Saturday 15 November 2014

Do'a Untuk Almh, Hj. Muti'ah - (Indahnya Wafat di Tanah Suci 8)


Mengenang 40 Hari Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.
[*Lahir di Surabaya: 01-09-1970           * Wafat di Makkah: 13-10-2014]




  DOA PENUTUP





Ya Alloh ... Ya Robb!

Terimalah seluruh amal ibadah dan amal sholeh Muti’ah binti KH  Muhammad Basori Mansur!. Mabrurkan ibadah haji dan umrohnya! Kabulkan seluruh doa yang pernah dipanjatkannya selama di Tanah Haram untuk kebaikan anak dan keluarganya!



Ya Alloh ... Ya Robb!

Ampunilah dosa-dosa Hj. Muti’ah Hambari (Muhammad Basori Mansur)! Rahmati dia! Selamatkan dia! Ampunilah kesalahan-kesalahannya! Muliakan tempat tinggalnya! Luaskan kuburannya! Masukkan dia ke sorga Jannatun-na’im, berkumpul bersama dengan para nabi-rosul, shiddiqin, syuhada’, sholihin, auliya’ dan ‘ulama’ ‘amilin. Serta peliharalah dia dari siksa kubur dan neraka.





Ya Alloh ... Ya Robb!

Jangan Engkau halangi kami se keluarga untuk memperoleh pahalanya. Jangan Engkau beri kami sekeluarga sesuatu fitnah sepeninggalnya. Dan anugerahkan kepada kami “wafat” di salah satu dari dua Tanah Haram : Makkah-Madinah, sebagaimana yang telah Engkau anugerahkan kepada istri kami, Hj. Muti’ah Hambari.




Ya Alloh ... Ya Robb!

Terimalah seluruh amal ibadah & sholeh kami, lalu  kirimkan pahala dari semua amal ibadah & sholeh tersebut sebagai “hadiah” dari kami untuk:  Nabi Muhammad saw, para istri beliau, anak-anak keturunan beliau, para ahli bait beliau, para sahabat beliau, para tabi’in dan tabi’it tabi’in; dan juga untuk para nabi dan rosul, syuhada’,  sholihin, auliya’, ulama’ ‘amilin; dan juga untuk seluruh muslimin-muslimat, dan mukminin-mukminat, baik yang masih hidup (pada saat ini sampai hari kiamat) maupun yang sudah wafat (sejak dari jamannya Nabi Adam sampai sekarang): khususnya bapak-ibu kami, kakek-nenek kami, sanak-saudara-kerabat kami, para kiyai-guru kami, dan terutama sekali untuk Abah KH Muhammad Basori Mansur dan istri kami, Hj. Muti’ah Hambari.  



Ya Alloh ... Ya Robb!

Berilah pahala pada kami sekeluarga atas musibah yang menimpa, sehubungan dengan meninggalnya istri kami, Hj. Muti’ah Hambari. Sebagai akibat dari musibah tersebut, maka berilah kami sekeluarga suatu ganti berupa kondisi kehidupan (di berbagai bidang) yang lebih baik, lebih berkah, lebih maslahah, lebih manfaat dan lebih berkualitas di masa-masa mendatang, daripada sebelumnya.




Robbanaa aatina fiddunyaa hasanah, wafil aakhiroti hasanah, waqinaa ‘adzaabannaar. wa adkhilnal jannata ma’al abrror, yaa ‘Aziiz, yaa Ghoffaar, yaa Robbal ‘aalamiin.



Washollalloohu ‘alaa sayyidinaa Muhammad, wal hamdu lillaahi robbil ‘aalamiin.  Aamiiin.
 







Kesan-Kesan & Kesaksian (Istisyhad) 2 - (Indahnya Wafat di Tanah Suci 7)


Mengenang 40 Hari Wafatnya Hj. Muti’ah Hambari, S.Si. Apt.
[*Lahir di Surabaya: 01-09-1970           * Wafat di Makkah: 13-10-2014]



KESAN-KESAN DAN KESAKSIAN BERBAGAI KALANGAN - 2





12. Yani Roudloh :  
[Santri & pengurus RTI; Tenaga kependidikan di SD Mursyidah Tambos Sby].

Seorang Pribadi Yang Sederhana
Dan Murah Senyum


Ustadza Hj.Muti’ah, seorang pribadi yang ramah dan juga lucu. Meski putri seorang Kyai yang biasanya rata-rata suka dilayani, tetapi beliau tidak. Beliau seorang pribadi yang sederhana dan murah senyum. Bahkan beliau pernah bersih-bersih pondok sendirian.
Sewaktu saya jadi panitia ujian, beliau pun nggak mau menyusahkan panitia. Beliau ketik sendiri materi, teks soal dan nilainya. Beliau malah membantu kami. Kami semua kangen sama nasehat-nasehat dan senda gurau beliau.
Keinginan beliau: travel pondok bukan lagi ziarah Walisongo, tapi Travel Umroh. Subhanallah...
_______________


13. Sholihah Jauhari :  
[Anggota Dharma Wanita SMPN 1 Cerme & Pengasuh TPQ  Al-Hijrah Cerme Gresik. Tinggal di Tegalsuruh Cerme Kidul].

In Memorium: 
Muti’ah Binti Muhmmd Basori Ms

Muti’ah, “Wanita yang ta’at”, namamu

Nama yang pas dengan pribadimu

Kau abdikan diri kepada Tuhanmu

Kepada keluarga, suami dan bundamu

Peluk cium melepas pergimu ke Tanah Suci

Penuhi panggilan ibadah di bumi haram

Teriring do’a setulus hati nan suci

Sembah sujud dalam busana ihram

Seorang sahabat yang tak kulupakan

Aku tak tahu kapan rindu terobati

Dalam duka-suka tugas tetap kau jalankan

Atsar baikmu tetap berkesan di hati

Siang itu tiba tiba berita datang

Tigabelas Oktober dua ribu empat belas

Seolah tak percaya ajal menjelang

Meski hati tetap rela dan ikhlas



Yang menjadi Kenangan
Aku sering merepotkan beliau, meskipun jauh tempat tinggalku dengannya. Kalau anakku atau keluargaku sakit, aku selalu konsultasi dengannya walau tengah malam sekalipun. Beliau tetap melayaninya dengan baik, bahkan pagi harinya obat sudah dikirimkan. Dan itu tidak hanya terjadi dengan keluargaku, tetapi para tetangganya pun bercerita sama dengan yang aku alami.
Pernah anakku yang tertua keguguran pada kehamilan pertama dan setelah itu lama tidak ada tanda tanda kehamilan lagi. Tentu saja aku sangat khawatir. Ketika ada kesempatan pada pertemuan “Darma Wanita” SMPN 1 Cerme aku gunakan kesempatan untuk berkonsultasi sebanyak banyaknya dan sepuas puasnya. Bahkan, beliau langsung memberikan resep kepadaku. Sore harinya aku berikan kepada anakku agar segera mencari obat ke Apotik sesuai dengan resep dari bu Muti’ah. Alhamdulillah, atas iradah Allah, dua bulan berikutnya setelah menggunakan resep tersebut anakku hamil dan melahirkan bayi perempuan cantik dan sehat yang diberi nama “Almas Lidzi Qudwah”, panggilannya “Lady”, sebuah nama yang menurut aku indah dan bagus, hasil racikan berdua; suamiku (Arsyad jauhari) dan suami bu Muti’ah (Ust. Suchaimi).

Ketika mengenang masa kecilnya
Beliau penah bercerita tentang masa kecilnya, diantaranya adalah kenangan bersama ayahnya. K.H.M. Basori Mansur memang ditakdir  Allah ada masalah pada penglihatannya, tetapi beliau tetap konsisten mengajar dan mendidik para santri. Allah memberi kelebihan pada beliau terutama dalam hal membaca dan mengkaji kitab-kitab kuning. Karena masalahpenglihatannya tersebut,  maka dalam urusan rumah tangga, bu Nyai-lah yang banyak berperan. Untuk urusan sangu sekolah pun Muti’ah kecil minta pada bu Nyai (ibunya). Suatu hari ia bilang pada ayahnya: “Abah, minta uangnya bah, untuk beli jajan... Aku kok minta ibu terus... Abah tidak pernah kasih”.“Oh..., ya Insya Allah, besok tak kasih uang”, jawab bapaknya.


Malamnya, ayahnya (K.H.M. Bashari Mansur) membuat teks contoh pidato/ceramah lalu difoto copy dan dijual kepada para santri, hasilnya diberikan semua kepada Muti’ah kecil.
Bu Muti’ah, ketika itu sedang mengenang kasih ayahnya dan aku melihat dia sambil mengusap air mata. Ketika aku menulis memori ini, aku teringat bu Muti’ah kala itu, dan aku pun tak kuasa menahan air mataku.
Selamat jalan bu Muti’ah. Kiranya Allah memilihkan yang terbaik buat ibu. Rahmat dan maghfiroh Allah semoga tetap tercurahkan kepada ibu, dan semoga ibu segera bertemu dengan Ayahanda tercinta serta kakek-nenek dan kerabat-kerabat setia.


_____________


14. Hedi Diana Mazmoen : 
[Adik Ipar; tinggal di Jakarta / Tangerang].

… nggak Pelit Uang,   nggak Pelit Tenaga


Mbak Muti’ itu baiiik banget. Gak pernah marah. Dia gak pernah bilang ‘tidak bisa atau tidak boleh’, dia selalu bilang ‘yaa, gak papa, yaa boleh’. Dia juga murah senyum. Sama Thebba sayaaang banget. Dia selalu gampang dimintai tolongnya, gak pelit uang, gak pelit tenaga, itulah ning Muti’...  miss u a lot ning mutik. Semoga Allah memberikan tempat yang indah untuk sampeyan.

4 tahun..ya hanya 4 tahun saya bisa mengenal mbak Muti’. tapi walau hanya 4 tahun saya sudah senang banget bisa kenal, akrab, dan mengetahui mbak Muti’ seperti apa. Dia sosok yang baik, tidak peranh marah, murah senyum, gampang di mintai tolong, apalagi kalo Faza (Ibni Faza) sakit, dia sangat perhatian tanya perkembangan Faza bagaimana. Kesan mendalam saya sama mbak Muti’ adalah dia mau dengerin curhatan saya. Karena semua orang bisa jadi tempat curhat, tapi untuk jadi pendengar yngg baik itu susah. Dia selalu dengerin sampai cerita saya habis biar dia kasih masukan. Pokoknya sosok mbak Muti’ itu sangat keibuan. saya bersyukur bisa mengenal dia. Rasanya seneeeng banget bisa kenal dia.



Saya tahu hubungan mas Imun dengan mbak Muti’ itu dekat begitu, karena saking dekatnya dia gak bisa cerita tentang mbak Muti’. Tapi mas Imun selalu bilang kalo Neng Muti’ itu seperti ibu keduanya. Karena Neng Mutik selalu ada dan selalu dengerin keluh kesah mas Imun jika lagi lelah pulang kerja. Makanya Neng Muti’ meninggal, dia sangat amat kehilangan sosok yang biasa dengerin dia cerita.

Kalimat terakhir yang diucapkan waktu kami mau balik ke Jakarta yaitu ketika mau masuk tol Pejagan Brebes - Tol Palikanci : "Sudah sampai mana Hed?". Sya jawab: "Mau masuk tol mbak”. Kata dia:  “Ooo ya, sudah… hati-hati, kalo cape’ istirahat aja. Daa…daa.. Faza… sampai jumpa tahun depan!”.

Hmmm sediih ingat itu. jika lewat situ pasti Mas Imun sedih banget. Tapi mbak Muti’ tenang aja.. .kami semua sayang sama Thebba,  kami semua pasti akan mengurus Thebba dengan senang hati. Kami akan jaga Thebba... sebagai rasa sayang kami ke mbak Muti’. we miss u mba Muti’...
 

_____________


15. Drs. H. Saiful Islam Ali As-Siddiqi:  
[Tinggal di Bulakbanteng Kenjeran Surabaya, asal  dari keluarga pengarang Sholawat Badar, Rengel Tuban; pengasuh TPQ Syi’ar Islam; penulis berbakat; Direktur penerbit A’mantra Surabaya].


Almarhumah Mut’iah Suchaimi
Yang Aku Tahu…


Betapa kami sangat kaget dan setengah tidak percaya, ketika membuka Facebook ada pesan dari Cak Junaidy Syakur bahwa istri Cak Emi, Mbak Muti’ah, telah berpulang ke Rahmatullah di saat-saat beliau masih menjadi tamu Alloh di Makkah, ketika melaksanakan ibadah haji tahun ini 2014, dan termasuk Haji Akbar. Subhanallah. Betapa tersanjungnya beliau dipanggil Allah di saat menjadi tamu kehormatanNya, dibalik kesedihan dan juga kebanggaan Cak Emi yang ditinggalkannya.
Yang lebih merasa tidak percaya lagi adalah istri saya, adik Umi Chasanah, ketika Cak Emi dan keluarga mau berangkat ibadah haji, isteri saya pernah mengajak ziarah calon haji, tapi karena suatu hal, kami akhirnya tidak bisa mengantarkan kebarangkatannya. Apalagi kami baru tahu keberangkatan Cak Emi beribadah haji dari Gus Umar Faruq Peneleh, satu hari sebelumnya.
Mbak Mut’iah, bagi adik Umi Chasanah, memang nampak dekat. Mengingat keduanya pernah berhubungan meski tidak sering. Mungkin karena Nyai Sucahimi ini orangnya supel (blater, grapyak - jawa.) dan juga memiliki jiwa ngemong, sehingga adik Umi Chasanah tidak canggung untuk ngrepoti bertanya soal obat-obatan. Apalagi Mbak Muti’ah ini orang Farmasi dan menawarkan diri kepada adik Umi kalau-kalau ingin berkonsultasi soal obat. Ketika kami memiliki bayi anak yang ketiga kami, Muhammad Ali Fawwiz Dhobithi, bayi kami memang sering panas dan beberapa kali mengalami step, sehingga adik Umi sering bertanya mengenai obat-obatan yang dibutuhkan. Kami mengenal sanmol dan sebagian obat-obatan juga dari Mbak Muti’ah ini. Begitu juga ketika kami membutuhkan baju wisuda anak didik kami, Mbak Muti’ah ini bisa melayani permintaan istri kami dengan sabar dan telaten.
Seperti halnya suaminya, Achmad Suchaimi, Mbak Muti’ah ini orangnya memang penyabar, dewasa, murah senyum dan grapyak dengan nada bicara yang cepat. Satu hal yang mungkin tidak akan terlupakan bagi mereka yang pernah berkomunikasi dengan Mbak Muti’ah, sebagaimana keluarga kyai, Mbak Muti’ah ini apabila tersenyum tidak bisa menyembunyikan ketersipuannya. Suatu penampilan yang tidak dibuat-buat dan hanya dimiliki orang yang pemalu.
Kini beliau telah pergi meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya di saat dan di tempat yang tepat, kesempatan mulia yang tidak bisa diharapkan dan dipaksakan oleh siapapun. Kami yakin di alam barunya beliau mendapatkan tempat dan teman yang telah lama dirindukannya. Keridhoan Allah telah merengkuhnya dan husnul khotimah telah didapatkannya. Amiin. (si)


________________



16. Ustadz Askan, S.Pd.I : 
[Tinggal di Tambos Surabaya; Ustadz senior di RTI].


Beliau Selalu Memikirkan Semua Kegiatan di Pondok

Sebagai tenaga pendidik, Almarhumah Hj. Muti’ah dikenal sebagai seorang Ustadzah yang sabar dan telaten dalam mendidik para santrinya. Gaya mengajarnya tidak terkesan menggurui sehingga para santri senang belajar dengan beliau. Banyak santri yang merasa kehilangan sepeninggal beliau, bahkan ada santri yang berkata kepada ibunya : “Bu, siapa yang mengajar saya nanti bu…. Saya senang kalau yang mengajar itu Ustadzah Muti’ah”, ada lagi yang mengatakan : “… nanti kalau tadarusan, siapa yang memimpin bu!”
Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau dikenal sebagai orang yang ramah, murah senyum, dan tak segan menyapa bila berpapasan dengan siapapun. Beliau merupakan pribadi yang menyenangkan, tak pilih-pilih dalam berteman, wajah cerah selalu menghias senyuman.
Loyalitasnya terhadap pondok sungguh luar biasa, apalagi ketika di bulan Romadhon, beliau selalu aktif dan kreatif ketika yang menjadi imam teraweh berhalangan hadir. Saya ingat kata-kata beliau : “Cak Kan, sing ngimami gok onok… sampean yo sing ngimami ...!”. Di tahun kedua juga seperti itu. Pendek kata, beliau selalu memikirkan semua kegiatan di pondok.
Ustadzah Muti’ah yang dicintai oleh santriwati dan santriwan. Jasamu akan terukir didalam hati mereka. Semoga Allah menerima semua amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang menyenangkan, berkumpul dengan orang-orang yang soleh, dan orang-orang yang beriman. Amin ya Robbal Alamin.
_______________







17. Ustd. Ahmad Fauzi, M.Pd.I : 
[Tinggal di Perum Wiharta Kebomas Gresik; Ustadz senior dan Ketua Pondok RTI Tambos; Kepsek MA Al-Fatich Tambos Surabaya].


Neng Muti’ah dan Ustadz :In Memorial

Kepergian Neng Muti’ah meninggalkan kita semua,  terkesan mendadak dan tiba-tiba  pada saat beliau sedang menjadi tamu Allah untuk menjalankan Ibadah Haji, tetapi sebenarnya kalau diperhatikan  lebih dalam, di dunia ini  tidak ada yang mendadak, tidak ada yang tiba-tiba, semua sudah diatur oleh Allah SWT, tinggal kemampuan kita untuk dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian.
Banyak kenangan atau memory yang muncul ketika beliau sudah tidak bersama kita lagi. Saya mengenal beliau sejak kelas 2 SD. Saat itu Ustadz H. Muhammad Basori Mansur – untuk selanjutnya disebut “Ustadz” - masih mengajar di SD Mursyidah dan saya masih kelas 1. Suatu hari saya dan beberapa teman dipanggil Ustadz dan dipindahkan ke kelas 2, naik sebelum waktunya. Baru setelah besar, saya tahu ini yang disebut program Akselerasi, yang saat itu belum populer dan terlihat aneh apa yang dilakukan oleh Ustadz. Puluhan tahun kemudian baru para pakar pendidikan menyetujui atau membolehkan program ini dilaksanakan dengan syarat-syarat yang cukup berat. Itu berarti pemikiran ustadz sudah mendahului para pakar pendidikan saat itu.
Sebagai tanggung jawab moral, “Ustadz” menyuruh saya dan teman-teman yang dinaikkan untuk belajar di ndalem beliau, termasuk juga ngajinya ikut pindah. Dengan demikian, sinau dan ngaji di ndalem ustadz. Beberapa materi pelajaran yang penting diperdalam seperti baca tulis dan hitung, ada dua ilmu dasar yang sudah saya terima lebih awal dibandingkan dengan teman–teman sekelas  yaitu : Baca Tulis Al Quran dan Tulis Pego serta Berhitung (terutama perkalian dan pembagian). Ustadz yang memberikan teorinya dan neng Muti’ yang  melatih dan mendrill setiap hari dengan banyak latihan dan penuh ketelatenan beliau membimbing dan melatih kami, sehingga kami dapat menguasai dua ilmu dasar tersebut.
Neng Muti’ dengan penampilan apa adanya, kadang bisa menjadi guru atau  pembimbing, di waktu lain bisa menjadi teman. Ketika kami dan beliau mengaji Nahwu bersama dan langsung diasuh oleh Ustadz, waktu itu saya kelas 4 dan Neng Muti’ kelas 5. Semua santri harus aktif saling bertanya dan menjawab. Metode Ustadz dalam mengajar Nahwu dikenal sangat tegas, bahkan cenderung keras. Setidaknya ini menurut sebagian santri, ada reward and phunishment (ganjaran dan hukuman) yang dipraktekan oleh Ustadz untuk memacu santri-santri beliau.
Suatu hari neng Muti’ sampai menangis karena dirasa ada materi pelajaran Nahwu yang sangat sulit, tetapi beliau tetap belajar dan bersungguh-sungguh untuk tetap ngaji Nahwu. Sifat kesungguhan dan selalu menambah pengetahuan dengan terus belajar hingga menjadi seorang Ustadzah tetap beliau lakukan. Hal ini semestinya dapat memberikan motivasi kepada ustadz dan ustadzah lainnya untuk tidak berhenti belajar, karena menuntut ilmu itu tidak dibatasi usia dan waktu, pendidikan itu dilakukan sepanjang hayat ( longlife education ).
Ketika Ustadz wafat, beberapa guru dan wali murid bertanya-tanya siapa yang akan menggantikan beliau, lebih khusus lagi siapa dari putera-puteri beliau yang siap melanjutkan perjuangan beliau, baik di pondok maupun di masyarakat. Musyawarah saat itu disepakati yang menjadi pengasuh pondok adalah Gus Khotib, sekaligus meneruskan rutinan pengajian di Musholla At Taqwa termasuk rutinan yang di luar kampung, ustadz Suchaimi dan saya meneruskan rutinan di Musholla Al Jihad, untuk Pengajian Waqi’ah yang bertanggung jawab adalah ustadz Syamsul dan ustadz Ali Rois, sedangkan Marhabanan diserahkan ke ustadz Askan, ustadz Abdul Qodir dan ustadz Rohmat. Untuk yang menggantikan ngaji siang dan sore di pondok diserahkan kepada neng Muti’ah , Neng Badi’ah dan Neng Milah.
Saat pembagian tugas tersebut saya berfikir, betapa banyak amaliyah-amaliyah Ustadz semasa hidup beliau, sehingga untuk menggantikan tugas-tugas beliau diperlukan lebih dari 10 orang, dan itupun belum semua tercukupi, diantaranya amaliyah beliau yang sering keluar malam mengelilingi kampung untuk melihat langsung gerak kehidupanmasyarakan baik sisi ubudiyah maupun akhlaq dan iqtishodiyah ( perekonomian ).
Beberapa bulan setelah musyawarah, ketika saya duduk-duduk setelah mengajar, neng Muti’ menghampiri saya dan berkata : “Zi, aku matur nuwun nang guru-guru sek gelem mulang, walaupun Abah wes gak onok. Aku iri karo guru-guru, semangat mulange, aku karo dulur dulurku kudu luweh teko guru-guru olehe ngeramut pondok”. Ucapan beliau itu bukan omong kosong dan itu beliau buktikan dengan saudara-saudaranya, all out untuk pondok.
Beberapa metode pengajaran untuk santri siang beliau munculkan  agar pembelajaran di kelas lebih menarik dan tidak monoton. Kreasi-kreasi santri di acara Haflah muncul yang baru-baru atas ide beliau dan dibantu oleh dulur-dulur. Beberapa ide, masukan juga kritikan sering disampaikan kepada saya, baik tentang guru, santri maupun sarana dan prasana. Dalam beberapa tahun ini, saya (sebagai ketua pondok) merasa tersaingi dalam kesungguhan mengelola pondok, loyalitas, integritas dan rasa memiliki pondok. Saya ucapkan terima kasih kepada beliau yang sudah sering nggeta-i, ngobra-i biar saya tidak cenderung santai atau malas dalam mengelola pondok.

Beberapa hari sebelum keberangkatan untuk menjalankan ibadah haji, beliau sempat “SMS” ke saya tentang Marhabanan, yang intinya bagaimana Marhabanan ini lebih baik lagi. Beliau juga menanyakan tindak lanjut program Tabungan Umroh yang akan dikelola oleh Roudloh. Saya sempat menjawabnya : nanti saja dibicarakan setelah beliau pulang dari haji, dan Ternyata beliau sudah dipanggil oleh Allah SWT. Ini seakan- akan sebagai “wasiyat” bahwa program Umroh harus dilaksanakan di Roudloh, dan juga sebagai isyarat agar guru–guru dan wali santri untuk dapat bersama-sama melaksanakan ibadah Umroh dan “menjengguk  beliau di tanah suci.
Akhirnya saya ucapkan :
Selamat jalan Neng Muti’. Terima kasih atas pengabdianmu di pondok ini dan semoga Allah SWT menerima amal ibadah dan jariyahmu serta menempatkamu di surgaNya amin. 
(Surabaya, 4 Nopember 2014).     
_______________



18. Ustadzah Mas’ula  : 
[Tinggal di Tambak Osowilangun; guru  senior di Pondok RTI dan hafizhoh].


Cara Mendidik Beliau Seperti Abahnya

Almaghfurlaha Ustadzah Muti’ah adalah orang yang sabar dalam menjalankan tugasnya, baik sebagai seorang ibu dalam mendidik anaknya maupun sebagai seorang guru di pondok RTI (Roudlotut Tholibin Islamiyah). Beliau sangat telaten mengajari santri-santrinya, terutama mereka yang belum mengerti. Cara mendidik beliau seperti abahnya, Al-Maghfurlah K.H. Muhammad Bashori Mansur. Setelah mengaji, santri-santri yang belum bisa atau ketinggalan, mereka tidak diperbolehkan pulang dahulu. Mereka diberi tambahan pelajaran dan diajari sedikit demi sedikit sampai akhirnya betul-betul mengerti.
Beliau sangat tawadhu’ terhadap para guru, walaupun yang usianya di bawahnya, apalagi yang lebih tua darinya. Kalau mempunyai ide-ide yang berkaitan dengan urusan proses belajar mengajar, tentu dimusyawarahkan dengan guru-guru yang lain. Beliau tidak pernah menonjolkan keakuannya: … aku iki anak tertua, … aku iki anake kyai, dll.
Bila merasa tidak tahu atau kurang faham terhadap materi pelajaran tertentu, beliau tidak malu dan tidak gengsi untuk bertanya kepada ahlinya, meskipun beliau seorang sarjana. Misalnya dalam pelajaran ilmu Tajwid, beliau sering bertanya kepada saya.
Beliau sering melakukan tugas pekerjaan yang semestinya dilaksanakan oleh para santri RTI, seperti yang sering saya lihat, beliau selalu mendahului menyapu dan mengepel pondok di pagi hari, sehingga saya merasa malu sendiri kepada beliau. Oleh karena itu, santri-santri saya yang sudah selesai menghafal atau setoran hafalan, mereka saya suruh bersih-bersih untuk meringankan beban beliau.
Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau tidak hanya menyumbangkan ilmunya,  tetapi juga tenaga dan pikirannya, serta hartanya terutama terhadap orang yang tidak mampu. Beliau diakui masyarakat luas sebagai orang sangat ramah terhadap siapapun, tidak pandang bulu siapa orangnya, apalagi terhadap orang yang mau berjuang di pondok. Kalau bertemu dengan teman atau orang yang sudah dikenalnya, beliau pasti menyapa lebih dahulu. Inilah yang membuat orang–orang merasa kehilangan dan menangis saat mendengar kabar kematiannya, terutama saya sebagai sahabat yang cukup dekat dengan beliau. Dan hampir 99 % mereka mengatakan, bahwa beliau wafat dalam keadaan Husnul Khotimah. Amin. Wallohu a’lam bis-showab.
______________



19. Ustadzah Masbachah  : 
[Tinggal di Tambak Osowilangun; guru  senior di RTI; teman seangkatan kektika mondok di P.P. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta].
 
Ustadzah Hj. Muti’ah Orang Yang Sangat Baik

Ustadzah Hj. Muti’ah adalah sosok yang saya kagumi, baik sebagai teman, sahabat, dan juga sebagai guru saya. Beliau luar biasa kesabarannya, terutama dalam mendidik dan mengajar santri-santrinya. Keramah tamahannya kepada semua orang, ketawadhuannya dan rasa sosialnya yang tinggi kepada siapapun, membuat mereka merasa kehilangan sewaktu meninggalnya. Beliau adalah orang yang sangat baik.
Alloohummaghfirlahaa warhamhaa, wa’afihaa wa’fu ‘anhaa. Amin.




20. Ustadzah Kurniati  : 
[Tinggal di Tambak Osowilangun; guru  di RTI]


Hj. Muti’ah Itu Sosok Ustadzah Sekaligus Bu Nyai Yang Merakyat

Almarhumah Hj. Muti’ah itu seorang “Ustadzah” sekaligus “Bu Nyai” yang murah senyum dan ramah kepada semua kalangan,  baik kepada sesama ustadz-utstadzah, wali santri, bahkan kepada santri-santrinya.
Almarhumah Hj. Muti’ah tidak pernah merasa bahwa dirinya ”orang besar” atau “seorang pemimpin” yang gila hormat, harus dihormati oleh semua orang. Sebaliknya beliau adalah sosok pribadi yang rendah hati (tawadhu’) dan tidak sombong, Beliau bergaul dengan siapa saja tanpa memandang kasta, senior atau junior, kaya atau miskin,  semuanya beliau pergauli dan perlakukan secara sama. Kalau boleh saya katakan,  beliau itu sosok Ustadzah sekaligus  Bu Nyai yang merakyat.

Beliau juga seorang yang “Loman” (dermawan), baik kepada sesama ustadz-ustadzah, wali santri, para santri, maupun masyarakat pada umumnya. Beliau suka membagi-bagi rizki dan memberi hadiah kepada para santrinya agar termotivasi, dengan cara memberi “bintang”. Kata Beliau: “Sopo seng gak jajan …. sopo seng moco’e lancar gak salah, akan saya kasih bintang”. Dan bintang ini nantinya dapat ditukar dengan alat tulis atau snack.
Semenjak beliau mengajar di pondok RTI ini, sistem dan metode pembelajaran di pondok ini lebih maju, terutama di kelas I’dad yang beliau asuh. Beliau banyak memberikan perubahan-perubahan yang luar biasa. Santri-santri kecil yang beliau asuh lebih betah di ruang kelas dan merasa tidak bosan, karena beliau memberikan pengetahuan agama dan sejarah Islam sambil bernyanyi dan ditambah dengan kreatifitas yang lain seperti mewarnai, kolosal dsb. Semoga kita mampu meneruskan inspirasi dan kreatifitas beliau.
Beliau itu seorang Ustadzah sekaligus Bu Nyai yang sabar dan telaten dalam mengajar santri-santrinya, murah senyum, tidak pernah bicara dengan nada marah ataupun emosi, juga terasa enak dan menyejukkan ketika diajak rembukan atau curhat.
Yang lebih saya ingat, walaupun beliau itu seorang “Bu Nyai”, tetapi beliau sangat peduli dengan kebersihan lingkungan pondok dan tidak suka melihat tempat yang kotor. Beliau sangat “akas” dan “cekatan”, mau menyapu dan mengepel sendiri, bahkan juga mau membuang sendiri sampah-sampah bungkus makanan dan sisa makanan para santri, sampai-sampai beliau pernah nyeletuk : “gak popo aku dadi cleaning service”. Semoga kita bisa mencontoh prilaku dan keteladan beliau.
_________________




21. Ustadz Samsul Hadi : 
[Tinggal di Tambak Langon Surabaya; guru senior di RTI]


Seluruh Waktunya Dihabiskan Untuk Mengabdi Kepada Ilmu

Almh. Hj. Muti’ah yang lahir di Surabaya, tanggal 01-09-1970 adalah anak pertama dari KH Muhammad Basori Mansur dan Bu Nyai Mushollachah. Kalau melihat dari usianya, beliau tidak terlalu tua ketika  dipanggil Alloh kembali ke alam baqa’. Sekalipun demikian, kualitas dan kuantitas ibadahnya tidak kalah dengan orang yang sudah tua.
Sekarang kita perhatikan, usia beliau adalah 44 tahun : 12 tahun beliau habiskan untuk mendalami ilmu agama, setelah menyelesaikan pendidikan S1 dan profesinya, kemudian beliau menikah. Setelah menikah, seluruh waktunya dihabiskan untuk mengabdi kepada ilmu, mencerdaskan anak-anak bangsa, menjadi salah satu ustadzah di Taman Pendidikan Islam Raudlotut Tholibin Islamiyah.
Beliau adalah salah satu motivator dan inspirator berdirinya “komplek putri” di Pondok Krapyak Yogyakarta. Beliau mewarisi Abahnya dalam mendidik para santri, keuletannya, keistiqomahannya, dan kesabarannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau sangat ramah dan familier.

_____________



22. Ustadzah Muzammilah, S.Psi : 
[Tinggal di Tambos Surabaya; Adik kandung; guru RTI]


Memang Hanya Ada Rasa Kasihan Dalam Hati Neng Muti’

Sebagai anak pertama di keluargaku, Neng Muti’ seolah menjadi ibuku sendiri. Neng siaga di saat ku sakit. Neng siap mendengarkan cerita ataupun keluh kesahku selama di bangku sekolah atau di lingkungan kerja, dan siap mencarikan solusinya.
Salah satu kenangan yang ku ingat betul sebelum menikah adalah soal mencuci pakaianku. Setiap kali hendak bersiap-siap mencuci pakaian,  aku hanya menemukan separuh atau tidak sama sekali baju kotorku, dan ternyata bajuku sudah berada di bak baju bersih atau sudah berada di lemari pakaian, dan aku hanya tinggal mengambil dan menyetrikanya saja.
Memang hanya ada rasa kasihan dalam hati Neng, ketika dia melihat padatnya aktifitasku saat itu, sehingga ketika Neng mencuci pakaian emak, anak dan suaminya, pakaianku pun tidak luput dari pandangannya untuk dicuci. Meskipun aku sudah menikah, bila ada pakaianku atau pakaian anakku, Nawal, bercampur dengan pakaiannya Neng yang kotor, maka Neng selalu menyertakan pakaianku untuk dicucinya. Dia tidak pernah mengeluh capek, meski kadang mencuci piring atau membersihkan rumah.
Neng Muti’…! Sampai sekarang aku tidak percaya kalau pean sudah tiada…..  Dalam bayanganku, pean masih beraktifitas di depanku, dan tanpa terasa aku menangis melihat semua itu. Tapi ingatanku kembali ke sebuah foto di hp cak Emi pada detik-detik terakhir setelah Neng dinyatakan meninggal oleh tim medis.
Sampai saat ini, setiap kali menjelang sore, aku merasa bahagia karena sebentar lagi malam dan aku akan tidur meninggalkan sejenak kenyataan di kehidupanku bahwa Neng sudah meninggal.
Neng….! Kebaikanmu padaku mudah-mudahan bisa sepenuhnya aku berikan kepada anakmu, Thebba Elvana. Kita semua sayang kepadanya dan aku akan selalu siap membantunya untuk menjadi yang terbaik.




23. Ustadzah Badi’atus Sholihah, SHI:  
[Tinggal di Tambos Surabaya; Adik kandung; guru RTI]  

      
Bakat Abah Menurun Pada Jiwa Neng Muti’


Kurang lebih 6 tahun yang lalu, Neng Muti’ mulai terjun untuk mengabdikan diri di pondok. Neng memilih untuk mengajar di kelas awwal yaitu kelas I’dad. Neng  berkeinginan untuk memberikan inovasi-inovasi dalam pengajaran di pondok.  Kalau biasanya di kelas I’dad hanya diajarkan pengenalan huruf hijaiyyah, maka setelah kehadirannya, ada sentuhan-sentuhan yang menarik dalam pembelajaran di kelas I’dad. Misalnya memberikan pengetahuan agama melalui lagu.
Masih terkenang dalam ingatanku: di kamar depan atas rumah emak, sambil mengasuh anaknya, Thebba, Neng mendendangkan lagu anak-anak pada umumnya yang Neng ubah liriknya menjadi lagu Islami. Sempat ada keinginan dalam hati saya untuk bisa seperti Neng, tetapi saya tidak mampu, lalu saya sadari ternyata bakat Abah menurun pada jiwa Neng. Abah cinta pada anak-anak. Demikian pula dengan Neng. Kalau Abah bisa mengubah lirik lagu “Syukur” menjadi lagu “Singa Padang Pasir”, maka Neng mampu mengubah lirik lagu “Balonku Ada Lima” menjadi lagu yang berisikan tentang kisah Nabi Adam, dan banyak lagi karya-karyanya. Lagu “a ba ta tsa” milik Abah yang lama, kemudian Neng ganti dengan menggunakan nada “Lir-ilir”. “Biar nggak bosen I’…!”, katanya saat itu.

Rasa cintanya pada pondok RTI sangat besar. Salah satu contohnya: Neng ingin pondok selalu kelihatan bersih, supaya para murid dan wali murid merasa nyaman berada di pondok. Neng rela menyapu bahkan mengepel pondok, kadang-kadang bisa sampai setiap hari. Kadang-kadang emak nyeletuk: “Muti’ iku yo, omah nggak diresi’i, tambah ngresi’i pondok”. Sering saya jumpai Neng turun dari ruang kelas atas tempat ia mengajar sambil membawa tempat sampah. Tanpa rasa gengsi, Neng menyapu ruang kelas, meskipun di sekitarnya ada guru-guru yang lain. Neng tidak pernah memerintah secara langsung, tapi memberikan contoh keteladanan.
Neng orangnya sangat disiplin dan taat dengan peraturan pondok. Misalnya jam mengajar pondok itu 1 jam, tapi Neng tidak pernah mengajar kurang dari 1 jam. Beliau pernah bercerita kepadaku, ketika murid-muridnya minta pulang, lalu dijawab : “Belum waktunya,  nanti saya dimarahi”, jawabnya untuk menenangkan murid-muridnya. Neng tidak suka kalau ada guru yang meninggalkan kewajibannya, meskipun guru itu suaminya sendiri, cak Emi, dan saya pernah mendengar sendiri  Neng yang menelpon Cak Emi untuk mengingatkan mengajar.
Neng tidak semena-semena terhadap sesama guru. Setiap ada sesuatu permasalahan, Neng pasti musyawarah-kannya dan mau berunding dengan siapapun, baik dengan guru senior maupun junior. Sosoknya mengayomi, mau mengalah, selalu menjadi tempat saya mengadu jika ada masalah di pondok dan neng selalu mau membantu menyelesaikannya dengan gayanya yang lembut dan tidak otoriter. Neng ingin yang terbaik untuk Pondok. Itulah keinginannya.
Bagiku, Neng adalah orang yang sangat hebat. Ia mempunyai banyak peran dalam hidupnya : sebagai seorang ibu, istri, anak, kakak, pedagang, dan guru. Pokoknya bagiku Neng adalah kakak yang sangat hebat.
Sebagai seorang kakak, Neng orangnya sangat baik. Dia siap  membantu setiap adiknya ada kesusahan. Neng tidak pernah marah, orangnya sangat sabar, dan selalu siap mendengarkan keluh kesah saudara-saudaranya.
Sebagai seorang Ibu, Neng adalah sosok yang sangat sabar, jarang marah, sangat telaten dan cerdas. Salah satu cara untuk membuat Thebba mudah memahami pelajaran sekolah,  Neng menyampaikan pelajaran itu dengan menyanyi. Entah Neng dapat dari mana not dan tangga lagunya. Yang kutahu, setiap kali mendampingi anak-anak “sinahu”, ada saja lagu baru yang berisikan pelajaran yang Neng ajarkan ke Thebba dan teman-temannya itu.
Sebenarnya masih banyak kenangan Indah tentang Neng Muti’, akan tetapi saya tidak punya kemampuan untuk menuliskannya.
Neng Muti’! Semoga Allah  menjadikan Thebba seperti yang Neng inginkan. Ya Allah jadikanlah hati kami ikhlash untuk menerima segala qodho’Mu. Amien

____________________________




24. Ustadz Ali Rois, M.Pd.I. : 
[Tinggal di Tambak Osowilangon Surabaya; Adik ipar;  guru senior di RTI; Kep. Sek. SD Mursyidah Tambos]  
      
Neng Muti’  Seperti Seorang Ibu Bagiku


Kakak ipar perempuan, kedudukan-nya seperti seorang ibu dalam budaya India. Perlakuan ini kudapatkan tanpa saya harus tinggal di India atau menikah dengan gadis India. Neng Muti’, Saya biasa menyebutnya demikian, seorang kakak ipar namun seperti seorang ibu bagiku, demikian pula dengan kakak-kakakku sendiri. Sering kali Neng Muti’ bertanya kepada saya apakah sudah makan atau belum, menawarkan berbagai jajan, buah-buahan atau makanan lainnya, bahkan kadang Neng Muti’ mengantarkan sendiri kepada saya atau kepada istri saya makanan yang telah dibuatnya.
Dalam pandangan saya, dan siapapun boleh berbeda pandangan dengan saya. Neng Muti’ bisa bersahabat dengan siapa saja, berkomunikasi dengan baik siapapaun yang menjadi  kawan bicaranya. Tidak membedakan Kamu siapa atau orang itu siapa. Neng Muti’ bersedia menjadi pendengar yang baik, mau menerima pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak meskipun punya hak memaksa.
Kenangan yang tak terlupa, beberapa bulan setelah wafatnya Ustadz H. Muhammad Basori Mansur, kebetulan waktu itu sesudah salat maghrib, saya ke Roudloh (RTI) dengan mengenakan celana dan tidak berkopyah. Ini prilaku yang agak janggal sebenarnya, mestinya mengenakan sarung dan berkopyah. Malam itu ada guru yang tidak hadir dan Neng  Muti’ menyuruh saya untuk menggantikannya. Saya coba meng-hindar (sebab kelas yang kosong itu kelas tinggi) dengan alasan tidak berkopyah, ternyata Neng Muti’ bilang, “Tak selangi kopyahe Abah.” Untuk kedua kalinya saya coba menghindar, tidak apa saya gantikan gurunya tetapi tidak usah mengenakan kopyah (murid mana yang berani mengenakan kopyah kiainya?). Setelah  mendengar penjelasan singkat dari Neng Muti’ akhirnya saya pun mengenakannya dengan rasa bangga atau entah apa, kopyah yang menurut saya istimewa karena dikenakan oleh Ustadz ketika beliau mengajar di luar Roudloh, termasuk ketika mengajar di mushalla di samping makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim.



_________________________



25. Ustadzah Nur laila : 
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]

Bagiku, Ustadzah Muti’ah adalah sosokk seorang ibu, sekaligus guru/ustadza yang baik hati dan penyabar. Beliau selalu ingin melakukan yang terbaik: bagaimana caranya pondok roudloh kita ini bisa lebih maju dan lebih baik lagi.
Meskipun seorang putri dari pendiri pondok Roudlotut Tholibin Islamiyah, tetapi beliau tidak pernah sombong dan seenaknya dalam bersikap, dan malah sebaliknya beliau selalu rendah hati, murah senyum kepada sesama dan selalu berpenampilan sederhana, serta punya kepedulian yang besar terhadap pondok, teman-teman usatadzah dan para murid.
Mungkin 1001 kita bisa menjumpai sosok seorang ibu yang sangat penyabar kepada putri semata wayang. Kami salut dan sangat bangga kepada beliau sebagai seorang ibu, sekaligus seorang guru ngaji dan apoteker. Kami merasa sangat kehilangan beliau. Semoga kita bisa meniru sisi-sisi baik dari Ustadzah Muti’ah.
Selamat Jalan ustadzah Muti’ah…!  Semoga ustadzah mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT.
________________________




26. Ustadzah Yana :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]  

Aku merasa salut dan tersanjung ketika bu Muti’ah pertama kali mengajak aku mengajar di pondok bersama-sama beliau. Disini aku dapat melihat karakter dan sifat beliau : beliau begitu sabar, telaten, ulet dan murah senyum kepada para murid. Beliau tidak pernah marah ketika dikritik oleh wali santri, beliau menanggapinya secara halus disertai dengan senyuman. Aku suka dengan karakter dan sifat yang demikian ini.
Dalam kehidupan bermasyarakat, beliau ramah dan suka menyapa disertai senyuman. Satu pelajaran yang dapat aku ambil dari beliau adalah tidak pernah marah, meskipun sewaktu berdebat memecahkan persoalan yang berkaitan dengan urusan murid maupun pondok. Bu Mutik is the Best. Bu Mutik always smile to me and to all people.
______________________




27. Ustadzah Faizah :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]

Bu Muti’ah itu orangnya baik, sabar dalam mendidik anak dan murid-muridnya. Beliau suka menolong dan berusaha tetap tersenyum, walaupun beliau sedang capek dan lelah.
Sebenarnya beliau tidak butuh uang untuk berjualan obat, tetapi ada satu keinginannya, yaitu agar orang lain sehat dan merasa senang. Semoga ada generasi berikutnya yang mencontoh sikap dan sifat  beliau. Amin ....
______________________




28. Ustadzah “Nunung” Qomariyah :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]

Ustadzah mutiah adalah sosok seorang wanita yang identik dengan senyuman, kesabaran, ketelatenan dan juga penuh dengan inovasi-inovasi yang sangat membangun. Tidak sulit untuk menjadi teman Ustadza Muti’ah, karena jiwa sosial yang dimiliki beliau sangat tinggi. Beliau mudah bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu.

Dalam jiwa beliau terdapat sosok seorang “ibu” yang benar-benar sabar dan kasih sayang dalam mendidik putri maupun santri-santrinya. Dalam jiwa beliau juga terdapat sosok seorang “ustadzah” yang benar-benar mau bekerja keras menuangkan waktu, tenaga, dan biaya. Bahkan dalam jiwa beliau banyak bermunculan ide-ide kreatif yang dapat memajukan pondok. Kesederhanaan beliau dalam berpenampilan benar-benar membuat orang di sekitarnya merasa senang dan tidak bosan bila melihatnya.
Satu hal yang pernah beliau katakan: “Jangan pernah menunda pekerjaan selagi kita bisa, dan jangan pernah menunda untuk berbuat suatu kebaikan
Semoga kita mampu meniru sifat-sifat terpuji yang dimiliki beliau, agar kita selalu merasa bahwa beliau selalu dekat dengan kita, dan merasa beliau tidak pernah meninggalkan kita.

__________________________



29. Ustadzah Barirotus Su’adah :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]

Bu Muti'ah orangnya telaten dalam mendidik terutama sama anak-anak di kelas I'dad (persiapan) yang suka rewel. Beliau sangat perhatian kepada para ustadz-ustadzah di ponpes Roudloh. Beliau ramah dalam melayani para pembeli obat. Kapanpun pasien/pembeli membutuhkan obat, beliau selalu melayaninya. Dan hal yang paling saya kagumi adalah beliau selalu menyapa dan tersenyum kepada siapapun yang beliau jumpai. Dimanapun, kapanpun, siapapun tak peduli itu orang lebih tua atau lebih muda, orang mampu atau kurang mampu, senyumnya tidak bisa saya lupakan. Beliau orang yang baik. Semoga beliau di terima di sisi Allah SWT. Saya yakin beliau meninggal dalam keadaan Chusnul Chotimah. Semoga semua amal ibadahnya di terima Allah SWT dan semoga Mbak Thebba dan keluarga diberi ketabahan dan keikhlasan.

----------------------------------------------



30. Ustadzah Anita Wahyuni :
[Tinggal di Tambos Surabaya; guru RTI]

Ustadzah mutiah adalah sosok seorang ibu yang memiliki kepribadian yang sangat baik dan patut kita contoh. Beliau sabar dalam mengasuh, merawat dan mendidik putri dan santri-santrinya. Beliau supel dan ramah dalam bergaul dengan masyarakat dan para ustadz-ustadzah di ponpes RTI, santun dalam berbicara, sopan dalam bertingkah laku, sabar dalam bersikap. Itulah yang gambaran perilaku atau sifat beliau. Kenangan yang masih teringat sewaktu kami bersama beliau ialah sewaktu mengajar, beliau dengan telaten dan sabar dalam menghadapi santri-santrinya, meskipun mereka banyak yang belum lancar membaca.
Ustadzah Muti'ah…..! Terima kasih atas semua jasa dan ilmu yang engkau berikan kepada kami. Senyum dan keceriaanmu akan selalu ku kenang selamanya. Ya Allah, ampunilah dosa dosa guru-guru kami! Terimalah amal ibadahnya dan tempatkan beliau di tempat yang paling indah disisiMu & semoga Khusnul Khotimah. Amin .....