Thursday 10 April 2014

DM - 25. KISAH NYATA : Jenazah Orang Punya Pesugihan Menjadi Tua Renta dan Keriput Serupa Kedebog Pohon Pisang *)





Di sepanjang jalan itu, seperti biasanya,  hiruk pikuk oleh lalu-lalang orang yang mengadakan transaksi ekonomi. Memang, di kanan kiri jalan itu banyak berjajar pertokoan. Macam-macam dagangannya, mulai dari mainan, kuliner hingga kebutuhan pokok sehari-hari. Sebab tempat tersebut termasuk tempat strategis untuk kegiatan berniaga.
Namun di antara sekian toko itu, ada satu toko besar yang tampak lebih ramai dibandingkan dengan toko-toko lainnya. Spanduknya berukuran 5 x 1 m bertuliskan “Toko Laili”. Barang dagangannya cukup banyak dan beragam. Di toko ini segala kebutuhan dasar sehari-hari tersedia. 
Keduanya terkesiap saat membuka kain penutup jenazah. Dilihatnya jasad saudara perempuannya itu mirip sekali dengan kulit kedebong atau batang pohon pisang yang sudah mengering.
Pagi-pagi sekali, Toko Laili sudah buka. Sebab, saat itulah masyarakat mulai sibuk beraktivitas. Pembeli mengalir tak henti-henti. Bahkan kadang mengantri cukup lama untuk mendapatkan giliran, padahal toko-toko sembako serupa tidak jauh dari tempat itu. Mereka menganggap di toko ini, apa yang mereka butuhkan tersedia sehingga sekali belanja tidak perlu mencari-cari ke tempat lain. Toh harganya pun standar.
Tentu saja pemandangan ini membuat iri para pedagang lainnya. Malahan pemilik kios-kios lain seringkali terbengong-bengong melihat orang hilir-mudik terus di Toko Laili. Mereka heran kenapa toko itu begitu ramai pengunjungnya sementara yang lain biasa-biasa saja. 
Mbak Yu, toko seberang itu kok ramai terus ya?” tanya Umi kepada Sarmi.
“Ya. Padahal dulu keadaannya sama seperti toko kita,” tukas Sarmi.
“Mbak Yu pernah coba mengulik secara diam-diam rahasia kesuksesan toko itu?”
“Belum pernah. Tapi dulu sebelum seramai sekarang, kuperhatikan Laili sering mencari-cari tabloid atau koran mistik.”
“Terus, apa hubungannya?”
“Di dalam media itu banyak iklan seputar pelet, jimat-jimat, ajian-ajian, obat-obatan bahkan penglaris.”
“Apa itu penyebabnya, Mbak Yu?”
“Entahlah, kita tidak usah su’u-dzan.”
Keduanya menutup pembicaraan siang itu sembari memeras otak bagaimana agar dagangan mereka juga bisa ramai.

Rajin ‘Berikhtiar’
Pada hari Sabtu atau Minggu pagi, Laili (35 thn, nama samaran) memang sering pergi untuk suatu keperluan. Biasanya, ia berangkat pagi-pagi sekali dan pulangnya menjelang petang. Jika ia pergi, ibunyalah yang ganti menjaga tokonya. Toko Laili sebenarnya milik ibunya, namun saat ibunya beranjak tua, Laili-lah yang meneruskannya.
Laili berpikir bahwa selama ini toko yang dikelola ibunya itu  tak mengalami kemajuan berarti. Memang tetap berjalan seperti toko-toko lainnya, namun perkembangannya sungguh lambat. Padahal Laili sudah bermimpi, ke depan tokonya harus lebih besar dengan dagangan yang lebih beragam. 
Sampai suatu ketika ia disarankan oleh seorang teman untuk mencoba berkonsultasi dengan “orang pintar”. Orang pintar yang dimaksud adalah seorang dukun yang seringkali didatangi orang-orang yang punya problem usaha, keluarga serta jodoh.
“Cobalah! Banyak kok orang yang usahanya kembang-kempis namun setelah ‘berikhtiar’ usahanya menjadi lebih baik!” temannya meyakinkan.
Semula Laili acuh saja. Namun setelah dipikir-pikir di rumahnya, ia pun termakan provokasi temannya. “Tak ada salahnya mencoba, siapa tahu ini adalah jalan keluarnya,” batin Laili.
Entah kenapa mulai saat itu, perempuan satu ini mulai keranjingan mendatangi dukun, paranormal dan orang-orang yang disebut-sebut “pintar”. Tujuannya sama, yakni mencari cara agar usahanya jauh lebih maju. Dari satu orang ke orang lain, dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain. Ia mulai rajin mencari-cari informasi melalui koran, tabloid dan majalah, agar mendapatkan sesuatu yang paten yang bisa mengubah dunianya. Betapa pun harus merogoh koceknya dalam-dalam sebagai mahar, Laili tidak keberatan asalkan membuahkan hasil.
Beberapa bulan kemudian, upaya Laili membuahkan hasil. Semakin lama, dirasakan tokonya kian ramai oleh para pembeli. Malahan kadang-kadang pagi-pagi benar, sudah ada pembeli yang mengetuk rumahnya untuk berbelanja, padahal tokonya belum juga dibuka. Laili senang. Ini tandanya ada kemajuan. 
Stok dagangan di Toko Laili semakin menumpuk. Segala kebutuhan masyarakat yang sebelumnya tidak ada dan mesti pergi ke kota untuk membelinya, kini bisa didapatkan di Toko Laili. Tidak cukup di situ saja, Toko Laili yang tadinya melayani eceran saja perlahan berubah menjadi agen, yang artinya melayani partai-partai besar. Untuk itu, Laili mempekerjakan 4 orang untuk membantunya. Merekalah yang melayani kebutuhan-kebutuhan para pembeli.
Setelah dua tahun lewat, sekarang Laili bisa tersenyum lebar. Dari belakang meja kasir, ia tampak sumringah melayani para pembeli. Kini, kunci sukses seolah berada di genggaman tangannya sembari mengingat bahwa ikhtiarnya selama ini mendatangi satu “orang pintar” ke “orang pintar” lainnya ternyata cukup manjur. Ia juga percaya, dengan menjalankan sejumlah ritual yang disarankan usaha yang dilakoninya akan terus meningkat. Padahal ritual-ritual yang dilakukan itu sejatinya tidak diperkenankan oleh agama, namun Laili tak peduli yang penting tujuan yang diinginkannya tercapai.
Sebaliknya, pemilik kios lain di sekitarnya perlahan mulai khawatir. Sebab dari hari ke hari, grafik pembeli mereka terus menurun. Jika begini terus, bukan tidak mungkin mereka akan gulung tikar sebab pelanggan satu per satu beralih ke Toko Laili. Toko itu seolah memiliki magnet yang luar biasa yang bisa menyedot orang untuk datang dan datang lagi.
Namun lambat laun aroma ketidakwajaran Laili dalam menjalankan roda usahanya tercium juga oleh beberapa orang di sekitarnya. Entah dari mana muasalnya, tiba-tiba, beredar kabar seputar ikhtiar sampingan Laili yang menggunakan penglaris santer terdengar. Dari satu mulut ke mulut lain, kemudian menyebar. Rupanya dugaan Mbak Yu Sarmi tentang kesukaan Laili mencari info tentang penglaris dan semacamnya mendekati kebenaran.
Laili tidak menanggapi isu yang berhembus tersebut tetapi juga tidak menampik. Ia pun beranggapan tidak ada yang salah dengan dirinya.
“Sah-sah saja bukan? Aku tidak merugikan orang lain,” gerutu Laili mendengar selentingan orang yang mencibir ikhtiarnya.
Di seberang jalan, tampak Mbak Yu Sarmi dan Umi seperti biasa bercengkerama.
“Mbak Yu, dugaanmu sepertinya benar. Ternyata orang-orang banyak membincang kesuksesan Laili yang diperoleh melalui cara mencari penglarisan,” kata Umi agak serius.
“Biarlah... Kenapa kita ikut repot? Baik atau buruk, toh pelakunya sendiri nanti yang akan menangung resikonya,” jawab Mbak Yu Sarmi.
Seiring perjalanan waktu, berita itu sirna dengan sendirinya. Nyatanya tak berdampak apa-apa terhadap usaha Laili. Dagangan Laili tetap lancar dan sukses.

Layu dan Tua Renta
Usaha Laili sukses sehingga menempatkan dirinya sebagai seorang juragan baru yang kaya. Laili sesungguhnya tak bakal menyangka kesuksesan yang diraihnya bakal secepat ini. Hanya dalam hitungan kurang dari 5 tahunan, semuanya berubah. Sang ibu pun senang mendapati anaknya yang mewarisi usaha dagangnya bisa lebih sukses dan maju pesat.
Sayangnya, Laili tak bisa merasakan kesuksesannya lebih lama. Di saat usahanya mengalami kemajuan, mendadak perempuan ini jatuh sakit. Ia mengira dirinya terlalu letih akibat memforsir fisiknya sehingga menyebabkan dirinya drop. Karena itu, ia hanya minum obat yang tersedia di tokonya serta memperbanyak istirahat saja di rumah. Akan tetapi dugaan Laili meleset sebab makin lama penyakitnya justru makin parah. Usaha dibawa ke medis sudah dilakukan. Berbulan-bulan penyakitnya tak kunjung sembuh dan akhirnya ajal pun tiba.
Kontan saja berita kematian Laili menyebar. Keluarga dekat berkumpul, tak terkecuali Nursalim dan Mustakim, dua saudara lelaki Laili. Mereka bahkan siap membantu prosesi memandikan jenazah.  Akan tetapi sebelumnya ia berniat melihat wajah saudara perempuannya itu untuk terakhir kalinya.
Saat menyingkap bagian muka, terlihatlah wajah Laili yang aneh sehingga mengagetkan mereka. Wajah itu berkerut-kerut, layu sekali dan terlihat seperti wajah nenek tua renta padahal ia masih tergolong muda (sekitar 40-an thn). Bukan di bagian muka saja, di bagian leher, kemudian di lengan kanan kiri, kaki kanan kiri yang terbuka semuanya tampak layu seperti pepohonan yang meranggas. Mereka tak berani memegang kulit saudara perempuannya yang berbeda sekali dari kulit aslinya. Jasad saudara perempuannya itu ternyata mirip sekali dengan kulit kedebong pisang yang sudah mengering.
Astaghfirullah... Bagaimana bisa terjadi?” tanya Nursalim.
Saudara lelakinya itu hanya menggelengkan kepala. Ia juga bingung sekali dan tak habis pikir kenapa bisa demikian. Padahal sebelumnya kulit saudara perempuannya masih biasa-biasa saja. Tak ada yang aneh, tetapi begitu disingkap bagian mukanya saat hendak dimandikan seolah semua kulit yang terbuka itu mirip dengan kulit kedebong pisang.
“Kita panggil ustadz saja!?”
Tak beberapa lama kemudian, sang ustadz sudah tiba di tempat itu. Setali tiga uang, ia pun tercengang mendapati pemandangan demikian namun segera menguasai diri. Tak lama kemudian berdoa agar prosesi jenazah dari awal hingga akhir dimudahkan oleh Allah swt. Sang ustadz tak dapat menyembunyikan keheranannya atas pemandangan yang baru saja dilihatnya.  Sementara Ibu Laili pun tak kuasa menahan kesedihannya.
Peristiwa di tahun 80-an ini sungguh di luar dugaan. Memang hanya beberapa orang saja yang melihatnya, namun berita perubahan kulit Laili menjadi berkeriput dan sangat tua itu sempat menjadi buah bibir masyarakat. Sebagian orang kemudian mengaitkan dengan cara Laili menjalankan usahanya sewaktu hidupnya. (Seperti diceritakan IS kepada Hidayah)

________________________________________________________

Sumber :Herry Munhanif Majalah Hidayah
http://serpihanfb.mywapblog.com/hikayat-jenazah-pesugih-kulitnya-serupa.xhtml





DM - 24. KISAH NYATA : Ular Besar Keluar Dari Dalam Kubur Orang Yang Bakhil & Punya Pesugihan *)




Di kampung Mangga, ia dikenal orang kaya. Maklum, di tempatnya tinggal itu, lelaki paruh baya yang bernama Majnun (tentu bukan nama sebenarnya, 50 tahun) ini adalah petani sukses. Sawah dan ladang Majnun luas membentang. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai pedagang buah terkenal dan berhasil. Tak ayal, jika warga menyebut-nyebut lelaki yang memiliki lima anak itu tak kekurangan materi lantaran bergelimang dengan harta.

Tapi, kekayaan yang dimiliki Majnun itu tidak membuat dia menjadi orang yang ingat kebesaran Allah dengan rezeki yang telah diberikan padanya sehingga dia jadi dermawan atau ringan tangan terhadap orang miskin, paling tidak orang yang lagi dilanda kesusahan. Justru, dia selalu menggenggam jemari tangannya dengan erat dan bahkan congkak terhadap orang miskin.

Mungkin, tidak jadi soal jika Majnun tidak mau membantu orang yang butuh namun masih dengan cara baik dan rendah hati. Tapi, sudah tak mau mengulurkan tangan, Majnun masih berbohong, dan merasa tidak sebagai saudara.

ORANG BAKHIL, KIKIR.
Suatu hari, pernah ada sepupu Majnun dari jauh yang datang ke rumahnya untuk meminjam uang. Saudara Majnun itu lagi ditimpa musibah, lantaran anaknya sakit sehingga butuh biaya tak sedikit untuk berobat. Sepupu Majnun sebenarnya sadar, kalau tipis harapan jika harus meminjam uang kepada Majnun. Tetapi, jalan untuk mendapatkan uang sudah tidak ada lagi. Dia sudah bersusah payah minjam uang ke beberapa tetangga di kampung tempat tinggalnya, tetapi sayang tidak ada satu orang pun yang bisa membantu. Maka, tak punya pilihan lain, kecuali datang ke rumah Majnun. Dalam hati, ia membatin siapa tahu dengan keadaan anak sakit, Majnun tersentuh hati dan luluh sehingga tidak keberatan meminjamkan uang.

Sayang, harapan sepupu Majnun ternyata bertepuk sebelah tangan. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, dan tiba di rumah Majnun bukan sapaan akrab dan uluran tangan keluarga yang ia dapat melainkan luapan wajah cemberut di wajah Majnun yang serupa singa. Tentu saudara Majnun tidak mungkin pulang jika tanpa usaha. Dia sudah jauh terlanjur sampai di rumah Majnun, maka akhirnya memberanikan membuka mulut...

"Kedatangan saya ke sini sebenarnya selain silaturrahmi juga ada masalah penting yang ingin saya bicarakan!”, ucap sepupu Majnun.

“Masalah apa lagi?” tanya Majnun.

“Saya ingin minta tolong!” ucap sepupu Majnun gagap. “Saya butuh uang untuk mengobati anak saya yang sakit…"

Saat mendengar meminjam uang, seketika itu Majnun mendidih. Jantungnya berdegup kencang, mukanya merah serupa batu bata yang terbakar bara. Majnun berkacak pinggang, "Kau ini tiba ke sini hanya minta tolong! Saya tak punya uang. Hari ini dagangan buah tak laku, hasil panen pun belum tiba. Lagi pula, saya ini memang apa-mu?” ketus Majnun.

Sepupu Majnun itu, terdiam. Kedua kakinya lemas. Langit-langit seakan gelap. Mulutnya terkunci dengan ucapan Majnun yang ketus itu. Belum lagi, wajah cemberut Majnun yang dilihat seram menakutkan. Maka, tak ada pilihan lain untuk tinggal lebih lama. Dia segera pamit pulang, dengan tanpa membawa uang.

Dia sebenarnya tidak heran dengan kelakuan Majnun itu, karena penolakan Majnun terhadapnya kali ini bukanlah pertama yang dia alami. Sebelumnya pernah ia meminjam uang dan selalu dijawab dengan kata “tidak punya uang”.

Tetapi kali ini saudara Majnun terpaksa, tapi, apa daya orang yang selama ini dianggap sebagai saudara ternyata tak lebih dari orang asing yang tak saling kenal.

Watak Majnun itu, sebenarnya sudah jadi rahasia umum warga Semangka. Warga tahu, Majnun memang kaya. Tapi menurut warga, kekayaan yang dimiliki Majnun itu justru membuat Majnun sombong, congkak dan enggan bergaul dengan warga yang mayoritas berstatus rendah. Selain kikir, Majnun dikenal warga suka mendatangi sebuah pohon besar yang ada di ujung kampung. Tak jarang, Majnun kepergok oleh salah seorang warga yang mencari rumput.

Anto (36 tahun), warga yang mencari rumput itu pun sering melihat Majnun bersila di bawah pohon, melakukan ritual dengan menyajikan sesajen, membakar dupa dan mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. Di akhir prosesi, Majnun kemudian bersujud di hadapan pohon besar tersebut dengan seksama.

Kebiasaan buruk itu, sudah sering dilakukan Majnun tatkala hari menjelang Maghrib --tepatnya Jum'at sore. Maklum jika Anto tahu. Dia seorang warga desa yang sehari-hari bekerja di sawah milik Majnun sebagai buruh harian. Tak salah pula Anto sering memergoki Majnun melakukan ritual aneh itu. Anto mengatakan aneh, sebab suatu hari pernah melihat Majnun bermesraan dengan seekor ular besar di bawah pohon.

Memang, awalnya ritual aneh itu hanya diketahui Anto. Tetapi, lama-lama warga tahu juga. Tapi warga hanya diam tak pernah mengusik kebiasaan Majnun yang dianggap menyimpang. Orang-orang kampung Semangka hanya berbisik-bisik tatkala di warung kopi lantas menyebut-nyebut Majnun itu telah mengambil pesugihan.

SOMBONG
Dengan memiliki kekayaan yang berlimpah dan tidak ada orang di kampung Semangka yang mampu menandinginya, Majnun pun jadi sombong termasuk kalau ada orang yang datang ke rumahnya. Padahal kedatangan orang ke rumahnya itu belum tentu mau meminjam uang. Bisa jadi, orang yang datang ke rumah Majnun itu ingin memberikan informasi, atau apa lagi…

Tapi karena Majnun selalu berprasangka negatif kepada setiap orang yang datang ke rumahnya, akhirnya orang kampung tak berani datang ke rumah Majnun jika memang tidak perlu. Rumah Majnun jadi angker, angkuh dan menyeramkan. Tidak jarang, pengemis atau anak yatim yang datang ke rumah Majnun pun untuk minta sedekah, akhirnya harus menantap rumah megah Majnun itu dengan tatapan yang nyaris tidak percaya jika pemiliknya ternyata tak bersahabat.

Selain dikenal angkuh dan sombong, Majnun juga nyaris tak pernah hadir jika ada warga atau tetangga yang lagi punya hajat. Maklum jika satu dua kali tak hadir, tetapi seringkali undangan warga itu tidak pernah dipenuhi Majnun dengan seribu alasan, seperti sibuk kerja atau sedang ke pergi ke luar kota.

Menurut pengakuan Anto, Majnun memang orang yang tidak suka bergaul dengan warga kampung. Sikap itu pula yang membuat warga membenci Majnun dengan sepenuh hati. Karena tidak semestinya Majnun bersikap sombong, apalagi tak mau bergaul dengan tetangga. Lebih dari itu, Majnun suka menghina orang.

Pernah suatu ketika, ia menghina Anto karena Anto sedang sakit dan minta istirahat beberapa hari untuk libur dari kerja di sawah Majnun. Tapi, Majnun tak memberi izin kepada Anto apalagi memberi bantuan uang untuk berobat. Justru, Anto dihina-hina. "Kau itu sudah miskin, sakit-sakitan lagi! Kapan lagi kamu akan menyelesaikan kerjaan di sawah!" bentak Majnun dengan muka bersemu merah menyala.

Jelas, hinaan itu langsung membuat Anto kecewa dengan majikannya yang selama ini ia bantu. Dalam hati kecil, Anto ingin memutuskan tidak melanjutkan bekerja di sawah Majnun. Tapi ia berfikir ulang, dari mana dia akan mendapatkan uang kalau tidak bekerja sebagai buruh harian di sawah Majnun? Apalagi istrinya sedang hamil dan nanti butuh biaya banyak untuk bersalin. Belum lagi, kebutuhan lain yang harus ditanggung Anto. Saat berpikir jernih, ia pun urung keluar kerja.

Sejak peristiwa itu, Anto menebalkan telinga, dan bungkam seribu bahasa meski Majnun menyumpahi dengan sumpah serapah yang tidak enak didengar. Tak salah, jika orang-orang sebelum Anto pun nyaris tidak pernah bertahan lama selama kerja di sawah Majnun.

DATANG SAKIT...
Jelas, roda kehidupan datang silih berganti. Ada orang yang kaya, ada pula yang miskin. Ada sehat, ada pula sakit. Ada siang, juga malam. Kadang di atas, suatu kali pun bisa jadi berganti ada di bawah. Seperti halnya Majnun, dia tak selamanya menjadi orang kaya yang bisa merendahkan setiap orang yang ada di sekitarnya. Ia juga tak selamanya akan sehat.

Hingga suatu hati, Majnun mendapat ujian dari Allah. Ia sakit. Ia mengalami stroke, tepatnya di kepala bagian kanan. Sakit yang dideritanya itu tak bisa lagi membuatnya pergi untuk berjualan buah. Tak pelak, ia pun hanya terbaring lemah di atas ranjang, menatap langit rumah yang kelam. Ia tidak mampu berkata-kata kasar pada orang-orang disekitarnya. Ia tak kuasa lagi berbicara dengan keras. Tak kuasa bergerak leluasa, bahkan sekadar untuk memalingkan wajahnya ke kiri atau kanan. Ia sudah tak mampu lagi berbuat banyak.

Satu bulan berlalu, sakit yang diderita Majnun ternyata belum pulih. Maka keluarga dan anak-anak Majnun ditikam bingung, pasalnya sudah sebulan itu pula Majnun menginap di rumah sakit dan biaya rumah sakit sudah membengkak tinggi, tetapi Majnun masih saja tak ada perkembangan. Tetapi apa daya, Allah memang belum berkehendak untuk menyembuhkan Majnun dari sakit. Sudah puluhan juta yang dihabiskan untuk mengobati Majnun. Tapi uang puluhan juta itu tidak mampu menyembuhkan sakit yang diderita oleh Majnun. Karena tidak pernah menderita sakit seperti itu sebelumnya, Majnun pun sering menjerit-jerit dengan kencang, dank eras lantaran tak kuasa menderita rasa sakit.

Saat tahu Majnun sakit keras, warga desa ada yang simpati tetapi ada yang girang bukan kepalang. Mereka yang simpati, akhirnya datang membesuk Majnun dan mendoakannya supaya lekas sembuh dan nanti segera bertaubat atas segala kesombongan dan keangkuhannya setelah diuji Allah dari stroke.

Tapi bagi mereka yang girang mendengar Majnun ditimpa penyakit stroke, sama sekali tak mau menjenguk dan mengatakan jika Majnun ditimpa sakit seperti itu, adalah wajar sebab ia orang sombong dan selalu membanggakan dirinya yang kaya raya. Padahal, kekayaannya yang disombongkan itu pun berangsur-angsur digerogoti kebutuhan untuk membiayai perawatan di rumah sakit.

JADI ULAR BESAR KELUAR DARI DALAM KUBUR
Setelah lama terkapar dan tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya sakit yang diderita Majnun mendekati masa kritis, dan puncaknya Allah menghendaki Majnun meninggal dunia. Majnun menghembuskan nafas terakhir seusai menderita sakit yang tak terperikan. Ia menjerit-jerit, hingga akhirnya kesunyian menjadi saksi bahwa Majnun telah meninggal dunia. Kesunyian itu disusul sedih. Tangis istri dan anak-anaknya pecah. Seketika, kamar rumah sakit ramai isak tangis, ratapan dan jeritan.

Setelah keluarga mengurus biaya rumah sakit, almarhum dibawa pulang ke rumah untuk dikebumikan hari itu. Meski Majnun dikenal kurang baik oleh warga kampung, tetap ada sebagian warga yang melayat. Jenazah almarhum kemudian dimandikan, dikafani, dishalati kemudian diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir. Tak ada kejadian aneh yang terjadi waktu pemakaman berlangsung.

Tetapi kejadian aneh berlangsung satu minggu kemudian setelah jenazah Majnun dikebumikan dengan tenang. Sebagaimana umumnya pemahaman sebagian orang kampung Semangka, orang yang meninggal diadakan tahlilan, dan yasinan. Apalagi karena yang meninggal itu adalah orang kaya, maka anak-anak dan isteri Majnun membuat tenda besar di sekitar makam Majnun. Di tenda besar itu, nanti warga desa diundang untuk mengadakan tahlilan dan membaca yasin.

Tak kurang dari empat puluh orang hadir dalam acara tahlilan itu. Tahlilan berlangsung mewah. Bahkan menurut Sanusi (29 thn), seorang warga yang turut diundang tahlilan, menuturkan seusai membaca yasin dan tahlil itu, setiap orang masih diberi uang oleh anak-anak Majnun.

Tahlilan dan yasinan itu dilakukan setelah Maghrib dan rencananya, acara itu akan digelar selama 40 hari. Tapi saat tahlilan dan yasinan itu berlangsung 1 minggu, kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba kuburan Majnun meledak hebat. Orang yang sedang tahlilan kaget, tercekat bunyi ledakan. Apalagi sesaat kemudian, dari dalam kubur muncul seekor ular besar yang menjulur-julurkan lidahnya ke arah warga yang sedang membaca surat Yasin.

Seketika orang yang hadir dalam acara tahlilan itu berhamburan kabur, lari tunggang langgang. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, ular raksasa itu masuk kembali ke kubur yang sudah terbuka.

Kejadian aneh itu ditafsiri warga dengan berbagai cerita. Tetapi, yang jelas di malam itu anak-anka almarhum Majnun segera meminta orang-orang yang ikut tahlilan untuk merahasiakan kejadian aneh tersebut agar tutup mulut, dan setiap orang diberi uang yang lumayan besar.

Tentu saja, cerita tragis yang dialami keluarga Majnun itu bukanlah suatu kebetulan belaka. Lantaran semasa hidupnya, Majnun dikenal sebagai orang yang sombong, angkuh dan punya pesugihan. Padahal, Allah menganjurkan umat Islam supaya tidak sombong sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong, sesungguhnya Allah tak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Lukman: 18).

Selain itu, pesugihan itu adalah syirik dan dosa syirik adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah. Semoga kisah Majnun ini menyadarkan kita!


___________________________________
*) Kisah Nyata ini dimuat di Majalah Hidayah, edisi 76 november 2007






DM - 23. KISAH NYATA : Mata Jenazah Mantan Lurah Nakal Mengeluarkan Nanah Dan Tanah Kuburan Sulit Dicangkul *)





Ruang VIP no. 5 rumah sakit Sekar Maju itu, terasa mencekam. Malam yang merambat pelan seperti menakutkan. Mbah Kusno (60 thn) yang terbujur kaku tak berdaya di atas pembaringan hanya mendesah resah.
Rasa kesakitan tampak dari raut wajahnya yang sudah seminggu terbaring di ruangan itu. Kondisinya memprihatinkan. Tubuhnya lemas, tidak bertenaga. Tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa bergerak, tak bisa berkata apa-apa. Jarum infus tak mampu memulihkan tenaganya untuk berdiri dari pembaringan. Ia terkapar seperti seonggok kayu. Ia terkapar seperti tak berarti. Hanya degup jantungnya yang berdetak dan itu memberi pengertian bahwa dia masih hidup.

Lasmi (50 tahun) yang menunggu tersedu di samping pembaringan suaminya, hanya mampu menangkap makna dan keinginan Trusno dari isyarat bola matanya saat berkedip dan dari gerakan mulutnya yang tidak mengeluarkan suara. Air matanya sudah terkuras habis. Ia sesenggukan dalam sedih. Isak tangisnya nyaris tak terkontrol dan tiba-tiba jerit keras dari mulutnya terdengar melengking di tengah malam yang merana. Di tengah malam yang kelam.

Beberapa saat kemudian, datang dua orang perawat, masuk ke ruangan dan berusaha menenangkan Lasmi. Tubuh Trusno yang panas sekali, membuat Oding (25 tahun), anak laki-laki Trusno tak henti-hentinya menyeka dahi ayahnya dengan handuk basah. Ia tahu, ayahnya sudah berada di ambang maut. Angin malam yang berhembus kencang di luar ruangan, dan menghempaskan dedaunan dan ranting akasia di pelataran rumah sakit seperti mengabarkan tentang berita kematian itu. Ia berekali-kali membisikkan kalimat thayyibah dan berusaha menuntun sang ayah untuk mengikuti gerakan mulutnya.

Entah mendengar bisikan Oding atau tidak, yang jelas Trusno seperti kian ditikam kesakitan. Dia seperti tertindih beban berat yang menimpa tubuhnya dan itu membuat ia kejang-kejang. Mulutnya menganga dan kedua kakinya diangkat mengangkang. Namun tidak terdengar rintihan dari mulutnya, dan degup jantungnya kian terasa pelan berdetak. Hingga akhirnya, tidak terdengar lagi detak jantungnya, tak terendus lagi desah nafasnya. Ia menghembuskan nafas terakhir dalam kesakitan yang menyiksa.

Setelah tahu ayahnya tak lagi bernafas, tak berdegup lagi jantungnya dan juga sudah berada di alam lain, Oding tak lagi membisikkan kalimat thayyibah. Ia seketika tercekat dan tersedu. Lalu disusul isak tangis. Sementara Lasmi menjerit keras, meratapi kepergian sang suami tercinta.

Tahu kalau pasien yang sudah seminggu menginap itu sudah meninggal, kedua perawat segera merawat tubuh almarhum. Kedua kaki almarhum yang mengangkang segera diluruskan. Untunglah, usaha kedua perawat itu tak sia-sia. Kaki almarhum dapat diluruskan dan setelah itu almarhum segera diurus. Sejurus kemudian, almarhum dimasukkan ke mobil ambulans dan jenazah segera dibawa pulang.


MATA KELUAR NANAH.
Mobil ambulans yang membawa jenazah itu tiba di rumah duka, tepat saat matahari sudah muncul dari ufuk timur. Suara sirine ambulans yang meraung-raung memasuki kampung Semangka, segera menjadi tanda kalau di kampung itu ada yang meninggal dunia. Karena tidak ada lagi warga yang menghuni rumah sakit sebagai pasien kecuali Trusno, maka kematiannya segera tersiar. Rumah Trusno seketika dirundung duka. Ratapan serta jerit tangis keluarga dan handai tolan segera membahana.

Semantara itu, warga seketika berdatangan. Maklum, Trusno bukanlah orang biasa. Ia bukan orang sembarangan di kampung Semangka. Ia adalah seorang mantan lurah dan sudah puluhan tahun menjabat lurah. Tak ayal lagi jika banyak penduduk yang datang melayat.

Dua jam setelah kedatangan jenazah di rumah duka, keluarga kemudian memutuskan segera merawat jenazah. Jenazah yang terbaring di ruang tengah lalu diangkat ke tempat pemandian (jenazah) tepat di samping rumah. Tetapi saat jenazah itu siap untuk dimandikan dan kain penutup almarhum disingkap, seketika keluarga dibuat tercengang. Karena dari mata jenazah, tiba-tiba keluar nanah. "Matanya keluar nanah terus. Pokoknya kematian almarhum itu tak lazim atau tidak umum seperti layaknya orang kebanyakan," cerita Sariyem (50 tahun) kepada Hidayah.

Nanah yang mengalir dari mata jenazah itu segera diseka dengan air. Namun, berkali-kali diseka, tetap saja leleran nanah mengalir terus. Diseka lagi, tapi nanah itu mengalir lagi. Nyaris keluarga putus asa dan menyerah. Sebab usaha memandikan jenazah itu tak kunjung usai semata-mata upaya membersihkan leleran nanah itu memakan waktu cukup lama. Hingga akhirnya, leleran cairan putih kekuning-kuningan itu sedikit demi sedikit mereda dan keluarga segera menutupnya dengan kapas. Usai dimandikan, jenazah dishalatkan dan tak lama lagi diberangkatkan.

TANAH SUSAH DICANGKUL
Iring-iringan para pengantar jenazah akhirnya tiba di pemakaman. Setelah memasuki pintu makam dan dekat lubang kubur, akhirnya keranda diletakkan. Jenazah, lalu dimasukkan ke dalam liang kubur.

Setelah jenazah berada di liang kubur dan siap untuk ditimbun kembali dengan tanah, segera para penggali kubur mengambil cangkul dan mengayunkan cangkul pada gundukan tanah yang berada di samping liang kubur. Tetapi saat cangkul itu diayunkan, anehnya cangkul itu seperti membentur tanah gundukan. Berkali-kali cangkul diayunkan untuk membebas tanah gundukan, cangkul itu lagi-lagi membentur gundukan. Tanah itu seakan-akan sudah berubah menjadi batu yang sulit untuk dicangkul. Tanah itu sepeti sudah mengeras.

Toh, jika bisa dicangkul, paling-paling tidak seberapa. Hanya segumpal tanah dan itu tidaklah berarti. Tanah gundukan itu tetap saja susah dicangkul. Padahal saat tanah kubur itu dilakukan penggalian, tidak keras seperti batu. Biasa dan tak terjadi apa-apa. Apalagi, pada saat itu musim penghujan dan tanah kubur gembur. Namun kini tanah kubur tiba-tiba telah berubah seperti batu yang tidak bisa dicangkul.

Kontan, semua para pelayat terbengong-bengong. Heran dan tak habis mengerti. Lalu, tiga orang pelayat yang masih keluarga almarhum turun tangan, mencangkul tanah kuburan. Lagi-lagi, hal yang sama dialami mereka. Tanah kubur tetap keras dan tak bisa dicangkul. Toh, bila ada yang tersangkut di cangkul itu tidak berarti apa-apa.

Keluarga panik setangah mati. Para pelayat juga tak mengerti dengan kejadian janggal ini. Beberapa pelayat lain pun mencoba turun tangan, mengayunkan cangkul dan hasilnya tetap nihil. Lubang kubur itu tetap tak bisa ditimbun kembali dengan tanah. Para pelayat menyerah, putus asa, dan angkat tangan.

“Pak Modin… (orang yang biasa mengurus jenazah di kampung -red), ada apa denan tanah gundukan ini. Kami sudah tidak sanggup mencangkul lagi,” ucap salah seorang pelayat, sambil memandang ke arah pak modin.

“Ya, pak Modin!!! Ada apa dengan semua kejanggalan ini. Padahal, tanah ini tadi bisa digali. Kenapa kini, tanah ini tiba-tiba menjadi keras seperti batu?” kata yang lain.

Pak Modin Suraji (60 tahun) hanya mendesah. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tapi, jenazah harus dikubur. Tanah galian itu haruslah ditimbunkan kembali ke liang kubur. Ia berpikir sejenak, lalu melangkah mendekat ke liang kubur. Sejenak kemudian, dia bercerita tentang kehidupan almarhum di masa lalu….

“Bapak-bapak yang hadir di sini, mungkin ini kejadian aneh yang pernah kita temukan. Tapi di balik semua ini, tentu ada hikmahnya. Mungkin ini balasan Allah terhadap almarhum. Sebab semua yang ada di sini, saya yakin kenal dengan almarhum.” Pak Modin Suraji berhenti sejenak, menarik nafas panjang dan melanjutkan kata-katanya kembali.

“Sebenarnya saya tidak mau menceritakan tentang riwayat almarhum, tetapi saya tak bisa berbuat lain lagi. Ini semua sudah menjadi takdirnya,” ujarnya di hadapan para pelayat.“ Inilah bukti nyata di depan mata kita sebagai balasan dari pemimpin yang lalim. Kita semua tahu almarhum adalah lurah di kampung ini, tapi dia bukannya menjadi panutan malah menjadi orang yang kurang ajar. Ia itu suka mengambil tanah anak yatim, diklaim sebagai tanah milik desa, lalu dijual. Alasannya untuk pembangunan. Padahal, itu adalah untuk menumpuk kekayaan pribadinya. Pemimpin kita ini rupanya juga tak mengindahkan larangan Allah. Ia berbuat zina dan menggauli istri orang,’ lanjutnya mantap di depan para pelayat.

Para pelayat hanya merunduk, menatap muka pak Modin Suraji. Sejenak kemudian pak Modin Suraji melanjutkan kata-katanya, “Perlu diketahui, ia menjabat lurah puluhan tahun, banyak sekali kecurangan telah dia lakukan. Banyak tanah yang tak ada sertifikatnya diklaim miliknya. Bahkan ketika jadi lurah tahun 1970-an, ia menang dengan cara yang curang. Suara calon lain dipindah ke milik dia..”

Para pelayat menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan setumpuk kelakuan jahat dari almarhum. Pak Modin Suraji menarik nafas panjang, kemudian meminta kerelaan kepada para pelayat untuk memanjatkan doa. Hening seketika merangsek di sela-sela daun kamboja. Senyap dan nyenyat terasa saat angin berhembus menghela tubuh para pelayat.

Setelah doa dipanjatkan, pak Modin memerintahkan kepada tiga orang, “Kini, ayo kita timbun lagi liang kubur ini….” Tiga orang segera memegang cangkul dan mengayunkan alat itu ke gundukan di kiri-kanan liang kubur. Di luar dugaan yang hadir di pemakaman itu, ternyata tanah gundukan itu tidak lagi sekeras batu. Satu cangkulan diayunkan, segumpal tanah sedikit demi sedikit menutupi liang kubur itu dan akhirnya kubur Trusno tertutup dengan tanah.

Lalu, para pelayat pulang, beriringan. Di dalam hati mereka, tersimpan catatan muram tentang riwayat almarhum yang dulunya pernah menjadi pemimpin di kampung Semangka itu.


PELAJARAN DARI KISAH INI
Kematian sudah cukup menjadi nasehat bagi mereka yang hidup, demikian kata rasul. Tetapi kata-kata rasul itu kerap tak diindahkan. Seakan kematian itu adalah tragedi biasa yang tak perlu direnungi lagi. Karenanya, setelah kematian berlalu dan lewat, kesedihan dan nasehat dari kematian tak lagi menyentuh hati. Padahal di balik kematian, apalagi kematian yang janggal, kerap memiliki hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran bagi mereka yang hidup. Seperti peristiwa keluarnya nanah saat jenazah mau dimandikan. Juga, kesulitan warga menimbulkan kembali tanah galian ke liang kubur.

Ada apa dengan semua itu? Ada tiga pelajaran yang setidaknya bisa dipetik dari kisah di atas. Pertama, pemimpin harus dipahami sebagai pemegang amanat, bukan pemegang kuasa yang membuat kita lupa, lantas berbuat semaunya dan sewenang-wenang. "Hai orang-orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (al-Maidah: 8)
Kedua, pemimpin harus memberi contoh baik dan melindungi warganya dari perbuatan zina. Eh, bukannya memberi contoh yang baik malahan dia sendiri berbuat zina. Padahal Allah sudah tegas melarang mendekati zina. Jangankan zina, mendekati saja sudah dilarang. Dalam al-Qur`an Allah berfirman “Janganlah kalian mendekati zina (Al-Isra': 32).

Ketiga, Allah memerintahkan kita tidak memakan harta anak yatim Tetapi, pemimpin ini bukannya menyantuni, malah tega berbuat culas, merampas tanah anak yatim, lalu menjual dengan alasan demi pembangunan. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, mereka itu hanyalah memakan api ke dalam perut mereka, dan kelak mereka akan dibakar di dalam neraka.” (An-Nisa`: 10). Karena itu, kejadian aneh saat mata jenazah keluar nanah dan kesulitan para pelayat menimbun kuburannya itu dianggap warga sebagai bukti akan kekuasaan Allah atas apa yang terjadi di muka bumi ini. Wallahu a`lamu bish-shawaab.


_____________________________________

*) Cerita ini dimuat di Majalah Hidayah edisi 58 mei 2008