Di sepanjang jalan itu, seperti
biasanya, hiruk pikuk oleh lalu-lalang orang yang mengadakan transaksi
ekonomi. Memang, di kanan kiri jalan itu banyak berjajar pertokoan. Macam-macam
dagangannya, mulai dari mainan, kuliner hingga kebutuhan pokok sehari-hari.
Sebab tempat tersebut termasuk tempat strategis untuk kegiatan berniaga.
Namun di antara sekian toko itu, ada satu
toko besar yang tampak lebih ramai dibandingkan dengan toko-toko lainnya.
Spanduknya berukuran 5 x 1 m bertuliskan “Toko
Laili”. Barang dagangannya cukup banyak dan beragam. Di toko ini
segala kebutuhan dasar sehari-hari tersedia.
Keduanya terkesiap saat membuka kain
penutup jenazah. Dilihatnya jasad saudara perempuannya itu mirip sekali dengan
kulit kedebong atau batang pohon pisang yang sudah mengering.
Pagi-pagi sekali, Toko Laili sudah buka.
Sebab, saat itulah masyarakat mulai sibuk beraktivitas. Pembeli mengalir tak
henti-henti. Bahkan kadang mengantri cukup lama untuk mendapatkan giliran,
padahal toko-toko sembako serupa tidak jauh dari tempat itu. Mereka menganggap
di toko ini, apa yang mereka butuhkan tersedia sehingga sekali belanja tidak
perlu mencari-cari ke tempat lain. Toh harganya pun standar.
Tentu saja pemandangan ini membuat iri para
pedagang lainnya. Malahan pemilik kios-kios lain seringkali terbengong-bengong
melihat orang hilir-mudik terus di Toko
Laili. Mereka heran kenapa toko itu begitu ramai pengunjungnya
sementara yang lain biasa-biasa saja.
“Mbak
Yu, toko seberang itu kok ramai terus ya?” tanya Umi kepada Sarmi.
“Ya. Padahal dulu keadaannya sama seperti
toko kita,” tukas Sarmi.
“Mbak Yu pernah coba mengulik secara
diam-diam rahasia kesuksesan toko itu?”
“Belum pernah. Tapi dulu sebelum seramai
sekarang, kuperhatikan Laili
sering mencari-cari tabloid atau koran mistik.”
“Terus, apa hubungannya?”
“Di dalam media itu banyak iklan seputar
pelet, jimat-jimat, ajian-ajian, obat-obatan bahkan penglaris.”
“Apa itu penyebabnya, Mbak Yu?”
“Entahlah, kita tidak usah su’u-dzan.”
Keduanya menutup pembicaraan siang itu
sembari memeras otak bagaimana agar dagangan mereka juga bisa ramai.
Rajin ‘Berikhtiar’
Pada hari Sabtu atau Minggu pagi, Laili (35 thn, nama
samaran) memang sering pergi untuk suatu keperluan. Biasanya, ia berangkat
pagi-pagi sekali dan pulangnya menjelang petang. Jika ia pergi, ibunyalah yang
ganti menjaga tokonya. Toko
Laili sebenarnya milik ibunya, namun saat ibunya beranjak tua,
Laili-lah yang meneruskannya.
Laili berpikir bahwa selama ini toko yang
dikelola ibunya itu tak mengalami kemajuan berarti. Memang tetap berjalan
seperti toko-toko lainnya, namun perkembangannya sungguh lambat. Padahal Laili
sudah bermimpi, ke depan tokonya harus lebih besar dengan dagangan yang lebih
beragam.
Sampai suatu ketika ia disarankan oleh
seorang teman untuk mencoba berkonsultasi dengan “orang pintar”. Orang pintar
yang dimaksud adalah seorang dukun yang seringkali didatangi orang-orang yang
punya problem usaha, keluarga serta jodoh.
“Cobalah! Banyak kok orang yang usahanya
kembang-kempis namun setelah ‘berikhtiar’ usahanya menjadi lebih baik!”
temannya meyakinkan.
Semula Laili acuh saja. Namun setelah
dipikir-pikir di rumahnya, ia pun termakan provokasi temannya. “Tak ada
salahnya mencoba, siapa tahu ini adalah jalan keluarnya,” batin Laili.
Entah kenapa mulai saat itu, perempuan satu
ini mulai keranjingan mendatangi dukun, paranormal dan orang-orang yang
disebut-sebut “pintar”. Tujuannya sama, yakni mencari cara agar usahanya jauh
lebih maju. Dari satu orang ke orang lain, dari satu tempat ke tempat lain,
dari satu kota ke kota lain. Ia mulai rajin mencari-cari informasi melalui
koran, tabloid dan majalah, agar mendapatkan sesuatu yang paten yang bisa
mengubah dunianya. Betapa pun harus merogoh koceknya dalam-dalam sebagai mahar,
Laili tidak keberatan asalkan membuahkan hasil.
Beberapa bulan kemudian, upaya Laili
membuahkan hasil. Semakin lama, dirasakan tokonya kian ramai oleh para pembeli.
Malahan kadang-kadang pagi-pagi benar, sudah ada pembeli yang mengetuk rumahnya
untuk berbelanja, padahal tokonya belum juga dibuka. Laili senang. Ini tandanya
ada kemajuan.
Stok dagangan di Toko Laili semakin
menumpuk. Segala kebutuhan masyarakat yang sebelumnya tidak ada dan mesti pergi
ke kota untuk membelinya, kini bisa didapatkan di Toko Laili. Tidak cukup di situ saja, Toko Laili yang tadinya
melayani eceran saja perlahan berubah menjadi agen, yang artinya melayani
partai-partai besar. Untuk itu, Laili mempekerjakan 4 orang untuk membantunya.
Merekalah yang melayani kebutuhan-kebutuhan para pembeli.
Setelah dua tahun lewat, sekarang Laili
bisa tersenyum lebar. Dari belakang meja kasir, ia tampak sumringah melayani
para pembeli. Kini, kunci sukses seolah berada di genggaman tangannya sembari
mengingat bahwa ikhtiarnya selama ini mendatangi satu “orang pintar” ke “orang
pintar” lainnya ternyata cukup manjur. Ia juga percaya, dengan menjalankan
sejumlah ritual yang disarankan usaha yang dilakoninya akan terus meningkat.
Padahal ritual-ritual yang dilakukan itu sejatinya tidak diperkenankan oleh
agama, namun Laili tak peduli yang penting tujuan yang diinginkannya tercapai.
Sebaliknya, pemilik kios lain di sekitarnya
perlahan mulai khawatir. Sebab dari hari ke hari, grafik pembeli mereka terus
menurun. Jika begini terus, bukan tidak mungkin mereka akan gulung tikar sebab
pelanggan satu per satu beralih ke Toko
Laili. Toko itu seolah memiliki magnet yang luar biasa yang bisa
menyedot orang untuk datang dan datang lagi.
Namun lambat laun aroma ketidakwajaran
Laili dalam menjalankan roda usahanya tercium juga oleh beberapa orang di
sekitarnya. Entah dari mana muasalnya, tiba-tiba, beredar kabar seputar ikhtiar
sampingan Laili yang menggunakan penglaris santer terdengar. Dari satu mulut ke
mulut lain, kemudian menyebar. Rupanya dugaan Mbak Yu Sarmi tentang kesukaan
Laili mencari info tentang penglaris dan semacamnya mendekati kebenaran.
Laili tidak menanggapi isu yang berhembus
tersebut tetapi juga tidak menampik. Ia pun beranggapan tidak ada yang salah
dengan dirinya.
“Sah-sah saja bukan? Aku tidak merugikan
orang lain,” gerutu Laili mendengar selentingan orang yang mencibir ikhtiarnya.
Di seberang jalan, tampak Mbak Yu Sarmi dan
Umi seperti biasa bercengkerama.
“Mbak Yu, dugaanmu sepertinya benar.
Ternyata orang-orang banyak membincang kesuksesan Laili yang diperoleh melalui
cara mencari penglarisan,” kata Umi agak serius.
“Biarlah... Kenapa kita ikut repot? Baik
atau buruk, toh pelakunya sendiri nanti yang akan menangung resikonya,” jawab
Mbak Yu Sarmi.
Seiring perjalanan waktu, berita itu sirna
dengan sendirinya. Nyatanya tak berdampak apa-apa terhadap usaha Laili.
Dagangan Laili tetap lancar dan sukses.
Layu dan Tua Renta
Usaha Laili sukses sehingga menempatkan
dirinya sebagai seorang juragan baru yang kaya. Laili sesungguhnya tak bakal
menyangka kesuksesan yang diraihnya bakal secepat ini. Hanya dalam hitungan
kurang dari 5 tahunan, semuanya berubah. Sang ibu pun senang mendapati anaknya
yang mewarisi usaha dagangnya bisa lebih sukses dan maju pesat.
Sayangnya, Laili tak bisa merasakan
kesuksesannya lebih lama. Di saat usahanya mengalami kemajuan, mendadak
perempuan ini jatuh sakit. Ia mengira dirinya terlalu letih akibat memforsir
fisiknya sehingga menyebabkan dirinya drop. Karena itu, ia hanya minum obat
yang tersedia di tokonya serta memperbanyak istirahat saja di rumah. Akan
tetapi dugaan Laili meleset sebab makin lama penyakitnya justru makin parah.
Usaha dibawa ke medis sudah dilakukan. Berbulan-bulan penyakitnya tak kunjung
sembuh dan akhirnya ajal pun tiba.
Kontan saja berita kematian Laili menyebar.
Keluarga dekat berkumpul, tak terkecuali Nursalim
dan Mustakim,
dua saudara lelaki Laili. Mereka bahkan siap membantu prosesi memandikan
jenazah. Akan tetapi sebelumnya ia berniat melihat wajah saudara
perempuannya itu untuk terakhir kalinya.
Saat menyingkap bagian muka, terlihatlah
wajah Laili yang aneh sehingga mengagetkan mereka. Wajah itu berkerut-kerut,
layu sekali dan terlihat seperti wajah nenek tua renta padahal ia masih tergolong
muda (sekitar 40-an thn). Bukan di bagian muka saja, di bagian leher, kemudian
di lengan kanan kiri, kaki kanan kiri yang terbuka semuanya tampak layu seperti
pepohonan yang meranggas. Mereka tak berani memegang kulit saudara perempuannya
yang berbeda sekali dari kulit aslinya. Jasad saudara perempuannya itu ternyata
mirip sekali dengan kulit kedebong pisang yang sudah mengering.
“Astaghfirullah...
Bagaimana bisa terjadi?” tanya Nursalim.
Saudara lelakinya itu hanya menggelengkan
kepala. Ia juga bingung sekali dan tak habis pikir kenapa bisa demikian.
Padahal sebelumnya kulit saudara perempuannya masih biasa-biasa saja. Tak ada
yang aneh, tetapi begitu disingkap bagian mukanya saat hendak dimandikan seolah
semua kulit yang terbuka itu mirip dengan kulit kedebong pisang.
“Kita panggil ustadz saja!?”
Tak beberapa lama kemudian, sang ustadz
sudah tiba di tempat itu. Setali tiga uang, ia pun tercengang mendapati
pemandangan demikian namun segera menguasai diri. Tak lama kemudian berdoa agar
prosesi jenazah dari awal hingga akhir dimudahkan oleh Allah swt. Sang ustadz
tak dapat menyembunyikan keheranannya atas pemandangan yang baru saja
dilihatnya. Sementara Ibu Laili pun tak kuasa menahan kesedihannya.
Peristiwa di tahun 80-an ini sungguh di
luar dugaan. Memang hanya beberapa orang saja yang melihatnya, namun berita
perubahan kulit Laili menjadi berkeriput dan sangat tua itu sempat menjadi buah
bibir masyarakat. Sebagian orang kemudian mengaitkan dengan cara Laili
menjalankan usahanya sewaktu hidupnya. (Seperti
diceritakan IS kepada Hidayah)
________________________________________________________
Sumber :Herry Munhanif Majalah
Hidayah
http://serpihanfb.mywapblog.com/hikayat-jenazah-pesugih-kulitnya-serupa.xhtml