Saturday 3 August 2013

DM - 13. MAYIT DAPAT MENGAMBIL MANFAAT PAHALA DARI AMAL ORANG YANG HIDUP






1. PANDANGAN IBNU TAIMIYAH DAN IBNUL QOYYIM AL-JAUZIYAH :

Ibnu Taimiyah mengatakan : "Mayit dapat mengambil manfaat dari pahala bacaan ayat-ayat Al-Qur`an dari orang yang hidup. Sebagaimana ia juga dapat mengambil manfaat dari pahala ibadah maliyah (ibadah bersifat harta benda) seperti shadaqah, wakaf, dan sejenisnya yang pernah ia lakukan selama masih hidup.

Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab Ar-Ruh, pada prinsipnya orang yang sudah mati dapat mengambil manfaat dari pahala amal shalih yang dilakukan oleh orang yang masih hidup. Hanya ahli bid'ah dan sebagian teolog (mutakallimin) saja yang mengatakan tidak sampainya hadiah pahala amal shalih dari orang yang hidup kepada mayit, termasuk juga doa.

Ibnul Qayyim lebih lanjut mengatakan : Amal shalih orang lain (masih hidup) yang pahalanya dapat diambil oleh mayit dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk :


Kedua :

Amal yang dilakukan orang lain itu ada kaitannya dengan usaha dan jasa dari mayit tersebut yang meliputi: shadaqah jariyah (infaq), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh.

Rasulullah saw bersabda: "Jika anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara : 1) shadaqah jariah, 2) ilmu yang bermanfaat, dan 3) anak shalih yang mendoakannya." (HR Muslim, dari Abu Hurairah).

Pahala ketiga jenis amal tersebut secara otomatis sampai dan dapat diambil manfaatnya oleh mayit yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.  

1). Shadaqah jariyah adalah shadaqah yang bersifat "tahan lama" yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain dalam jangka waktu panjang, seperti mewakafkan tanah, bangunan, buku-buku, dan barang apa saja yang manfaatnya jangka panjang, untuk dijadikan sebagai sarana orang lain melakukan amal kebaikan pada umumnya. Misalnya tanah atau bangunan untuk masjid, sekolah, pondok dan kegiatan sosial; buku-buku keislaman untuk diambil ilmunya; dan sejenisnya. Selama sarana-sarana tersebut masih dapat dimanfaatkan oleh orang lain, maka orang yang mensedekahkannya akan menerima bagian pahala dari sejumlah orang yang memanfaatkannya itu, sekalipun ia sudah meninggal dunia.
2). Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu apa saja (ilmu agama dan ilmu umum) yang dapat diambil manfaatnya oleh orang lain untuk kebaikan, baik ilmu itu disebarluaskan melalui pengajaran, pengajian dan tulisan, maupun melalui prilaku baiknya atau suri teladannya (uswatun hasanah), yang kemudian dicontoh oleh orang lain. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa melakukan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh bagian pahala dari perilaku baiknya itu dan bagian pahala dari orang-orang yang (meniru) melakukannya, tidak dikurangi sedikit pun. Dan barangsiapa melakukan kebiasaan yang buruk dalam Islam, maka ia memperoleh dosa dari perilaku buruknya itu dan menanggung dosanya orang-orang yang (meniru) melakukannya, tidak dikurangi sedikit pun" (HR Muslim, dari Jabir bin Abdullah).
3). Seorang anak menjadi sholih tidak lepas dari usaha orang tua, baik dalam bentuk bimbingan, pengarahan, pendidikan, doa, pemenuhan kebutuhan hidupnya,  maupun pemenuhan sarana dan prasarana yang lain. Maka setiap doa (ampunan dan kebaikan) yang diserukan oleh anak dapat diambil manfaatnya oleh orang tua yang telah wafat. Demikian pula setiap amal kebaikan yang dilakukan oleh anak-anaknya, maka orang tua pun akan mendapatkan bagian pahalanya.



Kedua :

Amal shalih yang dilakukan oleh orang lain itu tidak ada kaitannya dengan usaha dan jasa dari mayit tersebut. Misalnya doa (ampunan/kebaikan) kaum muslimin untuk mayit, pahala shadaqah, puasa, haji, serta pahala amal kebagusan lainnya seperti pahala dari bacaan Al-Qur'an, shalawat, "tahlil", dan dao-dzikir lainnya yang dihadiahkan kepada si mayit.


1). Doa kaum muslimin.

Allah berfirman didalam QS Al-Hasyr : 10 yang artinya: "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:


رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَئُـوْفٌ رَحِــيْمٌ
 Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Rasulullah saw mengajarkan doa yang dibaca sewaktu menshalati jenazah :

أَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَـهُ وَ ارْحَمْـهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَ أَكـْرِمْ نُـزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ
"Ya Allah! Beri ampunan untuknya, rahmatilah ia, berilah ia 'afiyat, maafkanlah dosanya, muliakanlah tempat tinggalnya (kuburannya) dan luaskanlah liang kuburnya …" (HR Muslim, dari 'Auf bin Malik). 

Rasulullah saw mengajarkan "salam" yang diucapkan sewaktu memasuki area pekuburan kaum muslimin :

أَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ. وَ إِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.
"Kesejahteraan semoga dilimpahkan Allah kepada kalian, wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Dan kami – Insya Allah – akan menyusul kalian". (HR Muslim, dari 'Aisyah ra)


2). Pahala shadaqah, puasa dan haji.

Hadis dari Abdullah bin Abbas ra. Sewaktu ibunya Sa'ad bin Ubadah wafat, ia tidak ada disampingnya. Ia lantas menemui Rasulullah saw seraya berkata: "Ya Rasulullah! Ibuku wafat dan saat itu aku tidak ada disampingnya.  Apakah dia mendapatkan manfaat sekiranya aku bershodaqoh atas namanya?". "Ya", jawab beliau. (HR Bukhari)

Sahabat Buraidah ra meriwayatkan : sewaktu ia duduk-duduk di samping Rasulullah saw, seorang wanita tiba-tiba menemui beliau dan berkata, "Aku telah bershadaqah, yakni memerdekakan budak, atas nama ibuku yg telah wafat". Komentar beliau: "Engaku pun mendapatkan pahala dan warisannya juga engkau terima". Wanita itu bertanya, "Dia juga punya tanggungan puasa sebulan. Apakah aku  harus berpuasa atas namanya?". "Berpuasalah atas namanya", jawab beliau. Dia bertanya lagi, "Dia belum sempat haji sama sekali. Apakah aku harus menunaikan haji atas namanya?". Jawab beliau, "Tunaikan haji atas namanya". (HR Muslim).

Hadis di atas sebagai salah satu dalil: (1) bolehnya menshadaqahkan jamuan makanan-minuman dan "berkat" atas nama orang yang telah wafat, diberikan kepada orang-orang yang menghadiri "Tahlilan"; (2) keharusan mengqodho` puasa dan haji yang tidak sempat dilakukan orang yang mati.

Kata Ibnu Qoyyim lagi : "Sebaik-baik  pahala  yang  dihadiahkan  kepada   mayit  adalah pahala shadaqah, istighfar, mendoakan kebaikan untuk mayit, dan ibadah haji atas namanya. Adapun pahala bacaan ayat Al-Qur`an dan menghadiahkannya kepada mayit yang dilakukan secara sukarela dan bukan karena dibayar, hal ini sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji kepadanya".

Ibnul Qayyim mengatakan di bagian lain dari kitabnya : "Yang lebih utama ketika melakukannya (membaca Al-Qur`an), hendaknya diniati agar pahalanya diberikan Allah kepada si mayit. Dalam hal ini, tidak disyaratkan  keharusan melafalkan niat.




2. PANDANGAN ULAMA MADZHAB

Menurut madzhab syafi'iyah : Sesungguhnya hadiah pahala shadaqah, secara kesepakatan ulama, dapat sampai kepada mayyit. Khusus mengenai hadiah pahala bacaan ayat Al-Qur`an, Imam Syafi'iy sendiri memiliki dua fatwa :
a)   pahala bacaan itu sampai kepada si mayit, dan
b)   pahala itu tidak sampai kepada si mayit. Namun menurut imam Bujairimiy, bahwa fatwa imam Syafi'iy yang kedua tersebut tidak terpakai dalam madzhab Safi'iy. (Baca I'anatut Tholibin juz 3, hal. 221). Dan menurut pendapat yang terpilih di kalangan syafi'iyyah, sebagaimana yang dijelaskan didalam kitab Syarah al-Minhaj,  bahwa hadiah pahala bacaan tersebut dapat sampai kepada si mayit. 

Lebih lanjut syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya: Fathul Mu'in pada bab "wasiat" mengatakan: "Fatwa imam Syaf'iy yang menyebutkan tidak sampainya hadiah pahala bacaan ayat Al-Qur`an itu adalah jika :
a)   tidak dilakukan dihadapan mayat, 
b)   tidak diniatkan/dihadiahkan untuk mayat, 
c)   Atau sudah diniati untuk dihadiahkan, tetapi tidak dimintakan kepada Allah agar disampaikan kepada mayat".

Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyah pada halaman 147 mengatakan: "Imam Syafi'iy dan sebagian besar sahabat beliau mengatakan : Sunnah membacakan sebagian ayat Al-Qur`an di hadapan mayat. Kalau Al-Qur`an itu dibaca sampai khatam di hadapannya, hal itu baik sekali".

Menurut madzhab malikiyah : Tidak ada perselisihan pendapat dalam hal sampainya hadiah pahala shadaqah kepada mayit. Yang masih diperselisihkan adalah tentang bolehnya menghadiahkan pahala bacaan Qur`an dan bacaan dzikir lainnya kepada mayit. Namun pada prinsipnya, madzhab ini tidak mengharamlkan, tapi sekedar memakruhkannya.

Pendapat ulama mutakhir : Boleh menyampaikan atau menghadiahkan pahala bacaan ayat Al-Qur’an dan Bacaan Dzikir lainnya, sebagaimana amaliyah yang sudah berjalan di tengah-tengah masyarakat kita seperti tahlilan, dan pahalanya pun dapat sampai kepada si mayit. Ibnu Farhun menukil suatu pendapat, bahwa pendapat tentang sampainya pahala bacaan inilah yang terunggul.

Didalam kitab Al-Majmu` yang ditulis oleh imam An-Nawawi disebutkan, bahwa al-Qadhi Abu Ath-Thayyib pernah ditanya mengenai mengkhatamkan Al-Qur`an di makam. Jawabnya : "Orang yang membacanya mendapatkan pahala. Sementara mayat (yang ada di makam itu) seperti orang-orang yang hadir menyimak, dimana ia berharap memperoleh rahmat dan keberkahan (dari bacaan Al-Qur`an). Atas dasar ini, maka membaca Al-Qur`an di makam adalah mustahab (sunnah). Selain itu, doa yang dibaca setelah membaca Al-Qur`an lebih mudah dikabulkan, dan doa tersebut dapat bermanfaat bagi si mayit.

Imam An-Nawawi didalam kitab Al-Adzkar menukil pendapat dari sekelompok ashabus-syafi'iy, bahwa pahala bacaan dari ayat Al-Qur`an, doa-dzikir dan sejenisnya, dapat sampai kepada si mayit, sama seperti pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama` lainnya.

Didalam kitab Al-Mizan al-Kubra yang ditulis oleh Imam Asy-Sya'rani dijelaskan, bahwa perselisihan pendapat tentang sampai atau  tidak sampainya  hadiah pahala  bacaan memang cukup terkenal. Masing-masing kelompok memiliki dasar sendiri-sendiri. Namun menurut madzhab Ahlissunnah Waljama’ah, bahwa seseorang hendaklah menghadiahkan pahala amalnya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Al-Mizan al-Kubra pada akhir pembahasan mengenai Jenazah).

______________________________

*) Sumber : Disarikan dari :
1). Buku "DZIKRUL MAUT, mengintai perjalanan ruh orang mati", tulisan Achmad Suchaimi, dengan Kata Pengantar (Taqdim) oleh KH A. Mustofa Bisri, penerbit RoudhoH - Surabaya, cet. 1 - Mei 2004.
2). Kitab “AR-RUH”, tulisan Ibnu Qoyyim Al-Jauzi