Berikut ini adalah beberapa hasil keputusan Nahdlatul Ulama’ dalam
Muktamar, Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar, serta hasil Bahtsul Masail
yang berkaitan dengan permasalahan jenazah
1. Memagar tembok kuburan pribadi/keluarga
(Muktamar NU ke-1 di Surabaya, 21 Oktober 1926)
Soal : Bagaimana hukumnya membangun kuburan dan memagar tembok pada
tanah makam milik keluarga/pribadi ?
Jawab : Membangun kuburan dan memagari tembok pada tanah kuburan milik
pribadi/keluarga dengan tidak ada suatu kepentingan, hukumnya makruh.
Sumber : kitab I’anatut Tholibin)
2. Menghias kuburan dengan kain
sutra.
(Muktamar NU ke-1 di Surabaya, 21 Oktober 1926)
Soal : Bagaimana menghias kuburan dengan kain sutera atau lainnya?
Jawab : Menghias kuburan selain Rosululloh SAW dengan kain sutera
(harir) hukumnya haram, dan dengan selain sutera hukumnya makruh.
Sumber : Kitab Tarsyihul Mustafidin)
3. Boleh Mengubur Mayit
Didalam Peti
(Muktamar NU ke-4 di Semarang, 19-09-1929 M)
Soal : Bagaimana pendapat Muktamar tentang kuburan
yang mengeluarkan air dan selalu tergenang air sebelum selesai penguburan
mayat? Apakah penguburan di tanah tersebut termasuk penghinaan kepada mayat?
Kalau demikian halnya, apakah mayat wajib dikuburkan didalam peti yang dapat
mencegah masuknya air? Ataukah sama sekali tidak diperbolehkan mengubur mayat
di tanah tersebut?
Jawab : Memang benar, mengubur mayat didalam kuburan yang mengeluarkan
air itu termasuk penghinaan kepada si mayat, dan menhgubur mayat didalam peti
itu hukumnya boleh (tidak makruh), menurut keterangan didalam kitab Tuhfah.
Sedang menurut kitab I’anatut Tholibin diterangkan : apabila keadaannya
demikian, maka menguburnya didalam peti itu hukumnya wajib.
Sumber : Kitab Tuhfah, bab ad-Dafni, dan kitab I’anatut
Tholibin juz 2 bab ad Dafni
4. Mencabut gigi emas
pasangan
(Muktamar NU ke-6 di Pekalongan, 27 Agustus 1931)
Soal : Bagaimana hukumnya mayat yang memakai gigi emas. Apakah wajib
dicabut atau boleh dikubur bersama gigi emasnya?
Jawab : Apabila mencabut gigi emas tersebut menodai kehormatan mayat,
maka hukumnya haram. Apabila tidak menodainya, dan ia adalah mayat lelaki
dewasa maka wajib dicabut, dan apabila ia mayat perempuan atau anak kecil maka
terserah kerelaan ahli warisnya.
Sumber : Kitab An-Niahayah : fi bab al-libas, yang diterangkan
didalam kitab I’anatut Tholibin dan kitab Mursyidul Anam)
5. Cara merawat jenazah dari salah satu anak kembar siam
(Muktamar NU ke-6 di Pekalongan, 27 Agustus 1931 M)
Soal : Bagaimana cara merawat jenazah dari salah satu anak kembar
yang melekat (kembar siam)?
Jawab : Apabila mayat tersebut dapat dipisahkan dengan tidak
membahayakan yang hidup, maka wajib dipotong dan dipisahkan. Apabila tidak
dapat dipisahkan, maka jenazahnya harus dirawat sedapatnya. Misalnya:
memandikan, mengkafani dan mensholatinya, tetapi tidak boleh dikubur, sehingga
hancur dan rontok, dan rontokannya harus dikubur. Hal ini diqiyaskan dengan
keterangan dalam kitab Mujairimi ’Alal Wahhab
Sumber : Kitab Mujairimi ’Alal Wahhab : fi Bab Dafnil Mayyit)
6. Menyuntik
Mayat untuk mengetahui penyakit yang menjalar
(Muktamar NU ke-6 di Pekalongan, 27 Agustus 1931 M)
Soal : Bagaimana hukumnya menyuntik mayat untuk mengetahui penyakit
yang menjalar?
Jawab : Menyuntuk mayat hukumnya haram, karena menodai kehormatan mayat.
Hal ini diqiyaskan dengan keterangan didalam kitab Mauhibah Dzil Fadhl : bab
janazah.
Sumber : Kitab Mauhibah Dzil Fadhl : bab janazah.
7. Merawat jenazah yang tidak pernah sholat dan puasa
(Muktamar NU ke-8 di Jakarta, 7 Mei 1933 M)
Soal : Ada seseorang yang tidak pernah sholat dan puasa selama
hidupnya. Ia adalah putra Indonesia sewaktu mafat. Apakah ia dirawat sebagai
orang Islam ataukah tidak?
Jawab : Betul, ia harus dirawat sebagai orang Islam, karena dia itu
orang Islam selama tidak menyatakan kekufurannya, baik dalam perkataan maupun
perbuatan.
Sumber : Kitab Bujairimi ’Alal Iqna’, juz 4 akhir bab Janaiz, dan
kitab Bughyatul Mustarsyidin.
8. Ditemukan tulang mayat
lama ketika menggali lubang kubur
(Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, 23 April 1934 M)
Soal : Jika menggali kubur ditemukan tulang mayat lama, apakah
penggaliannya boleh diteruskan dan ditanami mayat batu, ataukah harus pindah ke
tempat lain?
Jawab : Sesungguhnya hukum menggali kuburan lama, apabila ada
tanda-tanda yang kuat bahwa mayatnya sudah hancur, maka hukumnya jaiz (boleh).
Kemudian apabila ditemukan tulang belulang sebelum sempurna penggaliannya, maka
harus dihentikan dan berpindah tempat. Akan tetapi kalau penemuan tulang itu
setelah penggalian sempurna, maka tidak wajib pindah tempat, dan boleh menanam
mayat baru di tempat itu, sedangkan tulang belulang yang ditemukannya supaya
ditanam kembali.
Sumber : Kitab Fathul Jawwad juz 1 : fi kitabil Janaiz; dan
kitab Al-Umm juz 1).
9. Talqin Mayat setelah
dikubur.
(Konbes Pengurus Syuriah NU ke-2 di Jakarta, 11-13 Oktober 1961 M)
Soal : Apakah talqin mayat sesudah dikubur itu terdapat dalil dari
hadis dan qoul ulama’ yang mu’tabar, ataukah tidak?
Jawab : Bahwa mentalqinkan mayat yang baru dikuburkan itu terdapat dalil
dari hadis dan pendapat ulama’ mu’tabar. Imam bawawi menyatakan bahwa sanad
hadis talqin yang diriwayatkan oleh Abi Umamah adalah dho’if. Akan
tetapi ke-dho’if-annya sudah disokong dengan hadis-hadis lain, seperti tatsbit
(keteguhan dan ketabahan dalam menjawab pertanyaan malaikat) dan hadis
wasiat Amr bin Ash (tentang memberi hiburan ketika ditanya malaikat). Serta
arti hadis “mautakum” dengan orang yang sudah mati menurut hakikat,
bukanlah orang yang akan mati menurut pengertian majaz. Menurut madzhab
syafi’iy yang kuat bahwa talqin itu hukumnya sunnah. Diantara ulama yang
berpendapat demikian adalah al-Qadhi Husain, al-Mutawalli, Nashr al-Muqaddasi,
al-Rafi’iy dan lain-lain.
Adapun dalil hadis serta qoul ulama’ tercantum didalam kitab : Al-Majmu’,
V/304; An-Nihayah, III/40; Dalilul Falihin, VI/57; I’anatut
Tholibin, II/40; Kanzul Ummal,
II/19; Matn al-Raudh; Al-Tuhfah, III/207; Al-Mughni, I/367.
Abu Umamah al-Bahli r.a. berkata, “Jika aku mati,maka
perlakukanlah oleh kalian kepadaku sebagaimana yang diperintah oleh Rosululloh
utnuk kita perlakukan terhadap orang yang mati kita.” Rosululloh SAW
memerintahkan dengan sabdanya :
إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمْ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ
فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ, ثُمَّ
لْيَقُلْ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ, فَإِنَّهُ يَقُوْلُ أَرْشَدَنَا
يَرْحَمُكَ اللَّهُ. وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُوْنَ. فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ
مِنَ الدُّنْيَا وَ هُوَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ
اَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللَّهِ رَبًّا وَ بِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَ بِمُحَمَّدٍ
نَبِيًّا وَ بِالْقُرْآنِ إِمَامًا,
فَإِنَّ مُنْكَرًا وَ نَكِيْرًا يأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ
صَاحِبَيْهِ وَ يَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا
“Bila
seseorang dari kalian meninggal dunia maka timbunlah kuburannya dengan tanah
sampai rata. Dan hendaknya salah seorang diantara kalian berdiri di atas
kuburannya, kemudian berkata: “Wahai Fulan bin Fulanah”. Orang yang mati itu
akan menjawab : “Beri aku petunjuk, semoga Alloh SWT memberikan rahmat
kepadamu”. Namun kalian (orang-orang yang mentalqin) tidak merasa (= tidak
mendengar) jawaban si mayit tersebut. Kemudian orang yang mentalqin tersebut
agar berkata: “Sebutkan, bahwa engkau tidak keluar dari dunia ini kecuali telah
bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Alloh SWT dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya, dan engkau rela Alloh SWT sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu,
Muhammad sebagai Nabimu, dan Al-Qur’an sebagai imammu. Sesungguhnya malaikat
Munkar dan Nakir masing-masing akan memegang tangannya seraya berkata: “Mari
pergi dengan kami ….”. (Al-Hadis)
10. Mengambil bola mata
jenazah untuk mengganti bola mata orang buta
(Muktamar NU ke-23 di Solo, 25-29 Desember 1962 M)
Soal : Bagaimana
pendapat Muktamar tentang ifta (fatwaa) mufti Mesir yang memperbolehkan
mengambil bola mata mayit untuk mengganti bola mata orang buta? Benarkah fatwa
tersebut?
Jawab :
Bahwa ifta (fatwa) mufti Mesir itu tidak benar, bahkan haram mengambil
bola mata mayit, walaupun mayit itu tidak terhormat (ghairu muhtarom) seperti
mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan
anggota manusia lain, karena bahayanya
buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.
Nabi
SAW bersabda
“Pecahan
tulang orang yang mati itu sama dengan pecahan tulangnya ketika masih hidup”
(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sumber :
Kitab Hasyiyah Al-Rasyidi ‘ala Ibnil Imad, hal. 26.
11. Memindahkan kuburan ke tempat lain
(Muktamar NU ke-25 di Surabaya, 20-25 Desember 1971)
Soal :
Bolehkah memindahkan kuburan ke tempat lain, dan mendobelkan kuburan di dalam
satu tempat? (Dari Jakarta)
Jawab
: Memindahkan mayit dari satu kuburan ke kuburan yang lain, haram
hukumnya, kecuali karena dharurat. Adapun mendobelkan kaburan di satu tempat,
boleh hukumnya dengan syarat harus seagama dan sama jenis kelaminnya.
Sumber :
Kitab Al-Mahalli, I/252
12.
Pemindahan komplek makam
(Munas Alim Ulama NU di PP Qomarul Huda Bagi Pringgarata Lombok
Tengah NTB, 17-20 Nopember 1997 M)
Dengan berbagai macam alasan, dewasa ini makin banyak kompleks
makam atau makam seseorang dipindah ke tempat lain.
Soal :
Bagaimana hukum pemimdahan kompleks makam dan makam seseorang ke tempat lain?
Jawab
: Pemindahan kompleks makam dan makam seseorang ke tempat lain
hukumnya tafshil:
1. Pemindahan makam ke tempat lain haram hukumnya, kecuali menurut
mazhab Hanafi.
2. Memindah mayat seseorang dari makamnya ke tempat lain menurut
mazhab Syafi’i hukumnya haram, kecuali karena darurat. Sedangkan menurut mazhab
Maliki hukumnya boleh dengan syarat :
a. tidak terjadi perusakan pada tubuh mayat
b. Tidak menurunkan martabat mayat
Pemindahan
tersebut atas dasar maslahat.
Sumber :
1. Al-syarqawi’alal
Tahrir Juz II,hlm.78.
2. Al-Jamal’alal
Minhaj Juz II,hlm.218.
3. Nihayatuz
Zain,hlm.155.
4. Al-Fiqh’ala
Madzahibul Arba’ah,Juz IV,hlm.537
13.
Mengakhirkan penguburan Jenazah
(Muktamar NU ke-32 di Makassar, 22-27 Maret 2010)
Pengurusan
jenazah hukumnya Fardhu Kifayah, dan anjuran Rasulullah saw dalam hal
ini adalah disegerakan. Namun kadangkala pada praktiknya muncul beberapa
masalah karena berkenaan dengan kepentingan studi, penyelidikan hukum atau
adat. Seperti penyelidikan terhadap pembunuhan, pelatihan medis untuk operasi
bedah dan di beberapa daerah kota Bandung dengan mengakhirkan pemandian jenazah
dikarenakan takut munculnya hadats dan najis berkali-kali. Program
kedokteran sedang berencana melakukan pengawetan jenazah untuk kepentingan
studi, di mana pihak calon mayyit telah berwasiat dan disetujui oleh
keluarganya untuk menjadi bahan latihan tenaga medis. Kemudian setelah
meninggal dunia jenazahnya tersebut diawetkan dalam batas waktu tertentu untuk
bahan latihan para calon dokter. Setelah digunakan untuk latihan, kemudian
mayyit tersebut dirapikan kembali dan dilakukan prosesi penguburan jenazah
sebagaimana mestinya menurut ajaran Islam. Dengan deminkian, otomatis hal ini
menimbulkan masalah tertundanya penguburan mayyit, baik karena otopsi,
pengawetan mayyit atau karena ikut adat setempat.
Pertanyaan:
1. Bagaimanakah hukum pengakhirkan pemakaman mayyit, baik karena
tujuan otopsi, studi dan mensucikan mayyit?
2. Bolehkan membedah jenazah
setelah lama diawetkan untuk kepentingan studi
3. Berapa lama batas
mengakhirkan penguburan mayyit
Jawaban:
1. pengakhirkan pemakaman mayit diperbolehkan apabila; (1) untuk
keperluan penegakkan hukum; (2) untuk
keperluan studi boleh, tetapi menggunakan mayit ghairu maksum al-dam.
Dalam kondisi darurat boleh menggunakan mayit maksum al-dam; (3) untuk
mensucikan mayit yang mengidap penyakit menular. (PWNU) Seharusnya “….. harus
ditunda penyuciannya, karena alasan medis yang menurut dokter harus dimandikan
secara khusus”.
2. Jawaban
masuk pertama.
3. Batas
mengakhirkan penguburan mayit adalah sampai khaufut taghayyur (mayit
berubah) atau sampai selesainya kebutuhan di atas.
Sumber pengambilan dalil
dari kitab:
1). Mughnil Muhtaj, I/490;
2). Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, III/521-522; 3). Kasyi
fatus Saja, 96; 4). Fiqhun
Nawazil, II/46-47;
14. Mencampurkan jenazah muslim dan non muslim dalam satu kuburan
atau satu Tempat Pemakaman Umum (TPU)
(Muktamar NU ke-32 di Makassar, 22-27 Maret 2010)
Konsekuensi
logis dari semakin banyaknya populasi penduduk adalah sempitnya lahan tanah,
terutama di kota-kota besar, sehingga sulit menemukan banyak lahan kosong untuk
menjadi tempat pemakaman umum. Dampaknya, muncul fenomena di mana tanah yang
dikhususkan untuk kuburan semakin sulit dan sempit. Hal ini mendorong beberapa
pemerintah daerah / kota mengalokasikan sebidang tanah khusus untuk kuburan
atau yang disebut TPU (Tempat Pemakaman Umum). Di TPU ini sering terjadi
penguburun suatu jenazah di tempat jenazah lainnya yang sudah lama dikuburkan,
sehingga terjadi penumpukan jenazah baru dengan jenazah yang lama yang sudah
hancur dalam satu lobang kuburan, baik antara sesama muslim maupun antara
jenazah muslim dengan non muslim di satu tempat.
Pertanyaan:
1. Bagaimanakah hukum
mencampurkan jenazah / mayyit baru dengan yang sudah hancur dalam satu tempat
kuburan, baik antara sesama muslim atau dengan non-Muslim?
2. Bagaimana hukum
mengumpulkan kuburan jenazah muslim dengan non muslim dalam satu area
Tempat Pemakaman Umum?
3. Apa dlawâbith (batasan) berkumpul dan tidak berkumpul satu
lobang?
Jawaban:
1. Mencampurkan jenazah / mayyit
baru dengan yang sudah hancur (tulang-tulangnya) dalam satu tempat kuburan,
baik antara sesama muslim atau dengan non-Muslim hukumnya tafshil; jika
yang dikubur sesama muslim atau yang lama non muslim sedang yang baru muslim
hukumnya boleh; jika yang lama muslim dan yang baru non muslim hukumnya tidak
boleh kecuali dlorurat; jika masih ada tulang-belulangnya hukumnya tidak boleh
kecuali penggalian tanah sudah mencapai batas layak untuk mengubur.
2. Tidak diperbolehkan kecuali dalam
keadaan darurat.
3. Batasan berkumpul adalah sekira
mayit atau tulang belulangnya berkumpul dalam satu lobang dengan tanpa batas pemisah.
Sumber pengambilan dalil dari kitab :
1). Hasyiyah al-Bajuri ‘Alal
Khotib, I/259, VI/187; 2). Hasyiyah
Al-Jamal, VII/189; 3). Mughnil
Muhtaj, IV/338; 4). Al-Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah,
I/847; 5). Tuhfatul Muhtaj,
III/172; 6). Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah, XI/20; 7). Matholib
ulin Nuha, I/922: 8). Al-Furu’
Libni Muflih, VI/270; 9). Kasyaful
Qina’, III/129; 10). Hawasyi
al-Syarwani wabni Qasim Al-Abbadi, III/173;
---------------------------------------------------
Sumber : Buku “Tatacara
NU Merawat Jenazah”, oleh Tim Penyusun PCNU Kota Surabaya, diterbitkan
oleh PC.LTNNU Kota Surabaya, cet.1 - 2011.