersebut dinasakh (dihapus, dinyatakan tidak berlaku) dengan sabda dan perbuatan nyata Rasulullah saw. Kata beliau,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزَوْرُوْهَا, فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ اُمِّهِ, فَزُوْرُوْاهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ
"Aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka (sekarang), lakukan ziarah kubur. Muhammad benar-benar telah diizinkan menziarahi makam ibunya. Karena itu, lakukanlah ziarah kubur, sebab ziarah kubur dapat mengingatkan (kehidupan) akhirat". (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim).



2. Hukum Ziarah Kubur Bagi Lelaki Dan Perempuan

Didalam kitab Fatawi. tulisan Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, dijelaskan : sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama, bahwa ziarah kubur bagi kaum lelaki adalah sunnah, setelah sebelumnya ziarah dilarang pada masa awal kemunculan Islam. Akan tetapi bagi wanita, sebagian ulama syafi'iyyah mengambil bunyi lahiriyah hadis "La'anaz-zawwaaraatil qubuur" (Allah melaknat para wanita yang suka berziarah kubur) sebagai dalil tentang keharaman dan makruh tahrim-nya kaum wanita berziarah. Kemudian dikomentari oleh imam An-Nawawi didalam kitab Al-Majmu', bahwa pendapat ini syadz (aneh dan langka) dikalangan madz-hab syafi'iyah, dan yang jelas, jumhurul ulama' memandang ziarah kubur bagi kaum wanita sebagai perbuatan yang diperbolehkan disertai makruh tanzih.  Imam Nawawi juga menukil dari penyusun kitab Al-Bahr dua pendapat dikalangan ulama syafi'iyyah : 1) hukumnya makruh, sebagaimana pendapat jumhurul ulama,  2) hukumnya tidak makruh. Dan dijelaskan lagi, bahwa tidak makruhnya berziarah bagi wanita, menurut saya, merupakan pendapat yang lebih khos jika aman dari fitnah.



3. Waktu Dan Hikmah Ziarah Kubur

Kapan ziarah kubur dilakukan?. Pada umumnya orang berziarah kubur itu setahun sekali, tepatnya setiap datangnya idul fitri. Sebenarnya tidaklah demikian. Dimana ada kesempatan, hendaknya disempatkan berziarah kubur. Paling tidak dilakukan seminggu sekali, terutama pada tiap malam atau siang di hari jum'at. Sebab, ziarah kubur itu sangat penting bagi seseorang untuk mengingatkan adanya kehidupan di akhirat. Itulah tujuan pokok berziarah kubur. Kalau sudah ingat kehidupan akhirat, tentu akan mendorongnya untuk mempersiapkan bekal-bekal yang diperlukan di akhirat nanti, yakni amal ibadah dan amal sholih lainnya. Sebaliknya, jika ia tidak ingat akhirat, antara lain disebabkan tidak pernah berziarah kubur, ia akan cenderung mempergunakan hidupnya sekedar mengejar-ngerjar kesenangan duniawi, seolah-olah hidup itu hanya di dunia saja, sehingga tidak ada motivasi untuk meningkatkan amal ibadah dan amal sholih lainnya. Oleh karena itu, agar ziarah kubur dapat mencapai sasaran dan tujuan yang tepat,  maka sewaktu kita berziarah kubur, sebaiknya disertai dengan perenungan bahwa kita pun kelak akan mati seperti mereka yang lebih dahulu mati meninggalkan kita. Disamping pengambilan I'tibar dan pelajaran dengan mengenang jasa baik selama hidup mereka untuk ditiru dan diterapkan dalam perbuatan kita sehari-hari.

Sedangkan manfaat bagi mayit antara lain, bahwa si mayit merasa gembira karena bacaan doa (istighfar) dan kiriman hadiah pahala bacaan  ayat Al-Qur’an atau kalimat thayyibah lainnya dari para peziarah. Kata Rasulullah saw : “Tiada seorang muslim pun yang menziarahi kubur saudaranya dan duduk di sampingnya, melainkan saudaranya itu merasa senang dan menjawab salamnya, sampai ia berdiri meninggalkan kubur tersebut”. (HR Ibnu Abid-Dunya, dari ‘Aisyah).

Rasulullah saw bersabda lagi:

مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ اِلاَّ شِبْهُ الْغَرِيْقِ الْمُتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ اَبٍ وَ اُمٍّ اَوْ وَلَدٍ اَوْ صَدِيْقٍ ثِقَةٍ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ اَحَبُّ اِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَ مَا فِيْهَا (أخرجه البيهقي و الديلمي, عن ابن عباس)
Tiada mayit dalam kuburnya melainkan ia bagaikana orang tenggelam di laut yang menantikan pertolongan dari bapak-ibunya, anak-anaknya, atau sahabat karibnya. Saat memperoleh pertolongan, ia tentu merasa bahwa pertolongan itu jauh lebih disukai daripada dunia seisinya” (HR Al-Baihaqi dan Ad-Dailami, dari Ibnu Abbas)



4. Menaburkan  Kembang (Nyekar) Diatas Makam

Boleh menaburkan kembang atau dedaunan diatas makam. Dijelaskan dalam kitab I’anah juz 1 hal. 119, bahwa kesunnahan menaburkan bunga yang masih basah seperti yang biasa dilakukan orang-orang yang nyekar ialah dikiaskan dengan dahan pohon (pelepah) korma, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim), Tirmidzi, Nasai dan Abu Dawud.  Bahawa suatu ketika beliau saw pernah melewati dua makam bersama sahabatnya seraya bersabda,”Penghuni dua makam  ini sedang disiksa, bukan karena melakukan dosa besar. Yang satu disiksa karena (di dunia) suka mengadu domba, dan satunya lagi disiksa karena ia tidak menutupi auratnya sewaktu  kencing. (Riwayat lain: karena tidak istinjak sehabis buang hajat). Beliau lalu meminta sahabatnya agar mengambilkan satu dahan pohon (pelepah) korma yang masih basah, lalu dipotong menjadi dua bagian. Satu bagian diletakkan diatas makam pertama dan bagian lainnya diletakkan diatas makam kedua. Beliau bersabda: “Semoga ini dapat meringankan siksa kedua penghuninya, selama kedua dahan imi belum kering”.

Manfaat yang diperoleh penghuni kubur tersebut adalah karena barokah dari bacaan tasbihnya kayu, daun atau kembang yang masih basah tersebut, sebagaimana yang disinggung dalam QS Al-Isra’ ayat  44 : “Dan tiada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. Akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka”.

Atas dasar ini sebagian ulama berkomentar: “Bila tasbihnya pelepah korma saja dapat meringankan siksa penghuni kubur, apalagi dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca orang mukmin (tentu lebih bisa)”.
  



PERSOALAN  HADIAH PAHALA BACAAN AYAT AL-QUR’AN  DAN KALIMAT THAYYIBAH


1. Pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah :

Ibnu Taimiyah mengatakan : "Mayat dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat Al-Qur`an dari orang hidup, dan juga pahala ibadah maliyah seperti shadaqah dan sejenisnya.

Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab Ar-Ruh, pada prinsipnya orang yang sudah mati dapat mengambil manfaat dari pahala amal shalih yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Hanya ahli bid'ah dan sebagian teolog (mutakallimin) saja yang mengingkari sampainya kiriman hadiah pahala amal shalih dari orang hidup kepada mayit, termasuk juga doa. Amal shalih orang hidup yang pahalanya dapat diambil oleh mayit dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk :

Pertama : Amal yang dilakukan orang lain itu ada kaitannya dengan usaha dan jasa dari si mayit tersebut yang meliputi shadaqah jariyah (infaq, wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh. Ketiga jenis amal ini secara otomatis sampai dan dapat diambil manfaatnya oleh si mayit. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sesuai dengan sabda Nabi :

إِذَا مَاتَ ابنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
Rasulullah saw bersabda: "Jika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara : 1) shadaqah jariah, 2) ilmu yang bermanfaat, dan 3) anak shalih yang mendoakannya." (HR Muslim, dari Abu Hurairah).

Kedua : Amal shalih yang dilakukan orang lain itu tidak ada kaitannya dengan usaha dan jasa dari si mayit. Misalnya doa (ampunan/kebaikan) kaum muslimin untuk mayit, atau pahala shadaqah, puasa, haji dan amal kebagusan lainnya (bacaan Al-Qur'an, shalawat, "tahlil", dll) yang sengaja dihadiahkan kepadanya.

Kata Ibnu Qoyyim lagi : "Sebaik-baik  pahala  yang  dihadiahkan  kepada   mayit  ialah pahala shadaqah, istighfar, mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala bacaan ayat Al-Qur`an, hal ini akan sampai kepada si mayit jika dilakukan secara sukarela dan bukan karena dibayar. Untuk itu ketika melakukannya (membaca Al-Qur`an), hendaknya diniati agar pahalanya diberikan Allah kepada si mayit.”


2. Pandangan Ulama Madzhab

Ulama madzhab syafi'iyah menyepakati sampainya hadiah pahala shadaqah kepada mayit. Akan tetapi dalam masalah bacaan ayat Al-Qur`an, Imam Syafi'iy sendiri memiliki dua fatwa : (a) pahala bacaan itu sampai kepada mayat, dan (b) tidak sampai kepadanya.

Fatwa imam Syafi'iy yang kedua, menurut imam Bujairimiy, kurang populer. (Baca I'anatut Tholibin juz 3, hal. 221). Sedangkan pendapat yang terpilih di kalangan syafi'iyyah, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah al-Minhaj,  ialah fatwa yang kedua, yakni sampainya hadiah pahala bacaan tersebut kepada si mayit.  Hal ini diperkuat oleh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu'in pada bab wasiat, bahwa tidak sampainya hadiah bacaan ayat Al-Qur`an tersbut ialah jika : (a) tidak dilakukan dihadapan mayit,  (b) tidak diniati untuk dihadiahkan pada mayit,  (c) Atau sudah diniati untuk dihadiahkan, tetapi tidak dimintakan kepada Allah agar disampaikan kepada mayit.

Mayotitas ulama mutakhir  memperbolehkan menghadiahkan pahala bacaan atau tahlilan, sebagaimana tradisi yang sudah berjalan di tengah masyarakat, dan pahalanya pun dapat sampai kepada si mayit. Pendapat inilah yang berlaku di kalangan kaum muslimin sekarang.

Ali bin Abi Thalib meriwayatkan hadis, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang melewati makam dan membaca surat Al-Ikhlash sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati, maka diberikan kepadanya pahala sebanyak hitungan orang yang mati tersebut”.

Soal membaca Al-Qur’an di makam. Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyah pada halaman 147 mengatakan: "Imam Syafi'iy dan sebagian besar sahabatnya mengatakan : Sunnah membacakan sebagian ayat Al-Qur`an di hadapan mayit. Apalagi membacanya sampai khatam, hal itu baik sekali". Sedangkan dalam kitab Al-Majmu`, imam An-Nawawi menyebutkan, bahwa al-Qadhi Abu ath-Thayyib pernah ditanya mengenai mengkhatamkan Al-Qur`an di makam. Jawabnya : "Orang yang membacanya mendapatkan pahala. Sementara mayit (yang ada di makam itu) adalah seperti orang-orang yang hadir menyimak, dimana ia berharap memperoleh rahmat dan keberkahan (dari bacaan Al-Qur`an). Atas dasar ini, maka membaca Al-Qur`an di makam adalah mustahab (sunnah). Selain itu, doa yang dibaca setelah membaca Al-Qur`an lebih mudah dikabulkan. Tentu saja doa ini dapat bermanfaat baginya.

Hal ini dipertegas dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda yang artinya : “Barangsiapa berziarah ke kubur kedua orang tuanya atau salah satunya, kemudian ia membaca surat Yasin di makam, maka ia diampuni dengan hitungan ayat atau huruf tadi, dan ia sudah dianggap telah berbuat baik kepada orang tuanya (birrul walidain)”
 


No comments:

Post a Comment